
Krisis pasar modal bukan cuma urusan investor. Ketika IHSG goyah dan rupiah melemah, efeknya bisa sampai ke warung dan pasar. Rakyat kecil jadi pihak pertama yang merasakan dampaknya.
Oleh Prima Mari Kristanto; Akuntan Publik
Tagar.co – Bursa Efek Indonesia, sebagai wadah perdagangan surat berharga perusahaan-perusahaan terbuka (Tbk), tengah dilanda ketidakstabilan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami fluktuasi signifikan, didorong oleh tekanan aksi jual yang lebih besar dibandingkan aksi beli.
Situasi ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, yang pada Senin, 7 April 2025 pukul 10.41 WIB sempat menyentuh angka Rp17.261 per dolar—level yang mengingatkan kita pada masa krisis moneter 1998.
Meski Presiden Prabowo telah mengimbau masyarakat untuk tetap tenang—dengan pernyataan bahwa “orang-orang kampung tidak pegang saham”—krisis ini sejatinya tidak bisa dipandang remeh. Gejolak di pasar modal bisa merembet ke sektor riil, termasuk pasar tradisional tempat masyarakat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Pasar modal memiliki fungsi strategis sebagai tempat lalu lintas mata uang asing, terutama dolar. Ketika investor asing masuk dan membeli saham-saham Indonesia, mereka menukar dolar mereka dengan rupiah, yang secara langsung membantu menjaga kestabilan kurs.
Namun, saat investor menarik dananya secara masif, permintaan terhadap mata uang asing melonjak. Hukum pasar pun berlaku—kurs rupiah melemah karena tekanan permintaan dolar yang tinggi.
Dampak berikutnya terasa pada pasar uang di perbankan nasional. Bank-bank besar seperti BRI, BNI, Mandiri, BCA, dan BSI yang terhubung langsung dengan pasar modal, ikut terseret arus krisis. Sebagai urat nadi ekonomi nasional dari level korporasi hingga koperasi dan UMKM, mereka harus beradaptasi dengan realitas baru yang lebih menekan.
Efek domino tak terhindarkan. Perusahaan besar penyedia kebutuhan pokok—seperti Indofood, Wilmar, Sinarmas, dan Ultrajaya—menghadapi tekanan biaya produksi akibat fluktuasi kurs dan kenaikan harga bahan baku impor.
Komoditas strategis seperti beras, kedelai, garam, gula, bahkan BBM, yang sebagian besar masih bergantung pada impor, menjadi lebih mahal untuk didatangkan ke dalam negeri. Semua ini bermuara pada satu titik: pasar tradisional, tempat rakyat kecil bergantung setiap hari.
Masyarakat akar rumput kini hanya bisa berharap pemerintah menemukan jurus-jurus jitu untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan memperbaiki nilai tukar rupiah. Target kembalinya kurs ke kisaran Rp10.000–Rp15.000 per dolar menjadi harapan bersama.
Teriakan “Indonesia gelap” dari para mahasiswa bukan sekadar ekspresi frustrasi, tetapi juga panggilan moral agar pemerintah bergerak lebih cepat dan tepat. Demonstrasi, kritik, dan saran dari aktivis maupun akademisi harus dimaknai sebagai bentuk cinta pada tanah air—obat mujarab untuk menghindari krisis yang lebih dalam.
Kita punya pelajaran berharga dari krisis 1997/1998. Bagaimana Presiden B.J. Habibie bersama Kabinet Reformasi Pembangunan berhasil mengatasi beragam persoalan ekonomi, sosial, dan politik hingga nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp6.000-an. Kini, masyarakat menanti bukti nyata dari kepemimpinan Presiden Prabowo dan soliditas Kabinet Merah Putih untuk membawa bangsa ini keluar dari tekanan.
Dukungan dari DPR, DPD, MPR, OJK, Bank Indonesia, dan seluruh perangkat negara sangat diperlukan agar Indonesia bisa segera bangkit. Mari buktikan bahwa narasi “Indonesia gelap” keliru—bahwa sesungguhnya kita tengah melangkah dari gelap menuju terang. Minazulumatiilanur—dari kegelapan menuju cahaya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni