TelaahUtama

Kesedihan para Alim di Pengujung Ramadan

414
×

Kesedihan para Alim di Pengujung Ramadan

Sebarkan artikel ini
Ketika Ramadan berakhir, sebagian ulama tak larut dalam euforia. Mereka justru bersedih, takut amal tak diterima. Bagi mereka, Ramadan adalah anugerah agung yang sulit tergantikan.
Ilustrasi Ai

Ketika Ramadan berakhir, sebagian ulama tak larut dalam euforia. Mereka justru bersedih, takut amal tak diterima. Bagi mereka, Ramadan adalah anugerah agung yang sulit tergantikan.

Oleh Ridwan Manan Anggota Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo. Pengajar Pondok Pesantren Al-Fattah Sidoarjo, Jawa Timur.

Tagar.co – Sebentar lagi, bulan Ramadan yang penuh berkah akan meninggalkan kita. Padahal, penutup sebuah perjalanan justru sering kali menjadi penentu kemenangan. Bukankah amal ditentukan oleh penutupnya—al-a‘māl bil-khawātim?

Sayangnya, tanda-tanda perpisahan itu sudah mulai tampak. Masjid yang dahulu ramai kini mulai sepi. Saf salat yang semula rapat perlahan-lahan mulai maju karena ditinggalkan oleh jemaahnya. Kesibukan umat mulai beralih kepada hal-hal duniawi: mempersiapkan baju baru, jajanan, serta segala pernak-pernik Idulfitri.

Baca juga: Meraih Kemuliaan di Sepuluh Hari Terakhir Ramadan

Di antara manusia, ada yang berbahagia menyambut akhir Ramadan. Mereka merasa telah menang, bukan hanya karena berhasil menahan lapar dan dahaga, tetapi juga karena mampu melawan hawa nafsu. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati adalah milik mereka yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Sebaliknya, mereka yang tunduk pada nafsu akan selalu diliputi kegelisahan.

Baca Juga:  Pesan Subuh dari Ambarawa: Lima Hal yang Wajib Dilakukan sebelum Terlambat

Namun, tak sedikit pula yang menyambut akhir Ramadan dengan sikap biasa-biasa saja. Ramadan datang dan pergi tanpa makna mendalam. Mereka terbiasa dengan perbuatan yang mendatangkan dosa, sehingga bulan suci ini tak membekas dalam hati mereka. Sementara itu, sebagian lainnya justru merasa sangat kehilangan. Ramadan bagi mereka adalah bulan yang istimewa, tak tergantikan oleh bulan lainnya.

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Lathā’if al-Ma‘ārif menggambarkan bagaimana para ulama menyambut dan melepas bulan ini. Enam bulan sebelum datangnya Ramadan, mereka tekun berdoa agar Allah mempertemukan mereka kembali dengan bulan penuh rahmat itu. Setelah Ramadan berlalu, selama enam bulan berikutnya mereka terus berdoa agar seluruh amal ibadah selama Ramadan diterima oleh Allah Swt. Ketika Ramadan berakhir, mereka diliputi kesedihan yang mendalam, seolah-olah kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz keluar rumah pada hari Idulfitri. Dalam khutbahnya, ia berkata, “Wahai rakyatku! Kalian telah berpuasa karena Allah Swt. selama tiga puluh hari. Kalian juga telah menegakkan salat malam selama tiga puluh malam. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan itu diterima.”

Baca Juga:  Rahmat Allah Tak Pernah Tertutup bagi Pendosa, Gunakan Waktu Sahur untuk Bertobat

Pada saat itu, ada seorang lelaki yang justru menampakkan kesedihan. Ketika ditanya, “Bukankah ini hari kebahagiaan dan kemenangan?” Ia menjawab, “Benar. Namun, aku hanyalah seorang hamba yang diperintahkan oleh Allah untuk beramal. Aku tidak tahu apakah amalku diterima atau tidak. Itulah yang membuatku bersedih.”

Lain lagi dengan Amir bin Qais. Ia menangis menjelang kematiannya. Keluarganya bertanya, “Apakah engkau menangis karena takut menghadapi kematian?” Amir menjawab, “Mengapa aku tidak boleh menangis, dan siapa yang lebih berhak menangis selain diriku?” Ia melanjutkan, “Tetapi aku tidak menangis karena takut mati atau ingin hidup lebih lama di dunia. Aku menangis karena akan ditinggal oleh puasa di siang hari yang terik, dan salat malam di musim yang dingin.”

Begitulah kesedihan para alim saat ditinggalkan oleh bulan Ramadan—bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Mereka merasakan kehilangan seolah-olah ditimpa musibah besar. Ramadan bagi mereka bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momen spiritual yang mendalam, yang kepergiannya layak untuk diratapi. (#)

Baca Juga:  Mimpi Basah Siang Hari di Bulan Ramadan, Batalkah Puasanya?

Penyunting Mohammad Nurfatoni