Cerpen oleh Nadhirotul Mawaddah; Guru TK Aisyiyah 41 Menganti, Gresik, Jawa Timur.

Tagar.co – Habibi menatapku dengan tatapan penuh ketakutan dari balik punggung ibunya. “Anak saya ini memiliki kebutuhan khusus, Bunda,” suara Bu Sinta, sang ibu, terdengar bergetar.

“Kebutuhan khusus apa, Bu?” Aku berusaha menahan rasa penasaranku. Kuteliti setiap inci tubuh Habibi, mencari jawab atas pertanyaan yang bergema dalam batinku. Tak kutemukan keanehan fisik padanya. Dia tampak sempurna.

“Habibi mengalami speech delay, Bunda. Dia … dia juga punya trauma,” Bu Sinta menunduk, suaranya makin lirih.

“Di sekolah sebelumnya, dia sering di-bully. Teman-temannya, bahkan gurunya, tidak ada yang peduli.”

Cerita Bu Sinta mengalir bagaikan sungai yang keruh, membawa serta serpihan-serpihan penderitaan Habibi.

“Beberapa bulan terakhir, Habibi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dalam tidurnya Habibi selalu menangis dan gelisah. Setiap berangkat sekolah selalu bertingkah, tapi tetap saya paksa untuk berangkat.

Suatu saat saya berkesempatan untuk menjemput dia di sekolah. Saya sangat terkejut melihat dengan mata kepala saya sendiri, anak saya dilempari batu oleh teman-teman sebayanya. Mereka melempar batu ke arah anak saya sambil tertawa kegirangan dan tidak ada satu guru pun yang melerai mereka.

Baca Juga:  Tangis Haru Menyelimuti Penutupan Baitul Arqam Aisyiyah Menganti

Seketika itu juga saya marah dan lapor ke kepala sekolahnya, tapi apa yang saya dapatkan? Dia bilang kalau teman-temannya hanya bergurau saja. Hati orang tua mana yang tidak sakit melihat anaknya diperlakukan seperti itu?”

Baca cerpen lainnya: Sekar

Cerita Bu Sinta bagai sembilu yang mengiris hatiku. Tubuhku ikut merasakan sakit yang dirasakan Habibi, anak sekecil itu sudah harus menanggung beban perundungan. Dengan langkah pelan dan hati-hati, aku mendekatinya.

Kuulurkan tanganku, mengajaknya bersalaman, berharap sentuhan lembutku bisa menembus tembok ketakutannya. Namun, dia menepisnya, tatapannya masih dipenuhi kewaspadaan. Aku menghela nafas. “Baiklah, mungkin besok dia mau,” bisikku dalam hati. Kulemparkan senyum termanisku, berharap senyum itu bisa mencairkan sedikit ketegangan di wajahnya.

Hari berikutnya, giliran ayah Habibi yang mengantar. Ibunya harus bekerja. Habibi, yang sudah berdiri di depan kelas, menoleh ke belakang, menatap ayahnya yang berdiri di kejauhan. Kegelisahan tergambar jelas di wajahnya. Aku berjongkok, mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya.

“Habibi, di sini aman. Bunda janji, tidak akan ada yang menyakiti Habibi,” bisikku lembut, mencoba menanamkan rasa percaya di hatinya yang terluka.

Baca Juga:  Sains di Balik Niat: Kasus Orang yang Membaca Al-Quran Terbata-bata dan Pintu Masuk Puasa Ramadan

Aku memperkenalkannya pada teman-teman barunya. Namun, seolah trauma itu masih menggerogoti, Habibi menjerit histeris. Tangisannya meledak, memilukan. Dia menarik rambut ikalnya dengan kasar, melampiaskan rasa takut dan ketidakberdayaannya. Hatiku remuk melihat penderitaan yang terpancar dari anak sekecil ini.

Sepekan berlalu, Habibi hanya mau menyendiri, bersembunyi di balik bayang-bayang ketakutan. Dia menolak masuk kelas, memilih menghabiskan waktunya di kantor sekolah. Aku membiarkannya, memberinya ruang untuk bernapas. Untungnya, teman-teman sekelasnya memiliki empati yang luar biasa. Mereka mengerti, memberi Habibi waktu yang dia butuhkan.

Sebulan kemudian, titik terang mulai muncul. Habibi mulai mau berinteraksi, meskipun masih dengan caranya sendiri: membisu. Dia masih belum bisa mengucap sepatah kata pun. Setiap kali hendak memakai sepatu, dia akan mencariku, menenteng sepasang sepatunya dengan wajah memelas.

“Habibi mau apa?” tanyaku, berpura-pura tidak mengerti.

Dia menyodorkan sepatunya, tetap membisu.

“Bilang, ‘Tolong’,” aku menuntunnya.

Dia menggeleng, tetap menyodorkan sepatunya.

“Baiklah, hari ini Bunda bantu. Besok, jangan lupa bilang ‘tolong’, ya,” pintaku.

Baca Juga:  Orang Tua Berbagi Kisah Inspiratif di TK Aisyiyah 41 Menganti Gresik

Proses ini berlangsung berbulan-bulan. Habibi tetap datang padaku, menyodorkan sepatunya, tanpa kata. Aku pun tetap pada pendirianku, mengajaknya bicara, mengajaknya untuk meminta tolong.

Sampai suatu hari, seperti biasa, Habibi menghampiriku dengan sepasang sepatunya. Aku berjongkok, menatap matanya lekat-lekat.

“T o l o n g ..!”

Suara itu, lirih, hampir tak terdengar, keluar dari bibirnya. Bagaikan keajaiban, Habibi akhirnya bersuara. Hanya satu kata, “tolong,” tetapi itu sudah cukup untuk membuat air mataku mengalir. Aku memeluknya erat, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Senyum tipis, untuk pertama kalinya, terukir di wajahnya.

Tujuh tahun berlalu. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Dari salah seorang teman guru.

“Bunda, Habibi juara lomba hafiz tingkat nasional dalam rangka Hari Santri!”

Jantungku berdegup kencang. Habibi, murid kecilku yang dulu selalu datang padaku untuk dipakaikan sepatunya, kini telah menjadi seorang hafiz. Air mata haru kembali mengalir. Allah Maha Baik, telah mengangkat derajat Habibi, memberinya kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.

Habibi, anakku, kebanggaanmu membuatku tak henti bersyukur. Semoga kelak, mahkota cahaya akan menghiasi kepalamu, dan jubah kemuliaan akan tersemat di tubuh kedua orang tuamu di surga nanti. Doaku selalu menyertaimu, Nak. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni