
Ramadan adalah bulan penuh berkah. Mengapa tidak menjadikannya momen produktif dengan menulis satu buku? Mulai dari sekarang, dan buktikan bahwa menulis itu bisa dilakukan!
Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan 12 judul lainnya.
Tagar.co – Membaca judul tulisan ini, mungkin banyak yang tersenyum. Bisakah? Sebegitu mudahkah menulis dan apalagi sampai menghasilkan sebuah buku dalam sebulan?
Perhatikan ayat ini: “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Al-Baqarah 185).
Pada ayat di atas, yang dimaksud permulaan Al-Qur’an adalah lima ayat pertama dari QS Al-‘Alaq (Surat ke-96):
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (baca-tulis). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Baca juga: Jejak Digital Bisa Jadi Hantu Kehidupan
Cermatilah ketetapan Allah pada lima ayat pertama itu. Tampak bahwa bagi Allah, membaca sangat penting bagi manusia. Allah memilihnya sebagai perintah pertama. Bahkan, di ayat ketiga, Allah kembali menegaskan: “Bacalah!”
Selanjutnya, pada ayat keempat, Allah meminta kita aktif dalam aktivitas membaca dan menulis (yang kemudian kita kenal sebagai literasi). Perhatikan Surah Al-‘Alaq 4, yang menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam (baca-tulis). Kini, kita memahami bahwa di hadapan Allah, aktivitas membaca dan menulis sangat penting.
Ada dua hal yang harus selalu kita jadikan pedoman berdasarkan lima ayat pertama tersebut. Pertama, Allah menempatkan tema membaca dan menulis di bagian paling awal dalam pembelajaran tentang Islam. Kedua, Allah meminta kita aktif membaca sebelum sampai kepada petunjuk-Nya, yakni di ayat keempat, agar kita juga aktif dalam menulis.
Terkait hal ini, bukan tidak mungkin Buya Hamka sangat terpengaruh oleh lima ayat pertama itu, terutama ayat 1, 3, dan 4. Ulama besar dan penulis lebih dari seratus judul karya tulis itu mengatakan bahwa seorang penulis harus lebih banyak membaca daripada menulis.
Fakta dan Harapan
Kita sedih karena di negeri ini, warganya rata-rata tidak suka membaca. Minat membaca di Indonesia sangat rendah. Unesco menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka 0,001 persen atau dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca (www.rri.co.id, 23 April 2024).
Kita menjadi semakin sedih jika ada pertanyaan lanjutan: dari 1.000 orang yang diteliti itu, berapa yang suka menulis? Ya, adakah? Tidak sulit menjawabnya sebab modal utama untuk menulis adalah banyak membaca.
Apa pun yang terjadi, kita harus tetap menyalakan semangat. Ke depan, harus tumbuh kesadaran untuk menjadikan membaca sebagai hobi pertama dan utama. Pada saat yang sama, kita harus menjadikan menulis sebagai aktivitas prioritas.
Mulailah dari Sekarang
Di sekitar kita, ada yang mengaku sudah rajin membaca. Sebagian bahkan telah mengikuti pelatihan menulis beberapa kali. Namun, ternyata mereka tetap merasa tidak bisa menulis.
Seharusnya bisa, sebab syarat utama menulis sudah mereka miliki, yaitu suka membaca. Apalagi jika telah mengikuti (bahkan beberapa kali) pelatihan menulis. Lalu, mengapa tetap tidak bisa menghasilkan satu tulisan saja?
Terkait situasi tersebut, ada cerpen yang sangat menggugah berjudul Teori Kepenulisan. Berikut intisarinya.
Tersebutlah seorang bernama Dewi. Di benaknya, berbagai teori kepenulisan berkelebat. Dalam hal ini, Dewi memang hebat. Ia menguasai teori hasil dari mengikuti berbagai pelatihan menulis. Namun, ada satu hal yang tidak segera ia lakukan, yaitu mulai menulis.
Dalam cerpen itu dikisahkan bahwa Dewi berniat ikut sebuah lomba kepenulisan. Namun, sampai hari terakhir batas pengumpulan naskah, ia tidak bisa memenuhinya. Sebabnya, Dewi menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk mematut-matut diri agar sesuai dengan teori kepenulisan.
Dewi selalu menunda untuk mulai menulis. Hingga hari terakhir pengumpulan naskah, tidak satu lembar pun berhasil ia tulis.
Pesan moral dari cerpen tersebut sangat kuat: siapa pun yang ingin menjadi penulis (terutama yang ingin berprestasi) harus segera mulai menulis. Teori kepenulisan memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah segera mulai menulis.
Ramadan dan 3M
Ramadan adalah momentum untuk memperbanyak amal saleh. Membaca dan menulis termasuk amal yang baik. Menulis (tentang kebaikan) dan kemudian dipublikasikan tentu saja merupakan amal yang sangat baik.
Mari, di Ramadan tahun ini, kita pasang niat baik: menghasilkan satu buku. Bisakah? Insya Allah, bisa! Semua tergantung pada diri kita sendiri.
Jika kita membutuhkan buku tentang teori menulis, banyak tersedia di sekitar kita. Kita bisa membelinya atau mencarinya di internet yang menyediakan berbagai teori menulis secara gratis.
Selain itu, ada cara lain untuk belajar menulis, yaitu dengan mempelajari sebanyak mungkin karya tulis orang lain. Perhatikan bagaimana seorang penulis membuat judul, membuka paragraf pertama, mengembangkan isi, menyampaikan argumentasi, serta menutup tulisan dengan baik dan mengesankan.
Baiklah, teori menulis sudah kita kuasai. Bagaimana selanjutnya? Pilihlah tema yang akan kita tulis sekaligus menentukan (calon) judul buku, misalnya Jalan Suci Mendidik Buah Hati.
Setelah tema atau judul buku dibuat, langkah berikutnya adalah membuat daftar isi. Sebagai gambaran, kita bisa membaginya menjadi 30 bahasan. Mengapa 30? Karena Ramadan tahun ini diasumsikan berumur 30 hari. Kita bisa menargetkan satu tulisan per hari. Dengan demikian, saat Hari Raya Idulfitri tiba, kita memiliki 30 tulisan sesuai rencana.
Seberapa tebal buku kita? Jika tiap bahasan terdiri atas 6.000 karakter atau sekitar 850 kata, dalam format buku standar (14×21 cm), setiap bahasan akan menjadi sekitar 5 halaman. Dengan 30 bahasan, kita akan menghasilkan sekitar 150 halaman. Itu sebuah karya pertama yang amat patut disyukuri, alhamdulillah.
Bagaimana jika kita mulai menulis hari ini, Jumat 7 Maret 2025, yang bertepatan dengan 7 Ramadan 1446? Kita masih punya kesempatan menulis satu tulisan per hari hingga sebelum Hari Raya Idulfitri tiba. Jika kita bisa membuat minimal 20 tulisan dengan panjang 6.000 karakter atau 850 kata per tulisan, hasilnya akan menjadi sekitar 100 halaman dalam format buku standar. Itu tetap merupakan prestasi yang baik.
Jadi, siapa bilang tidak mungkin membuat sebuah buku dalam sebulan? Yakinlah, semua tergantung pada niat kita yang kuat. Niat itu harus didukung dengan resep menulis paling hebat, yaitu 3M: Mulai, mulai, dan mulailah!
Penyunting Mohammad Nurfatoni