Telaah

Urgensi Berkata-kata Lurus dan Lembut

384
×

Urgensi Berkata-kata Lurus dan Lembut

Sebarkan artikel ini

Al-Qur’an mengajarkan seni berbicara yang seimbang: kata-kata lurus penuh kebenaran, tetapi dibungkus kelembutan. Dari Musa dan Harun hingga Natsir, teladan ini tetap relevan sepanjang masa.

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang dan 13 judul lainnya

Tagar.co – Di keseharian, masyarakat tidak suka kepada siapa pun yang jika bicara berbelit-belit. Hal terkait, masyarakat juga tidak suka kepada mereka yang jika bicara kasar. Padahal, Islam sudah mengajarkan agar saat kita berbicara hendaknya lurus dan lembut.

Kaulan Sadidan

Pertama, rata-rata orang tidak senang kepada mereka yang tidak jujur. Semestinya, semua orang harus memperhatikan firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar” (Al-Ahzab: 70).

Frasa “perkataan yang benar” di atas adalah terjemahan dari qaulan sadida. Kata Natsir dalam buku Fiqhud Da’wah, kaulan sadidan (terutama dalam bidang dakwah) adalah kata-kata yang lurus, tidak berbelit-belit, dan benar, yang keluar dari hati yang suci.

Baca juga: Lima Seni Berbicara Menurut Al-Qur’an

Kaulan sadidan diucapkan dengan cara sedemikian rupa hingga tepat mengenai sasaran, sampai ke akal dan kalbu pihak yang dituju. Caranya bisa mendekati akal dengan logika, atau mendekati kalbu dengan rasa. Keduanya, baik ke arah akal maupun kalbu, harus disampaikan dengan bahasa yang bersih dari kekasaran, sunyi dari kata-kata yang mungkin menyakitkan hati (1983: 186–187).

Baca Juga:  Tulisan Terakhir Buya Hamka sebelum Wafat

Kaulan Layinan

Kedua, kebanyakan orang tidak senang kepada mereka yang saat bicara menyakitkan hati pendengarnya. Seharusnya, semua orang memperhatikan firman Allah yang terjemahnya:

“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Taha: 43–44).

Frasa “kata-kata yang lemah-lembut” adalah terjemahan dari qaulan layyina. Kata Natsir, kaulan layinan lazim diterjemahkan sebagai “kata yang lembut” atau “kata yang manis.”

Dua ayat di atas berisi perintah Allah kepada Nabi Musa As dan Nabi Harun As untuk mendakwahi Fir‘aun. Meskipun Fir‘aun telah melampaui batas—zalim bahkan mendaku dirinya sebagai Tuhan—Allah tetap memerintahkan agar mereka berbicara dengan kata-kata yang lemah-lembut.

Cukup panjang, tak kurang dari sembilan halaman, Natsir memberi penjelasan tentang dialog Musa As. dan Harun As. dengan Fir‘aun. Selama berbicara, kedua Nabi itu terus berpegang pada arahan Allah agar menggunakan kaulan layina atau kata-kata yang lembut.

Natsir menyimpulkan: kombinasi qaulan sadida dan qaulan layyina yang diperagakan Musa As dan Harun As., “tepat dan tajam tikamannya tetapi halus dan bersih, keluar dari kalbu yang bersih. Bersih dari nafsu kasar yang hanya bisa menyalakan nafsu kasar pula pada pihak yang dihadapi” (1983: 197).

Baca Juga:  Membaca Ayat Allah di Balik Gerhana Bulan Total

Ia kemudian mengaitkan dengan Al-An‘am: 108: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Pelajaran Al-Qur’an

Al-Qur’an memberi contoh bagaimana berbicara tegas sekaligus lembut. Misalnya, tentang larangan minuman keras dan judi. Perhatikan Al-Baqarah: 219:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (semua minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

Ayat itu ditutup dengan “supaya kamu berpikir.” Pesan yang kuat: kita diminta berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan.

Kata Natsir, larangannya tegas namun penjelasannya mudah dipahami, bahkan oleh kalangan awam. Larangannya logis, memuaskan logika orang berakal (1983: 188).

Dengan bahasa Al-Qur’an yang tegas tetapi lembut itu, Umar bin Khathab Ra. tergugah. Ia spontan berseru penuh haru: “Wahai Tuhan kami, kami pasti berhenti (minum minuman keras dan berjudi). Pasti berhenti.”

Teladan Natsir

Natsir sendiri konsisten. Dalam keseharian, ia mengamalkan qaulan sadida dan qaulan layyina. Sebagai penulis, jejaknya bersih. “Di dalam tulisan-tulisannya, sekalipun merupakan polemik yang setajam-tajamnya, belum pernah dia mempergunakan perkataan yang mengurangi nilai jiwa besarnya,” kata Z.A. Ahmad (Capita Selecta, 2015: xxv).

Baca Juga:  Merdeka dari Sound Horeg: Saatnya Tegas demi Ketenangan Warga

Ada contoh lain. Sebagai sesama tokoh nasional, Natsir dan Soekarno kerap berbeda pendapat tajam. Meski begitu, Natsir tetap menjaga bahasa yang halus dan penuh hormat.

Dalam perdebatan publik, Natsir dikenal dengan gaya qaulan sadida (perkataan yang benar/lurus) dan kaulan layinan (perkataan yang lembut). Ia mampu menyampaikan kritik tajam dengan bahasa santun, baik lewat tulisan di berbagai media maupun debat di parlemen.

Agar Sukses

Al-Qur’an telah memberi pelajaran jelas: saat berkata-kata kita harus lurus dan disampaikan dengan lembut. Kita mesti senantiasa mempraktikkan kaulan sadidan dan kaulan layinan.

Dari Nabi—antara lain Musa As dan Harun As—telah ada teladan yang nyata. Dari ulama, ada contoh, seperti Natsir. Maka, kapan pun, kita harus istiqamah meneladani cara berkata-kata yang lurus sekaligus lembut.

Dengan itu, insya Allah komunikasi kita akan berhasil. Dengan itu pula, insya Allah dakwah kita akan sukses. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni