Sejarah

Malam Penuh Keajaiban

209
×

Malam Penuh Keajaiban

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI/freepik.com premium

Malam penuh keajaiban, perjalanan Rasulullah Saw melampaui logika, menembus langit, dan menerima perintah suci. Hikmahnya abadi.

Malam Penuh keajaiban; Oleh Sugiyati, S.Pd., Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Ambarawa, Jawa Tengah

Tagar.co – Malam itu, langit Makkah berselimutkan bintang yang berkilauan. Angin lembut membawa aroma pasir gurun yang dingin, memeluk setiap sudut kota suci. Di tengah keheningan malam, seorang pria mulia, Muhammad Saw, sedang berada dalam perenungan di Masjidil Haram. Tidak ada yang tahu, malam itu akan menjadi saksi perjalanan yang akan mengubah sejarah umat manusia.

Tiba-tiba, Jibril Alaihissalam datang mendekat, membawa kabar agung dari langit. “Wahai Muhammad, persiapkan dirimu. Malam ini, engkau akan melakukan perjalanan yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya. Kau akan diperjalankan oleh Allah dari Masjidilharam ke Masjidilaqsha, lalu naik ke langit untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya.”

Dengan hati yang penuh iman, Muhammad Saw mengikuti petunjuk Jibril. Buraq, makhluk putih bersayap, telah menunggu di luar. Dengan kecepatan yang melampaui imajinasi, mereka melesat melintasi padang pasir, gunung, dan lautan, hingga akhirnya tiba di Masjidil Aqsha. Di sana, para nabi berkumpul untuk menyambut beliau. Mereka menunaikan shalat bersama, sebuah isyarat bahwa Muhammad Saw adalah pemimpin bagi semua nabi.

Setelah itu, perjalanan Mikraj dimulai. Langit pertama hingga langit ketujuh dilalui dengan penuh keajaiban. Di setiap lapisan langit, Muhammad Saw bertemu dengan para nabi—Adam, Isa, Musa, Harun, hingga Ibrahim Alaihissalam. Mereka menyambut beliau dengan hangat, menunjukkan penghormatan yang tulus. Nabi Ibrahim Alaihissalam, yang ditemui di langit ketujuh, menyampaikan pesan yang sangat bermakna, “Hai Muhammad, sampaikan salam dariku kepada umatmu. Katakan kepada mereka bahwa surga itu subur dan indah, tetapi ia masih kosong. Tanamannya adalah kalimat-kalimat zikir: Subhanallah, Alhamdulillah, Lailahaillallah, Allahuakbar.”

Baca Juga:  Meneladani Sifat Rasulullah dalam Peristiwa Isra Mikraj

Di Sidratulmuntaha, Nabi Muhammad Saw menyaksikan keagungan Allah yang tiada tanding. Cahaya yang begitu terang namun tak menyilaukan memenuhi pandangan. Di sana pula, beliau menerima perintah salat lima waktu. Awalnya, perintah itu sebanyak lima puluh kali sehari, tetapi setelah berulang kali meminta keringanan dengan bantuan Nabi Musa Alaihissalam, akhirnya Allah menetapkannya menjadi lima waktu, yang pahalanya tetap sama dengan lima puluh kali.

Ketika kembali dari perjalanan agung itu, Muhammad Saw segera menceritakan pengalamannya kepada kaum Quraisy. Reaksi mereka beragam. Sebagian besar, terutama para pemimpin Quraisy, mengejeknya dan menganggapnya gila. Mereka bahkan menantangnya untuk membuktikan perjalanannya dengan menceritakan ciri-ciri Masjidilaqsha, sesuatu yang tidak mungkin diketahui oleh orang yang belum pernah ke sana. Dengan bantuan Allah, Muhammad Saw mampu menjawab semua pertanyaan mereka, membuat mereka terdiam tercengang. Namun, kekafiran mereka tetaplah kekafiran. Mereka tetap tidak mau beriman.

Meskipun demikian, ada juga yang percaya dan semakin yakin dengan kebenaran kenabian Muhammad SAW. Salah satunya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang tanpa ragu membenarkan semua yang diceritakan oleh Nabi Muhammad Saw. Sejak saat itu, ia digelari Ash-Shiddiq, yang artinya ‘orang yang membenarkan’.

Baca Juga:  Langkah Menuju Ibadah

Hikmah di Balik Perjalanan

Perjalanan Isra Mikraj ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang penuh hikmah. Allah menunjukkan kepada manusia bahwa Dia Maha Besar dan Mahakuasa untuk memperjalankan hamba-Nya melampaui batas-batas logika. Isra Mikraj juga menjadi pengingat bahwa shalat adalah kewajiban utama yang harus dijaga, karena ia adalah sarana utama untuk menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta.

Lebih dari itu, perjalanan ini mengajarkan umat Islam tentang pentingnya kesabaran dan keteguhan hati. Nabi Muhammad Saw menghadapi ejekan dan penolakan dengan kesabaran luar biasa, karena beliau tahu bahwa tugasnya adalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakan penerimaan.

Kehidupan dunia ini hanyalah perjalanan sementara menuju kehidupan yang hakiki di akhirat. Surga, dengan segala keindahannya, dijanjikan bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Namun, surga itu harus “ditanami” dengan zikir dan ibadah, karena segala sesuatu yang berharga memerlukan usaha dan kesungguhan.

Filosofi dari Perjalanan

Hikmah terbesar dari Isra Mikraj adalah pemahaman bahwa dalam setiap kesulitan, Allah pasti menyediakan jalan keluar. Ketika beban hidup terasa berat, shalat menjadi pelipur lara, pengingat bahwa kita tidak pernah sendiri. Hubungan vertikal dengan Allah adalah sumber kekuatan untuk menjalani hubungan horizontal dengan sesama.

Baca Juga:  Trilingual Story Telling SD Mumtaz Padukan Kearifan Lokal dan Wawasan Global

Isra Mikraj mengajarkan manusia untuk merenungkan tujuan hidup. Dunia ini hanyalah tempat singgah, tempat manusia menanam amal untuk dipanen di akhirat. Keindahan surga yang dijelaskan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam adalah simbol harapan bahwa setiap pengorbanan di jalan Allah tidak akan pernah sia-sia.

Malam yang agung itu menjadi saksi bahwa iman sejati tidak mengenal batas logika. Ia adalah keyakinan yang mendalam, bahwa Allah selalu bersama hamba-hamba-Nya yang tulus. Isra Mikraj adalah bukti bahwa kemuliaan dan kedekatan dengan Allah hanya bisa dicapai oleh mereka yang menjaga keimanan, kesabaran, dan keikhlasan.

Akhirnya, perjalanan ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat diraih dengan mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, dan meneladani Rasulullah Saw. Dalam keheningan malam itu, Nabi Muhammad Saw telah menunjukkan kepada kita semua bahwa hidup ini, dengan segala liku-likunya, hanyalah bagian kecil dari perjalanan menuju Sang Khalik.

“Hanya kepada Allah kami kembali.” (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni