
Kisah si Santri Mbeling: Bulan Mei (Seri 15)
Dari gedung megah MRCCC Semanggi Jakarta, aku teringat sepenggal kisah di bulan Mei 1998. Terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang gugur sebagai pahlawan reformasi.
Cerbung oleh Qosdus Sabil
Tagar.co – Hasil lengkap petscan telah kudapatkan. Sebagai salah satu langkah penting untuk mendeteksi dan menentukan tindakan medis apa yang harus segera dilakukan.
Kendatipun begitu, aku juga harus menjalani biopsi. Karena itulah satu-satunya syarat agar Kartu BPJS-ku bisa digunakan.
“Bapak tetap harus dilakukan biopsi untuk membuktikan bahwa bapak benar menderita kanker prostat stadium 4 metastase ke tulang.”
Sementara, sebenarnya saya sudah menjalani petscan secara menyeluruh. Hasilnya lebih lengkap dan akurat. Pun biayanya sangat mahal dan tidak ditanggung oleh BPJS. Hanya rumah sakit kanker Dharmais dan Siloam MRCCC yang memiliki alat petscan tersebut.
Aku awalnya mendaftar di rumah sakit Dharmais. Tetapi tidak kunjung mendapatkan panggilan, karena mesti nunggu ada rombongan tiga orang pasien. Aku sendiri merupakan pasien kedua. Rupanya ada satu cairan yang bisa digunakan untuk tiga orang.
Tidak ingin menunggu lama, kami juga mendaftar di Siloam MRCCC Semanggi Jakarta. Keesokan harinya hasilnya sudah keluar lengkap seperti yang diinginkan.
Dari gedung megah MRCCC Semanggi Jakarta, aku teringat sepenggal kisah di bulan Mei 1998. Terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang gugur sebagai pahlawan reformasi.
13 mei 1998. Pagi itu, dari Tlogomas pasukan jas merah dari UMM, UB, UIN, UM, dan lain-lain bergerak. Tujuannya langsung di gedung DPRD dan Balai Kota Malang yang memang bersebelahan.
Aku berbagi peran dengan kawan-kawan yang orasi. Sugiyanto Cak Gik orasi sambil naik pagar DPRD Kota Malang. Agus, Udin, Djoko, Indah, dan Irma silih berganti orasi.
Sementara itu, aku menyelinap masuk ruang pimpinan DPRD ditemui oleh Pak Kolonel Paiman. Tuntutannya adalah penurunan bendera setengah tiang sebagai simbol duka atas gugurnya mahasiswa Trisakti.
Beliau sangat keras menolak, tetapi langsung luluh setelah aku katakan, “Bahwa akan ada akibat yang sangat serius jika Jenengan yang saya kenal arif dan bijaksana menolak permintaan ini.”
Akhirnya Beliau berkenan mengabulkan permintaan kami. Bendera pun turun dengan iringan lagu gugur bunga. Aku meminta kertas 3 lembar. Segera aku konsep 3 poin pernyataan bersama antara kami perwakilan demonstran dan pimpinan DPRD Kota Malang.
Tak lupa aku beri jeda untuk sebaris kalimat “Sebagaimana terlampir di bawah ini.”
Setelah konferensi pers bersama wartawan itulah, “Urusan sebagaimana terlampir.” Itu kami mainkan dengan cerdik. Esok harinya para wartawan terkena marah pak Kolonel Paiman. Tidak ketinggalan juga diriku. Beliau jitak kepalaku sembari tersenyum dan berujar, “Jadi mahasiswa itu memang harus banyak akalnya.”
Sebagai catatan Kolonel Paiman juga pernah menjadi Rektor Universitas Widya Gama Malang sebelum diganti oleh Prof. Abdul Mukti Fadjar. Di kemudian hari Pak Mukti Fadjar menjadi Pimpinan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Berhasil di DPRD, lantas kami bergeser di gedung Balaikota. Gerbang Kantor walikota ditutup dengan penjagaan yang lebih ketat. Gianto dengan bibirnya yang robek masih berapi-api orasi.
Situasi mendadak menjadi menegangkan akibat kedatangan puluhan truk tentara dari markas Skodam Malang lengkap dengan bayonet laras panjang.
Kembali aku menyelinap masuk ke ruang kerja Wawali H. Maschoet (di kemudian hari menjadi Wali Kota Kediri), aku sentuh jiwa Kemuhammadiyahannya, “Monggo menawi Jenengan ingin menyaksikan tumpahnya darah dari balik jas merah IMM.”
“Atau sebaliknya dengan menurunkan bendera setengah tiang, akan mendamaikan suasana. Mahasiswa akan tetap tertib.”
Beliau lantas berkoordinasi dengan Pak Soesamto, Wali kota saat itu yang tengah berada di luar kota. Agak alot tetapi luluh juga. Kembali lagu gugur bunga mengiringi penurunan bendera merah putih di halaman Balai Kota Malang.
Aksi berakhir. Ketimbang bayar sewa angkot, mending kita minta diantar pulang ke kampus menggunakan truk tentara. Banyak truk tentara menganggur kenapa tidak dimanfaatkan. Akhirnya, para tentara terpaksa mengantar para mahasiswa dengan tetap berwajah sangar…
Sementara aksi massa IMM sebagai organisasi kemahasiswaan pertama yang menurunkan bendera merah putih menjadi setengah tiang telah membubarkan diri, datang rombongan mahasiswa dari beberapa kampus swasta di pinggiran barat kota Malang.
Aku bersama Gianto dan Udin menyambut kehadiran mereka dengan gembira. Kamipun diberikan kesempatan untuk orasi.
Hingga tibalah giliranku tiba. Aku bakar semangat mahasiswa sebagai pihak yang masih murni untuk menyuarakan kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang.
Lalu, aku ajak massa yang makin memenuhi halaman Gedung DPRD Kota Malang dengan menyanyikan lagu Menanam Jagung di Kebun Kita diganti dengan lirik Gantung Harto Gantung Wiranto Gantung juga Harmoko. Para pesertapun ikut bernyanyi dengan heroik.
Hingga suasana demo berubah menjadi cukup mencekam akibat aura lagu gantung gantung tersebut. Akupun segera bergegas pamit untuk segera memastikan rombongan demonstran IMM pulang selamat semua.
Demonstrasi bergerak di mana-mana menuntut reformasi negeri dari pemerintahan orde baru. Hingga, keesokan harinya, usai salat jumat, kami bergerak kembali sekedar ingin melihat bendera masih setengah tiang atau satu tiang penuh.
Tujuan pertama tentu saja di sekitar Tugu Kota Malang. Kulihat bendera di Kantor DPRD dan Wali Kota masih setengah tiang. Namun, di Gedung Skodam Malang bendera berkibar penuh. Aku melompat turun dikuti beberapa kawan memasuki halaman Skodam.
“Assalamualaikum selamat siang, Pak. Mohon berkenan agar bendera merah putih dikibarkan setengah tiang sebagai tanda duka cita atas gugurnya mahasiswaTrisakti.”
Tanpa babibuu komandan peleton sambil mengokang bayonet memerintahkan kami agar segera keluar dari area halaman depan Skodam. Sementara aku masih mencoba bernegoisasi, kawan-kawan seperjuangan sudah lari menyelamatkan diri. Akupun tersenyum sembari ngedumel, “Jangkrik… aku kok ditinggal dewe iki piye.”
Selepas dari Skodam kami bergeser ke komplek SMAN 1 Malang. Pas banget. Siswanya lagi latihan paskribaka. Dengan sedikit arahan, adik-adik SMA ini menurut saja.
Dengan iringan lagu gugur bunga upacara penurunan bendera dimulai. Naas, tali bendera lepas dari relnya. Hingga tiang bendera bergoyang kekiri kekanan tiada henti.
Jujur aku sudah tertawa-tawa didalam hati saat melihat adegan itu. Cuma masih aku tahan dalam hati.
Adegan heroik dibumbui goyang kiri kanan akhirnya berhenti seiring habisnya lagu gugur bunga yang dinyanyikan. Spontan meledak tawa semua yang ikut upacara dadakan tersebut….
Aksi Jumat pun ditutup.Kami semua melompat menaiki pick up.
Pick up yang menjadi saksi robeknya bibir Giyanto. Ketika seusai makan soto Pak Kholis Dinoyo, Sugiyanto tidak sigap melompat ke pick up. Membuat robek 3 jahitan di bibirnya. Lucunya, saat plester bibirnya lepas beberapa intel Polisi menjumpai kami, menyatakan permintaan maaf yang tulus kepada Sugiyanto sebagai korban kekerasan aparat keamanan.
Mereka berpikir Giyanto robek bibirnya karena kena pukulan aparat. Padahal bibirnya robek karena nyonyor sendiri di atas pick up si Mamat.
Nasibmu, Gik Gik… (#)
Penyunting Ichwan Arif.