Rileks

Tradisi Riyayan di Kampung Halaman: Menyulam Silaturahmi, Merawat Kenangan

136
×

Tradisi Riyayan di Kampung Halaman: Menyulam Silaturahmi, Merawat Kenangan

Sebarkan artikel ini
Bersilaturahmi ke rumah sanak famili di Dusun Pasar Sore, Desa Pringgoboyo, Maduran, Lamongan, Jawa Timur, Jumat, 18 April 2025 (Tagar.co/Nadhirotul Mawaddah)

Perjalanan riyayan keluarga besar ke kampung halaman berubah menjadi kisah penuh nostalgia, dari takziyah, silaturahmi, hingga wisata kuliner yang menghidupkan kenangan masa kecil.

Tagar.co – Masih dalam nuansa Syawal, tradisi riyayan kembali menjadi pengikat silaturahmi keluarga besar kami. Pada Jumat (18/4/2025), saya dan empat saudara kandung melakukan perjalanan ke kampung halaman di Lamongan, Jawa Timur—sebuah momen penuh haru, tawa, dan nostalgia yang membekas di hati.

Hari itu bukan sekadar silaturahmi Lebaran. Dua hari sebelumnya, kami menerima kabar duka: sepupu ibu berpulang. Karena belum sempat bertakziyah, Jumat itu kami niatkan sebagai hari untuk menyambung silaturahmi sekaligus mengenang masa kecil yang tersimpan di Desa Pangkatrejo dan Dusun Pasar Sore, Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran.

Baca juga:

Pukul 08.35 WIB, saya bersama Imam Muttaqin, kakak keenam, berangkat dari Menganti, Gresik. Di tempat berbeda, Diyana Mufidati, kakak ketiga, berangkat bersama dua anaknya dari Songowareng, Bluluk, Lamongan. Kami semua menuju rumah orang tua di Pangkatrejo, yang kini dihuni kakak keempat, Imam Al-Amin. Tak lama berselang, Dahlia Nurfarikhah—adik bungsu kami—juga tiba dari Laren.

Baca Juga:  Teladan, Kunci Bentuk Karakter Anak: Kisah Siang di Orientasi Pandu Tunas Athfal
Berfoto bersama di depan rumah bibi, Pangkatrejo, Maduran, Lamongan, Jawa Timur, Jumat, 18 April 2025 (Tagar.co/Nadhirotul Mawaddah)

Sebelum salat Jumat, kami menyempatkan bersilaturahmi ke rumah bibi yang berada tepat di sebelah rumah. Sambutannya hangat, seperti masa kecil kami. Aneka suguhan tersaji di meja: kacang atom, kerupuk rambak, keripik pisang. Bibi bahkan membungkuskan kerupuk rambak kesukaan suami saya sebagai oleh-oleh.

Dari situ, kami lanjut ke rumah bibi lainnya—yang biasa kami sapa “emak”. Suguhannya tak kalah menggoda. Suasana begitu akrab, membuat kami lupa waktu hingga adzan Jumat berkumandang.

Di Masjid At-Taqwa, desa kami, bukan hanya jemaah laki-laki yang memadati saf. Kaum ibu pun ikut berjemaah. Kami pun larut dalam suasana damai, mendengarkan khutbah Jumat yang menyejukkan.

Setelah salat, kami sempat berfoto bersama di depan tulisan “Wisata Religi Joko Tingkir” dekat masjid. “Wah, seru sekali lihatnya …” celetuk seorang jemaah yang kebetulan lewat. Kami hanya tersenyum, menikmati momen langka ini.

Berfoto di Wisata Religi Joko Tingkir Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran, Lamongan (Tagar.co/Istimewa)

Perjalanan berlanjut ke rumah sepupu ibu untuk bertakziyah, lalu ke Pasar Sore, tempat kami kerap berburu reteh—jajanan khas dari tepung ketan dan kelapa parut. Sayangnya, reteh kini lenyap digantikan biskuit kaleng dan permen modern seperti Tango dan Yupi.

Tak lengkap rasanya tanpa wisata kuliner. Di Laren, kami singgah di sebuah kedai roti canai yang sedang viral. Ramai sekali. Selain roti canai, tersedia menu prasmanan yang menggoda: cumi hitam, kare ayam, lele mangut, botok, dan lainnya. Saya memilih cumi hitam—menu yang membawa ingatan pada masakan ibu. Lezatnya luar biasa.

Baca Juga:  Tiga Pesan Ketua PCM Menganti: Kurban, Masjid Ramah Anak, dan Sekolah Baru

“Bungkus roti canai telur tujuh ya,” pesan Diyana kepada pemilik kedai. Wajah pria itu membuat saya terpaku. Seperti orang India. “Itu orang Bangladesh,” sahut Imam Muttaqin. Saya terkagum—seorang pendatang bisa sukses membuka usaha kuliner di desa.

Menjelang Asar, kami kembali ke Masjid At-Taqwa. Usai salat, kami menyempatkan mampir ke rumah paman, adik bungsu ibu. Di sana, rujak ulek tersaji—meski perut masih kenyang, aroma dan tampilan rujak menggoda selera.

“Untung tadi nggak ikut makan di warung,” kata Imam Muttaqin sambil tertawa. Tapi akhirnya kami semua ikut menikmati rujak yang diracik penuh cinta oleh bibi.

Hari menjelang senja. Waktu pulang pun tiba. Riyayan kali ini bukan sekadar kunjungan selepas Lebaran. Ia adalah perayaan akan keluarga, nostalgia, dan rasa syukur yang tak ternilai. Semoga kami diberi waktu dan kesempatan untuk mengulangnya, di tahun-tahun mendatang. (#)

Jurnalis Nadhirotul Mawaddah Penyunting Mohammad Nurfatoni