
Bukan sekadar jalan-jalan, buku ini mengubah setiap langkah menjadi renungan. Dari Maninjau hingga Sentani, tiap tempat membisikkan hikmah. Siap-siap tersentuh, terdiam, lalu bersyukur.
Tagar.co – Setiap perjalanan sejatinya adalah perjalanan batin. Itulah yang terasa saat membuka halaman demi halaman buku Tadabbur Alam Indonesia. Buku ini bukan sekadar catatan pelesiran para aktivis Masjid Universitas Airlangga ke berbagai pelosok Tanah Air, tetapi lebih dari itu: sebuah refleksi tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, sejarah, peradaban, dan spiritualitas di dalam bingkai kebangsaan dan keislaman.
Dihimpun oleh M. Anwar Djaelani selaku editor, buku ini adalah karya keempat yang dilahirkan oleh Keluarga Aktivis Masjid Universitas Airlangga (KA-MUA). Jika dalam buku sebelumnya mereka mengisahkan perjalanan ke mancanegara, maka dalam buku ini, mereka mengajak kita bertamasya di dalam negeri. Namun, yang membedakan buku ini dari travelogue biasa adalah pendekatannya yang sarat makna: setiap tempat dikunjungi bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk direnungi dan diambil hikmahnya.
Proses penulisan buku ini pun melalui jalan yang cukup panjang dan berlapis. Setelah buku ketiga rampung, para penulis KA-MUA secara kolektif menyepakati untuk menghadirkan karya yang mengangkat keindahan dan keberkahan alam Indonesia. Maka sejak tahun 2024, mereka mulai menggali kembali pengalaman-pengalaman perjalanan mereka ke berbagai penjuru Nusantara. Ada yang masih segar dalam ingatan, ada pula yang harus direkonstruksi dari foto lama, catatan perjalanan, atau bahkan melalui pencarian daring.
Mereka tidak hanya menuliskan tempat yang dikunjungi, tetapi juga mengendapkannya dalam renungan dan refleksi spiritual. Penulisannya dilakukan secara kolektif dan bertahap, hingga akhirnya rampung dan dicetak pada Maret 2025. Proses ini menunjukkan bahwa buku ini tidak lahir dalam sekali duduk, melainkan merupakan hasil perjalanan panjang yang penuh kesungguhan, kolaborasi, dan kontemplasi.
Warna-warni Perjalanan yang Penuh Hikmah
Secara garis besar, buku ini terbagi menjadi empat bab: Masjid Indah, Tapak Sejarah, Alam Elok, serta Sekolah, Kampus, dan Pesantren. Setiap bab memuat tulisan dari berbagai penulis yang merekam perjalanan mereka ke tempat-tempat yang berbeda, mulai dari masjid di pedalaman Kalimantan hingga situs sejarah di pesisir Sumatra, dari lembah dan danau di Papua hingga pesantren tua di Madura.
Yang menarik, buku ini tidak mengedepankan destinasi-destinasi wisata populer semata, melainkan justru mengangkat tempat-tempat yang mungkin selama ini luput dari radar wisata arus utama. Pembaca diajak merenungi keindahan dan keteguhan Masjid Moedhar Arifin di Gresik, menapak tilas jejak dakwah Syekh Abdurrahman di Masjid Syarif Abdurrahman, Cirebon, hingga menyelami kesunyian spiritual di Pulau Penyengat yang menjadi tempat bersemayamnya pujangga Raja Ali Haji.
Dalam tulisan Nur Hidajati misalnya, “Sumatera Barat: Tangis Tak Tertahan di Danau Maninjau Terkenang Hamka,” pembaca tidak hanya diajak menikmati panorama danau yang elok, tapi juga diajak mengenang Hamka—seorang sastrawan dan ulama besar yang lahir di kawasan itu. Nuansa emosional terasa kuat, terutama saat penulis menuturkan betapa dirinya larut dalam tangis yang datang tiba-tiba. Bukan karena keindahan semata, tapi karena kedalaman makna yang ia temukan dalam merenungi sosok Hamka dan kampung halamannya.
Sebaliknya, tulisan seperti “Kalimantan Timur: Derawan, Maratua, dan Pulau-Pulau Kecil yang Menawan” karya Mohamad Isa lebih terasa ringan dan rekreatif, tapi tetap menyimpan kesadaran akan pentingnya menjaga alam. Ia menyelam bersama ubur-ubur jinak, memotret terumbu karang, dan menikmati suasana resort di tepian laut—namun semua itu ia bingkai sebagai bentuk tadabbur, perenungan atas kebesaran ciptaan Allah. Tulisan ini adalah contoh bagaimana kesenangan duniawi bisa menjadi pengantar menuju kesadaran ilahi.
Di sisi lain, tulisan Abdul Rahem tentang Masjid Al-Jabbar di Bandung tampil sebagai renungan yang dalam tentang makna spiritualitas di ruang publik modern. Masjid yang megah itu ia gambarkan bukan semata sebagai bangunan monumental, tapi sebagai “rumah ketenangan” yang mampu menyedot jiwa-jiwa yang haus akan kedamaian. Masjid itu, menurutnya, tak pernah sepi, bahkan di luar waktu salat fardu. Di sinilah kekuatan narasi Abdul Rahem: ia tak hanya mendeskripsikan, tetapi juga memaknai.
Tulisan lain yang menarik datang dari M. Anwar Djaelani dalam “Jogjakarta: Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, dari Tempat Masyumi Lahir sampai banyak Jejak Tokoh Pejuang”. Di sini, pembaca diajak menelusuri sejarah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta—lembaga pendidikan Islam yang telah melahirkan banyak tokoh pergerakan nasional. Djaelani tidak hanya menyajikan data historis, tetapi juga menyampaikan kesan pribadi yang penuh kekaguman terhadap warisan perjuangan yang masih mengalir di lembaga itu hingga kini.
Prima Naomi menulis tentang pengalaman mengunjungi Kabupaten Natuna dalam kisah berjudul “Natuna; Langsung Terbayang ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’”. Di sana, ia menggambarkan suasana kepulauan terluar Indonesia yang belum banyak tersentuh wisata.
Perjalanan laut yang menantang, keterbatasan bahan bakar, dan perjumpaan dengan masjid besar di tengah kota Ranai menjadi bingkai narasi yang kuat. Meski tidak menampilkan refleksi religius mendalam, tulisan ini tetap memperlihatkan semangat nasionalisme dan penghargaan terhadap ketangguhan masyarakat di perbatasan negeri.
Dari wilayah paling timur, catatan tentang Jayapura: Dari Danau Sentani yang Elok sampai Pantai Holteekamp Turki yang Indah karya Akhmad Saikhu membawa kita menelusuri keindahan alam Papua yang luas dan sakral. Narasi ini tidak hanya menggambarkan danau dalam bingkai eksotisme, melainkan menyisipkan kesadaran ekologis dan rasa syukur atas kekayaan negeri yang begitu berlimpah, namun sering kita abaikan.
Ragam Gaya yang Kaya, meski Tak Selalu Rata
Karena ditulis oleh banyak kontributor dari latar belakang beragam—dosen, dokter, jurnalis, ASN, hingga aktivis lansia—gaya penulisan dalam buku ini pun beragam. Ada yang liris dan puitis, ada yang deskriptif-objektif, dan ada pula yang ringan dan personal. Hal ini menjadikan buku terasa dinamis dan manusiawi, meskipun ada perbedaan kualitas refleksi dari satu tulisan ke tulisan lain.
Namun satu hal yang menyatukan semuanya: semangat tadabur. Setiap penulis berusaha menjadikan tempat yang dikunjungi sebagai jendela untuk mengenal diri, bangsa, dan Tuhan.
Dari sisi kebahasaan, buku ini umumnya menunjukkan kepatuhan pada ejaan baku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ini menunjukkan adanya upaya sadar untuk menyajikan tulisan yang tidak hanya bernilai isi, tetapi juga rapi secara bahasa.
Namun, masih ditemukan ketidakkonsistenan. Misalnya penulisan shalat, jamaah, dhuha, yang tidak sesaui KBBI. Bahkan penulisan tadabbur dengan dua huruf b dipakai dalam judul dan isi (hlm. 162), padahal bentuk bakunya menurut KBBI adalah tadabur. Rupanya penulis daneditor masih terpaku pada gaya transliterasi yang belum diakomodasi oleh KBBI. Terasuk dalam kesalahan ini adalah penulisan Sumatera (seharusnya Sumatra) dan Jogjakarta (seharusya Yogyakarta).
Kekeliruan ini bersifat ringan dan tidak mengurangi makna, namun patut menjadi perhatian pada cetakan berikutnya. Konsistensi bahasa akan memperkuat posisi buku ini sebagai literatur reflektif yang mendidik dan bisa dijadikan rujukan. Yang juga patut disayangkan buku ini belum memiliki ISBN. Menurut editor proses pengurusan ISBN belum kelar di tengah jelang libur atau cuti panjang ASN, sementara buku harus terbit sebelum Lebaran.
Desain, Tata Letak, dan Kelebihan Teknis
Desain buku ini sederhana namun elegan. Tata letaknya bersih, font mudah dibaca, dan spasi cukup lega. Sampul depan menampilkan peta Indonesia dan nuansa alam yang sesuai dengan tema isi. Beberapa tulisan dilengkapi ilustrasi foto, meski sebagian diambil dari internet, hal ini sudah dijelaskan secara jujur oleh editor dalam pengantar.
Pemakaian kertas HVS juga mengandung kelebihan karena lebih tahan dari noda dibanding book paper, meski membawa risiko buku lebih berat ditentang.
Penutup: Buku Perjalanan yang Menyentuh Jiwa
Tadabbur Alam Indonesia adalah buku yang membawa pembacanya bertamasya dengan hati. Ia menawarkan bukan sekadar lokasi, tapi juga permenungan. Bukan hanya objek wisata, tapi nilai dan hikmah yang menyertainya. Dalam dunia yang semakin cepat dan bising, buku ini menjadi ajakan untuk memperlambat langkah, membuka mata, dan menyucikan makna.
Bagi siapa saja yang mencintai Indonesia, menikmati keindahan, dan menghargai nilai spiritual, buku ini akan terasa seperti teman seperjalanan yang bijak dan menenangkan.
Spesifikasi Buku
- Judul: Tadabbur Alam Indonesia: Jejak Aktivis Masjid Universitas Airlangga Susuri Tempat-Tempat Penuh Berkah
- Penulis: Mohamad Isa, dkk.
- Editor: M. Anwar Djaelani
- Penerbit: Inpas (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam), Surabaya
- Tahun Terbit: Cetakan I, Maret 2025
- Jumlah Halaman: 296 halaman
- Ukuran: 140 x 210 mm
- Kertas Isi: HVS 70 Gsm
- Cetak: Hitam-putih
- Desain Sampul dan Tata Letak: Valiant Ilham Zamani
- Informasi Pemesanan: +62 821-4081-1465 (Iswantoro)
Jurnalis Mohammad Nurfatoni