
Suhaib bin Sinan, sang perantau yang rela meninggalkan harta demi meraih kebebasan hakiki bersama Rasulullah Saw.
Romantika Istimewa Pencari Rida Ilahi: Kisah Suhaib bin Sinan; oleh Masro’in Assafani Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Lamongan.
Tagar.co – Manusia istimewa adalah mereka yang mencurahkan pengorbanannya hanya karena menuhankan Allah, bukan kepada yang lain. Manusia berjiwa unggul dan bermartabat, rela mengorbankan harta benda, bahkan dirinya, demi mencari keridaan Allah Swt.
Salah satu teladan yang patut kita ikuti adalah Suhaib bin Sinan, sahabat Rasulullah Saw. yang meninggalkan kekayaannya demi mengikuti sang kekasih, Rasulullah Saw.
Allah Subhanahuwataala berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah 2: Ayat 207)
Mari kita simak kisah beliau yang penulis rangkum dari 60 Sirah Sahabat Rasulullah Saw. karya Khalid Muhammad Khalid, terjemahan Muhil Dhofir, Lc., sebagai berikut:
Suhaib bin Sinan: Pedagang yang selalu Mendapat Untung
Suhaib lahir di lingkungan yang penuh kesenangan dan kemewahan. Ayahnya adalah wali kota Abilah, sebuah kota di bawah kekuasaan Persia. Mereka adalah orang-orang Arab yang pindah ke Irak jauh sebelum datangnya Islam. Di istana yang terletak di tepi Sungai Eufrat, Suhaib kecil hidup dalam keadaan senang dan bahagia.
Suatu hari, wilayah tersebut diserbu pasukan Romawi. Banyak warga yang menjadi tawanan, termasuk Suhaib yang masih kanak-kanak. Ia kemudian diperjualbelikan sebagai budak hingga remaja dan tinggal di wilayah Romawi. Karena itu, bahasa dan dialeknya pun Romawi. Akhirnya, ia dibeli oleh seorang saudagar Mekah bernama Abdullah bin Jud’an.
Baca juga: Membeli Gengsi
Sang majikan tertarik dengan kecerdasan, kerajinan, dan kejujuran Suhaib. Suhaib pun dimerdekakan dan diberi kesempatan untuk berdagang.
Rekannya, Ammar bin Yasir, bercerita, “Aku bertemu Suhaib di depan rumah Arqam. Saat itu Rasulullah saw. berada di dalamnya. ‘Kamu mau apa?’ tanyanya. ‘Aku ingin bertemu Muhammad dan mendengarkan ucapannya,’ jawabku. ‘Aku juga,’ katanya.
Kami masuk ke rumah Arqam. Rasulullah kemudian menjelaskan tentang Islam. Kamipun masuk Islam. Kami tetap di rumah itu menunggu sore hari, lalu keluar dengan mengendap-endap.”
Suhaib sudah mengetahui jalan ke rumah Arqam. Artinya, ia sudah tahu jalan yang penuh cahaya, yang juga penuh pengorbanan berat. Pintu kayu rumah Arqam menjadi gerbang yang memisahkan dua kehidupan yang sangat berbeda. Satu langkah masuk ke rumah Arqam berarti beralih dari kehidupan jahiliah menuju kehidupan di bawah naungan Islam, yang juga berarti siap menghadapi semua tantangan dan memikul tanggung jawab yang berat.
Apalagi bagi fakir miskin, budak belian, dan perantau. Bagi mereka, memasuki rumah Arqam berarti siap berkorban apa saja, bahkan di luar batas kemampuan mereka.
Suhaib adalah seorang perantau, dan temannya, Ammar, adalah orang miskin. Lantas, mengapa mereka sampai rela memikul tanggung jawab yang amat berat dan siap menghadapi tantangan yang berbahaya?
Itulah panggilan keimanan yang tak terbendung. Itulah daya tarik Rasulullah saw. Kebaikan beliau membuat orang suka dan mendekat. Itulah pesona baru yang bersinar cemerlang, yang memukau akal pikiran yang bosan dengan kebiasaan lama, jenuh dengan kesesatan dan kepalsuan. Di atas semua ini, itulah rahmat dan petunjuk Allah yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Suhaib telah bergabung dalam kafilah orang-orang beriman. Ia bahkan menempatkan dirinya di posisi terdepan dalam barisan orang-orang yang teraniaya, tersiksa, dan para dermawan.
Dengan jujur, ia pernah bercerita tentang bagaimana ia menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim yang telah berbaiat kepada Rasulullah saw. dan ajaran Islam,
“Di setiap peristiwa penting yang dihadiri Rasulullah, aku pasti hadir. Di setiap peristiwa baiat, aku pasti ikut. Di setiap pertempuran kecil, aku pasti ikut. Di setiap peperangan besar, aku pasti ikut dan berada di sebelah kanan atau kiri Rasulullah. Jika ancaman datang dari depan, aku pasti berada di paling depan, dan jika ancaman datang dari belakang, aku pasti berada di paling belakang. Aku tidak pernah membiarkan Rasulullah berada dalam jangkauan musuh, hingga beliau wafat.”
Ini adalah gambaran keimanan dan kecintaan yang luar biasa. Suhaib layak mendapatkan keimanan yang begitu istimewa, sejak pertama kali menerima cahaya Ilahi dan menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasulullah saw. Semoga Allah meridhainya dan meridhai rekan-rekannya.
Mulai saat itu, hubungannya dengan dunia dan sesama manusia, bahkan dengan dirinya sendiri, berubah. Jiwanya ditempa menjadi keras, ulet, zuhud, dan tak kenal lelah. Segala macam tantangan diatasi, dan segala marabahaya dijinakkan.
Sebagaimana ia jelaskan, ia selalu menghadapi segala risiko dengan keberanian luar biasa. Ia tidak pernah mundur dari pertempuran dan bahaya. Ia lebih suka memikul tanggung jawab daripada mengumpulkan keuntungan. Ia lebih suka berada dalam bahaya dan mendekati kematian daripada menikmati kemewahan hidup.
Perjuangan dan kesetiaannya dimulai saat peristiwa hijrah. Ia meninggalkan semua kekayaan hasil usahanya berdagang selama bertahun-tahun di Mekah tanpa keraguan sedikit pun.
Ketika Rasulullah saw. hendak hijrah, Suhaib mengetahuinya. Seharusnya ia menjadi orang ketiga dalam hijrah tersebut: Rasulullah saw., Abu Bakar, dan dirinya. Namun, orang-orang Quraisy telah mengatur strategi untuk mencegah hijrahnya Rasulullah Saw.
Suhaib terjebak dalam perangkap mereka, sehingga terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu. Sementara itu, Rasulullah Saw dan Abu Bakar berhasil meloloskan diri dengan izin Allah.
Suhaib berusaha menolak tuduhan orang-orang Quraisy dan mengatur siasat. Ketika mereka lengah, ia berhasil lolos dengan mengendarai unta dan mengarungi padang pasir yang luas. Namun, orang-orang Quraisy tidak tinggal diam. Mereka mengirim pemburu untuk menyusulnya, dan usaha itu hampir berhasil.
Ketika Suhaib melihat kedatangan mereka, ia berteriak, “Hai orang-orang Quraisy, kalian semua tahu aku jago memanah. Demi Allah, sebelum kalian berhasil mendekatiku, aku akan membidik kalian dengan semua anak panah yang aku bawa. Setelah itu, aku akan melawan kalian dengan pedang sampai titik darah penghabisan. Sekarang terserah kalian. Jika kalian ingin mendekat, mendekatlah! Atau, aku tunjukkan di mana harta kekayaanku, dan kalian biarkan aku pergi?”
Ternyata mereka lebih tertarik dengan harta kekayaan Suhaib. Mereka berkata, “Dahulu sewaktu kamu datang kepada kami, kamu hanyalah orang miskin. Setelah berada di tengah-tengah kami, kamu menjadi kaya raya. Lalu sekarang kamu akan pergi dengan membawa harta itu?”
Suhaib menunjukkan tempat penyimpanan hartanya. Mereka pun membiarkan Suhaib pergi, dan mereka kembali ke Mekah.
Yang menarik adalah mereka mempercayai ucapan Suhaib tanpa sedikit pun keraguan. Mereka sama sekali tidak meminta bukti atau sumpah. Artinya, selama ini mereka sudah mengenal Suhaib sebagai orang yang jujur.
Suhaib melanjutkan perjalanan hijrahnya seorang diri dengan bahagia hingga akhirnya berhasil menyusul Rasulullah Saw di Quba, yang saat itu sedang duduk dikelilingi oleh beberapa sahabat. Melihat kedatangan Suhaib, Rasulullah saw. berseru dengan gembira,
“Perdaganganmu sungguh mendapatkan laba yang besar, hai Abu Yahya! Perdaganganmu sungguh mendapatkan laba yang besar!”
Saat itu, Allah menurunkan firman-Nya: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Baqarah: 207)
Memang benar, Suhaib telah menebus diri dan keimanannya dengan semua harta kekayaan yang ia kumpulkan selama masa mudanya, dan ia sama sekali tidak merasa rugi.
Apa artinya harta kekayaan, bahkan dunia seisinya, jika dibandingkan dengan keimanan dan hati nurani yang bebas merdeka?
Rasulullah saw. sangat sayang kepada Suhaib. Selain karena kesalehan dan ketakwaannya, Suhaib adalah seorang yang periang dan jenaka. Pada suatu hari, Rasulullah saw. melihat Suhaib sedang makan kurma, padahal salah satu matanya bengkak. Rasulullah saw. bertanya kepadanya sambil tertawa, “Kamu makan kurma padahal sebelah matamu bengkak?”
“Apa salahnya? Saya memakannya dengan mata yang sebelah lagi,” jawab Suhaib.
Suhaib juga seorang yang dermawan. Tunjangan yang diperolehnya dari Baitul Mal, semuanya disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Allah berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (Al-Insan: 8)
Kemurahan hatinya menarik perhatian Khalifah Umar bin Khattab. Beliau berkata kepada Suhaib, “Aku melihatmu banyak sekali bersedekah, hingga melebihi batas.”
Suhaib menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang suka memberi makan.”
Kehidupan Suhaib penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Bahkan, ia memiliki keistimewaan tersendiri yang membuat prestasinya semakin gemilang, yaitu ketika Khalifah Umar bin Khattab memilihnya sebagai imam salat berjamaah untuk menggantikan beliau, tepatnya setelah Khalifah Umar dicederai ketika sedang menjadi imam salat Subuh.
Saat merasakan ajalnya sudah dekat, beliau berpesan, “Hendaklah Suhaib menjadi imam salat bagi kaum muslimin.”
Ketika itu, Umar bin Khattab telah memilih enam orang sahabat yang diberi tugas untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Khalifahlah yang biasanya menjadi imam salat berjamaah.
Lihatlah, siapakah yang bertindak sebagai imam salat berjamaah di masa kekosongan khalifah, antara wafatnya Amirul Mukminin dan terpilihnya khalifah baru?
Umar bin Khattab, apalagi di saat-saat menjelang wafatnya, tentu sudah berpikir dengan matang sebelum menentukan pilihan. Orang yang menjadi pilihannya tentulah orang yang paling berhak. Umar bin Khattab telah memilih Suhaib.
Suhaib dipilih sebagai imam salat berjamaah sampai terpilihnya khalifah yang baru, meskipun Umar bin Khattab tahu bahwa lidah Suhaib bukanlah lidah Arab.
Sungguh, pilihan ini merupakan kesempurnaan karunia Allah kepada hamba-Nya yang saleh, Suhaib bin Sinan.
Keistimewaan dan Keteladanan Suhaib bin Sinan:
- Cerdas, rajin, dan jujur.
- Tangguh dalam menghadapi semua tantangan.
- Siap memikul tanggung jawab yang berat.
- Siap berkorban apa saja.
- Dermawan.
- Selalu menjaga Rasulullah saw. dari serangan musuh.
- Berjiwa zuhud, ulet, dan tak kenal lelah.
- Pemberani.
- Ahli memanah.
- Pedagang yang optimis.
- Periang dan jenaka.
- Ditunjuk menjadi imam salat oleh Umar bin Khattab.
Semoga bermanfaat. Amin. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni