Opini

Ketika Gus Miftah Dijadikan Pahlawan

1012
×

Ketika Gus Miftah Dijadikan Pahlawan

Sebarkan artikel ini
Gus Miftah dan Sonhaji (Foto antaranews.com)

Gus Miftah salah dan sudah minta maaf. Sayangnya ada yang menjadikannya sebagai pahlawan bagi Sonhaji, si penjual es teh, yang dia goblok-goblokkan.

Opini oleh Aji Damanuri, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazismu Tulungagung.

Tagar.co – Ketika Gus Miftah melontarkan kata-kata tidak pantas ke penjual es teh, kemudian viral dan akhirnya meminta maaf sebenarnya sudah pada ritme yang normal.

Semua orang bisa salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah dengan tobat. Tobat yang berkenaan dengan hak-hak anak Adam adalah dengan cara meminta maaf dan silaturahmi.

Namun tampaknya parodi permohonan maaf Gus Miftah bukan akhir dari kegaduhan. Kegaduhan baru dimulai ketika para pendukungnya di media sosial membuat narasi bahwa sang dai menjadi pahlawan sesungguhnya bagi penjual es, Sonhaji. Dengan ucapan sang dai maka banjir dukungan dan donasi pada penjual es yang terzalimi tersebut.

Misalnya, pada akun Facebook Anak Kuliah memposting, “Apakah ini pahlawan yang sesungguhnya? Coba kalau beliau tidak berucap seperti itu, mungkin cuma ratusan ribu saja rejeki penjual es itu, berkat kata-kata mutiara beliau, kini penjual esteh dapat motor, dapat hadiah umrah, dapat uang puluhan juta dari Willy Salim, dapat modal, dan banyak lagi. Jadi kalian tau kan siapa pahlawanya. Kenapa malah kalian hujat.”

Jika logika ini dipakai untuk membenarkan perilaku yang salah maka bisa jadi makhluk yang paling berjasa bagi kemajuan manusia adalah setan atau iblis. Berkat perilaku setan maka semua manusia berusaha menjadi orang saleh, kitab-kitab suci diturunkan, rasul-rasul diutus untuk mencerahkan manusia.

Baca Juga:  Bijak Berbelanja, Panduan Konsumen Muslim di Era Digital

Apa kemudian penjajahan Israel ke Palestina yang menjadi pahlawan justru Israel, karena mencaplok Palestina maka dukungan dan donasi ke Palestina mengalir dengan deras.

Bahkan sosok Firaun bisa menjadi pahlawan bagi Musa dan Bani Israel, karena berkat kesombongannya mereka merdeka dari perbudakan.

Logika-logika semacam ini hanya akan memutarbalikkan kebenaran. Logika ini jika dilanjutkan bisa sangat berbahaya.

Bukankah Abu Jahal, Abu Lahab, dan para pembesar kafir Qurais yang menganiaya Rasulullah dan para sahabatnya sehingga mereka kemudian berhijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah inilah menjadi cikal bakal berkembangnya islam, bahkan Umar bin Khatab menjadikannya sebagai tonggak kalender Hijriah.

Apa kita akan menganggap Abu Jahal dan kroninya sebagai pahlawan? Sungguh logika yang cacat dan menyesatkan.

Dalam semua kejadian pasti ada hikmah, bukan berarti kesalahan menjadi benar. Ketika ada seseorang tertabrak truk di jalan kemudian diberi hadiah besar oleh penabraknya bukan berarti menabrak orang adalah jalan rejeki. Jangan sampai orang berpikir untuk memperoleh rezeki bisa dilakukan dengan menjadi orang yang terzalimi. Maka ucapan dan perbuatan tidak pantas bisa dilakukan?

Mestinya ketika permohonan maaf telah diterima maka alur pertobatan dijalankan sesuai arahan para ulama. Imam

Empat Langkah Tobat

Nawawi dalam kitab Riadhus Shalihin memberi ajaran yang jelas tentang pertaubatan ini. Paling tidak ada empat langkah pertobatan bagi seseorang yang bersalah, yang tiga ketika bersalah pada Allah, dan ditambah satu jika kesalahan terkait dengan manusia lainnya.

Baca Juga:  Kultum Ramadan: Bahaya Tersembunyi, Tiga Hal yang Bisa Membinasakan Kita

Pertama hendaklah menghentikan sama sekali seketika itu juga dari kemaksiatan yang dilakukan, kedua ialah supaya merasa menyesal karena telah melakukan kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sah tobatnya.

Apabila kemaksiatan itu ada hubungannya dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam, yaitu tiga syarat yang tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepaskan tanggungan itu dari hak kawannya.

Jika tanggungan itu berupa harta atau yang semisal dengan itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak tadi. Jikalau berupa dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan daripada kawannya.

Jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat olehnya.

Apa yang sudah dilakukan Gus Miftah adalah sebuah kesalahan, karena itulah dia meminta maaf dan memberi banyak hadiah. Apakah permohonan maaf tersebut tulus atau karena desakan netizen, hanya dia dan alloh yang tau. Namun rukun taubat yang disampaikan Imam Nawawi bisa menjadi indikatornya.

Ucapan tidak pantas yang dilakukan bukan hanya menyakiti satu orang tetapi boleh jadi juga menyakiti semua pedagang asongan. Jika menghentikan ucapan-ucapan kotornya, menyesalinya, dan tidak mengulanginya, itu pertanda bahwa taubatnya sungguh-sungguh, permohonan maafnya tulus.

Baca Juga:  Memaafkan, Kunci Kedamaian Hidup: Naskah Khotbah Idulfitri 1446

Ucapan Gus Miftah tetaplah salah, tetapi permohonan maafnya adalah hal yang mulia. Bukankah begitu yang benar, menghapus kesalahan dengan perbuatan-perbuatan baik secara konsisten.

Jika di kemudian hari terjadi lagi, mungkin tabiatnya memang begitu, dan pertobatannya hanya kamuflase semata untuk menenangkan dan menyenangkan masa.

Tetapi kita bukan hakim yang bisa memvonis masa depan. Jika dilihat dari kesediaan Gus Miftah mengunjungi rumahnya, kemudian balik dikunjungi, memberi banyak hadiah, meminta maaf dengan terbuka, itu adalah bukti keseriusannya.

Semua hal baik tersebut merupakan bukti permohonan maaf, bukan menjadi pembenar atas ucapan yang salah. Peristiwa ini tentu bukan hanya pembelajaran bagi Gus Miftah tetapi bagi kita semua agar mampu mengendalikan lisan kita baik yang berupa lidah maupun jari tangan.

Penyikapan dan komentar para netizen baik yang terlalu ke kanan maupun terlalu negatif sebenarnya juga merupakan ujian adab dalam bersikap. Apakah mampu berbuat bijak ataukah juga melanggar adab dalam bentuk lain. Apa yang ditulis kadang tidak lebih beradab dari apa yang diucapkan.

Permohonan maaf sudah dilakukan, pemberian maaf sudah dilaksanakan, maka bagi netizen cukup mengambil hikmahnya dan melihat bagaimana ke depan.

Tidak ada gunanya terus menghujat dan mencari-cari kesalahan melebihi konteks yang ada. Jangan sampai problem Gus Miftah sudah selesai tapi problem netizen baru dimulai. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni