Opini

Tabungan Puluhan Tahun Kandas, Asa Tinggal Sepenggal

382
×

Tabungan Puluhan Tahun Kandas, Asa Tinggal Sepenggal

Sebarkan artikel ini

 

Ilustrasi freepik.com premium

Tabungan puluhan tahun yang saya persiapkan untuk pendidikan anak, kandas tak berbekas. Asa hanya tinggal sepenggal, itupun masih diselimuti ketidakpastian.

Kisah nyata oleh Basirun

Tagar.co – Setiap orang tua pasti mendambakan pendidikan terbaik untuk buah hati mereka. Namun, kenyataan pahit seringkali datang menghadang. Biaya pendidikan yang kian melambung tinggi membuat mimpi itu seakan sulit digapai. Realita inilah yang bertahun-tahun menggelayuti pikiran saya.

Berbekal ijazah madrasah aliyah, 40 tahun silam, saya mengabdikan diri sebagai guru di sebuah SD Muhammadiyah di bawah naungan Majelis Pendidikan dan Kebudayaan PCM Genteng Surabaya. Tahun-tahun berlalu, saya dikaruniai tiga orang anak. Tanggung jawab pun bertambah, terutama perihal biaya pendidikan mereka kelak.

“Untuk keperluan anak-anak, bagaimana kalau kita menabung melalui asuransi pendidikan?” tanyaku pada Yanti, istri tercinta, suatu hari.

“Kenapa harus asuransi? Kok tidak tabungan biasa saja?” sahutnya, penuh tanya.

Saya pun berusaha menjelaskan persamaan dan perbedaan antara menabung di bank dan asuransi pendidikan. Beberapa perusahaan asuransi saya hubungi, dan tak lama berselang, salah satu perusahaan asuransi milik pribumi menghubungi saya melalui telepon kantor. Seorang agen pun datang ke rumah, menjelaskan dengan bersemangat.

“Tabungan merupakan produk keuangan yang memberikan manfaat penyimpanan dana,” jelas agen itu. “Penyimpanan ini dapat dialokasikan untuk berbagai hal, termasuk dana pendidikan. Berbeda dengan asuransi, yang memberikan manfaat proteksi dan perlindungan terhadap suatu risiko, seperti sakit, meninggal dunia, dan lainnya.”

Masalah Datang

Setelah berdiskusi panjang, kami memutuskan untuk mengikutsertakan ketiga anak kami dalam program asuransi pendidikan secara bertahap. Kami memilih Asuransi Mitra Beasiswa, yang menjanjikan Dana Kelangsungan Belajar (DKB) bertahap: 10 persen saat anak masuk SD, 20 persen saat masuk SMP, dan 30 persen saat masuk SMA.

Baca Juga:  Belajar sambil Berwisata: Siswa SD Musix Surabaya Mengenal Tanaman lewat Odong-Odong

“Dana beasiswa akan kita terima jika periode asuransi usai, sebesar 100 persen dari dana pertanggungan,” jelasku pada Yanti, mengutip informasi dari agen Asuransi Bumiputera.

Anak pertama kami, yang saat itu berusia dua tahun, menjadi yang pertama mengikuti program ini. Saya membayar premi dengan disiplin setiap tiga bulan sekali selama sepuluh tahun. Alhamdulillah, dua anak pertama kami menerima DKB sesuai janji. Tinggal satu polis lagi yang jatuh tempo pada tahun 2019, bertepatan dengan masa pandemi Covid-19.

Semangat saya membara, tak peduli dengan pandemi, saya mendatangi kantor Bumiputera di wilayah Kecamatan Genteng Surabaya. “Selamat pagi, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa karyawati bermasker.

Baca juga: Kisah Ketangguhan: Jejak Tsunami di PLTD Apung Banda Aceh

Saya menjelaskan maksud kedatangan saya, hendak mengklaim asuransi pendidikan yang telah habis masa kontrak. Namun, bagai disambar petir di siang bolong, karyawati itu menjelaskan bahwa perusahaan sedang dalam kondisi tidak sehat.

“Lha, terus kapan saya dapat menerima uang saya?” tanya saya, nada suaraku meninggi.

Petugas itu tak bisa memberikan kepastian. Dia hanya mengatakan saya harus menunggu antrean. “Saya pada urutan ke berapa?” tanyaku penasaran.

“Nama Bapak pada antrean keempat ratusan,” jawabnya.

“Astaghfirullah!” teriakku, kecewa dan putus asa.

Dengan berbagai argumen, tetap saja tak ada harapan. Saya hanya bisa menitipkan pesan agar pencairan dana saya didahulukan. Bersama istri, saya meninggalkan kantor megah itu dengan ribuan rasa kecewa.

Kantor Tutup

Tahun berganti tahun. Saya hampir melupakan klaim asuransi yang pernah saya ajukan. Hingga pada tahun 2023, seorang teman sesama nasabah mengabarkan kebijakan penurunan nilai manfaat polis sebesar 50 persen, berdasarkan keputusan sidang luar biasa pemegang polis. Dia menyarankan agar para pemegang polis yang setuju segera mengisi pernyataan persetujuan. Saya memilih untuk tidak datang, masih berharap hak saya dikembalikan sepenuhnya.

Baca Juga:  Merdu Angklung SD Musix Sambut Kunjungan Mahasiswa KKL UMC di Surabaya

Akhir tahun 2024, tepatnya Kamis, 30 Desember 2024, saya kembali mendatangi kantor perwakilan Ahmad Jais, Kecamatan Genteng Surabaya. Namun, kantor itu sudah tutup. Setelah mencari informasi, ternyata kantor tersebut telah dimerjer dengan tujuh kantor cabang lain dan berpindah ke Jalan Kapas Krampung Surabaya.

Keesokan harinya, saya dan istri mendatangi alamat baru tersebut. Namun, alangkah terkejutnya kami. Kantor itu hanya tampak seperti ruangan kosong dengan satu pintu rolling door yang terbuka tidak penuh. Tak ada papan nama, tak ada tanda-tanda aktivitas perkantoran.

“Pak, benarkah ini kantor yang kita cari?” tanya istri saya, ragu.

Saya pun ragu, namun tetap berusaha mencari informasi melalui nomor telepon yang kami dapat. Baru saja hendak menelepon, seorang lelaki setengah baya mempersilakan kami masuk ke lantai dua. Dengan langkah gontai, kami menaiki anak tangga. Di lantai dua, suasana tak jauh berbeda, sepi dan lengang.

Asa Tinggal Sepenggal

Seorang wanita bermasker menemui kami. Saya kembali menyampaikan maksud kedatangan, berharap ada secercah harapan. Namun, wanita itu hanya mengulang penjelasan yang sama seperti tahun 2023 lalu.

“Lha terus bagaimana ini? Saya mengajukan sejak tahun 2019 kok belum ada hasilnya?” seru saya, emosi kembali memuncak.

“Maaf Bapak, kami hanya karyawan yang menjalankan amanah dari pusat. Mau tidak mau, sudah menjadi kebijakan pusat,” jawabnya, berusaha meyakinkan.

Baca Juga:  Bocil SD Musix Ini Jadi Anggota Tapak Suci Termuda, Dilantik bersama sang Ayah

“Terus, yang separuhnya kapan dibayar?” tanya saya, kian emosi.

“Insyaallah jika tahun 2027 perusahaan sehat kembali, sisa dana Bapak akan dibayarkan,” jelasnya.

“Kalau saya membuat pernyataan sekarang, bisakah cair pekan depan?” tanya saya, mencoba bernegosiasi.

“Maaf, sampai tahun 2025 menyelesaikan pengajuan tahun 2019 hingga pengajuan tahun 2024,” jelasnya.

Wanita itu, yang mengaku juga terkena imbas dan gajinya tidak dibayar penuh, tetap tak bisa memberikan kepastian. Dia menyarankan agar saya mengisi pernyataan persetujuan dengan konsekuensi penurunan nilai manfaat hingga 50 persen.

Saya menerima print out rincian dana pendidikan dan pemotongan yang harus saya terima. “Siapkan materai dan fotokopi KK dan KTP, Bapak!” sambungnya.

Terpaksa saya membeli materai di toko sebelah, sambil menggerutu dalam hati. “Sudah uang saya dipotong separuh, masih harus menyiapkan materai sendiri. Perusahaan macam apa ini!”

Sambil mengisi pernyataan, saya mencoba bertanya penyebab semua ini. Wanita itu menjelaskan bahwa ini semua akibat pengelolaan dana perusahaan yang sembrono, mengakibatkan kerugian bagi para nasabah.

Kini, harapan saya pupus sudah. Tabungan puluhan tahun yang saya persiapkan untuk pendidikan anak, kandas tak berbekas. Asa hanya tinggal sepenggal, itupun masih diselimuti ketidakpastian.

Kami hanya bisa berharap dan berdoa, semoga keadilan masih berpihak pada kami, para nasabah yang dirugikan. Jika memang masih rezeki, pasti akan kembali, tetapi kalau memang tidak, inilah takdir pahit yang harus kami terima.

Sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya memilih institusi keuangan yang terpercaya dan diawasi dengan baik. (#)

Surabaya 3 Januari 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni