FeatureUtama

Makan Bergizi Saja Tak Cukup: Peran Krusial Edukasi Keluarga dalam Menumpas Stunting

226
×

Makan Bergizi Saja Tak Cukup: Peran Krusial Edukasi Keluarga dalam Menumpas Stunting

Sebarkan artikel ini
Pelaksanaan Makan Bergizi Gratsi di SMP Negeri 2 Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Foto Biro Komunikasi dan Humas Sekretariat Jenderal Kemendikdasmen)

Pemberdayaan keluarga menjadi kunci agar mereka tak hanya pasrah menerima, tapi juga mampu mengolah bahan makanan bergizi secara mandiri dan berkelanjutan.

Tagar.co – Program makan siang gratis bergizi seimbang yang digelontorkan pemerintah tengah menjadi sorotan publik. Di atas kertas, program ini digadang-gadang sebagai jurus jitu menekan angka stunting yang masih menjadi momok di Indonesia. Namun, benarkah semudah itu? Faktanya, di balik gembar-gembor program ini, tersimpan kompleksitas yang membutuhkan perhatian lebih dari sekadar menyajikan piring berisi makanan.

Dr. dr. Gita Sekar Prihanti, M.Pd.Ked., dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), membuka tabir kompleksitas tersebut. Menurutnya, efektivitas program ini bagaikan sebuah orkestra yang membutuhkan harmoni dari berbagai instrumen, mulai dari pelaksanaan di lapangan hingga penguatan fondasi pengetahuan gizi di level terkecil: keluarga.

Baca juga: Tak Sekadar Kenyang di Program Makan Bergizi Gratis

Gita, demikian ia akrab disapa, menekankan pentingnya memperhatikan komposisi gizi yang tepat dalam menu makan siang gratis. “Komponen gizi itu ada makro dan mikronutrien. Makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, sementara mikronutrien mencakup vitamin dan mineral,” jelasnya. ‘

Baca Juga:  Jangkrik di Piring Anak Sekolah?

Namun, ia memberikan catatan khusus pada asupan protein, yang seringkali terpinggirkan dalam pola makan masyarakat. “Yang perlu diperhatikan adalah proporsi protein, karena kebanyakan masyarakat Indonesia lebih mengutamakan karbohidrat demi rasa kenyang. Jadi, penting meningkatkan porsi protein dan memastikan adanya mikronutrien dalam makanan yang dibagikan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Gita menyoroti bahwa program makan siang gratis, meskipun berniat mulia, ibarat obat yang membutuhkan dosis dan cara konsumsi yang tepat. Tanpa implementasi yang baik dan pengawasan ketat, dampaknya tak akan optimal.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang Dr. dr. Gita Sekar Prihanti, M.Pd.Ked. (Foto Humas UMM)

Tak Berdiri Sendiri

Ia pun tak segan menyebut bahwa program ini tak bisa berdiri sendiri. Edukasi kesehatan keluarga menjadi pilar penyangga yang tak kalah krusial. Menurut Gita, ketergantungan pada program makan gratis justru bisa menjadi bumerang dan tidak memberikan solusi jangka panjang.

“Untuk anak-anak, kesehatan mereka sangat bergantung pada pendidikan kesehatan di keluarga. Program makan gratis bergizi itu penting, tapi tidak bisa menjadi satu-satunya andalan. Keluarga perlu diberdayakan agar memahami pentingnya menyediakan makanan sehat yang terjangkau. Karena banyak keluarga masih memilih karbohidrat murah demi kenyang tanpa memperhatikan nilai gizi,” urainya. Pemberdayaan keluarga menjadi kunci agar mereka tak hanya pasrah menerima, tapi juga mampu mengolah bahan makanan bergizi secara mandiri dan berkelanjutan.

Baca Juga:  Kreativitas tanpa Batas: Mahasiswa UMM Pamerkan Puluhan Prototipe Inovatif di Industrial Engineering Expo

Perjalanan menuju generasi bebas stunting pun semakin terjal dengan adanya tantangan penghitungan kalori yang spesifik sesuai kondisi anak. “Setiap anak memiliki kebutuhan kalori berbeda berdasarkan berat badan dan usia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi dengan tepat, maka bisa berdampak buruk, seperti obesitas atau kekurangan gizi,” papar Gita, dikutip dari siaran pers Humas UMM yang diterima Tagar.co, Jumat (10/1/25) siang.

Ia mengingatkan bahwa periode emas 1.000 hari pertama kehidupan memang krusial, namun problem gizi tak lantas sirna saat anak memasuki usia sekolah. Justru di fase inilah, anak mulai mengenal jajanan dan seringkali lebih memilih rasa ketimbang nutrisi.

Tak hanya soal kandungan gizi, Gita pun mewanti-wanti pentingnya higienitas makanan. Makanan yang tidak higienis, alih-alih menyehatkan, justru bisa memicu masalah baru. “Kalau higienitas makanan tidak diperhatikan, bisa menimbulkan masalah baru seperti diare. Ini malah memperburuk stunting,” ungkapnya, mengingatkan bahwa masalah gizi adalah lingkaran setan yang harus diputus di setiap mata rantainya.

Pada akhirnya, perang melawan stunting membutuhkan sinergi dan komitmen kuat dari berbagai pihak. Program makan siang gratis, edukasi gizi yang komprehensif, dan pengawasan yang ketat harus berjalan beriringan.

Baca Juga:  Hari Difabel Dunia: RBC UMM dan PWNA Jatim Ajari Anak Difabel

Gita menutup perbincangan dengan sebuah pesan penting tentang kesadaran penuh dalam mengonsumsi makanan. “Makanlah dengan mindful eating, artinya kita sadar apa yang kita makan, kapan, dan bagaimana. Ajari anak untuk selektif terhadap makanan, karena yang disukai belum tentu sehat. Ini memang tantangan, tapi perubahan mindset sangat penting untuk masa depan mereka,” ujarnya.

Program makan siang gratis memang menjanjikan, tetapi ia hanyalah salah satu kepingan puzzle dalam upaya besar menumpas stunting. Dibutuhkan lebih dari sekedar makanan gratis, melainkan perubahan paradigma dan aksi nyata dari hulu ke hilir, dari pemerintah hingga ke meja makan setiap keluarga Indonesia. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni