
Di balik kemeriahan Lebaran Ketupat, sunah puasa Syawal kerap luput dari perhatian. Saatnya menggali kembali makna spiritual yang tersembunyi dalam tradisi yang terus hidup di tengah masyarakat.
Oleh dr. Jamaluddin
Tagar.co – Saya mengenal Lebaran Ketupat sejak kecil, ketika tumbuh di desa yang selalu berubah menjadi begitu meriah setiap kali tanggal 8 Syawal tiba. Bahkan, kemeriahannya kadang melampaui suasana Hari Raya Idulfitri.
Ini bukan hal aneh, terutama bagi masyarakat Madura dan keturunannya. Mereka yang belum sempat toron’—pulang kampung—saat Idulfitri biasanya memilih mudik pada momen ini, yang dalam bahasa Madura disebut Tellasan Tongareh.
Yang paling membekas dari kenangan itu adalah dentuman mercon yang seakan tak pernah berhenti. Suara petasan dan kembang api bersahut-sahutan dari segala penjuru kampung. Dulu, menurut cerita para orang tua, masyarakat bahkan berlomba-lomba membakar mercon sebanyak mungkin.
Tingginya tumpukan kertas bekas mercon menjadi semacam simbol status sosial. Katanya, kalau sudah setinggi betis, itu pertanda seseorang cukup disegani di kampung.
Baca juga: Faedah Besar di Balik Enam Hari Puasa Syawal
Bayangkan, betapa banyaknya mercon yang dibakar hanya untuk menunjukkan “kelas sosial”! Tradisi ini begitu kuat, meskipun tak jarang menimbulkan kecelakaan. Ada saja kabar tangan terluka, rumah terbakar, bahkan ledakan yang tak terkendali.
Pemerintah pun tak tinggal diam—razia dan pelarangan dilakukan berkali-kali. Tapi, daya tradisi tetap lebih kuat. Sampai hari ini, suara mercon masih menjadi penanda khas datangnya Lebaran Ketupat.
Namun di balik gemerlap dan dentuman itu, ada pertanyaan yang selalu menggantung: apakah semangat ibadahnya juga semeriah pestanya? Ataukah kita hanya sibuk merayakan kulitnya, sementara ruhnya tertinggal?
Puasa Syawal: Sunah yang Terlupakan
Lebaran Ketupat sejatinya tak sekadar tradisi lokal, melainkan memiliki akar yang dalam dalam syariat Islam. Rasulullah Saw. menganjurkan umatnya untuk melanjutkan semangat Ramadan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, beliau bersabda bahwa siapa yang berpuasa enam hari setelah Ramadhan, maka pahalanya seperti berpuasa setahun penuh.
Sayangnya, banyak orang yang hanya mengenal tradisinya, tanpa memahami ibadah yang menjadi dasarnya. Ketupatnya disantap, silaturahimnya dijalankan, tapi puasanya dilupakan. Seolah yang penting adalah perayaan, bukan penghayatan. Ini potret sebagian masyarakat kita hari ini—mencintai budaya, tapi lupa pada roh ibadahnya.
Meningkatnya Kesadaran Berpuasa Syawal
Namun, angin perubahan mulai bertiup. Dakwah para ustaz, ulama, dan guru-guru agama perlahan menumbuhkan kembali semangat untuk menghidupkan puasa Syawal. Saya menyaksikan sendiri geliat ini tumbuh di kalangan santri, aktivis kampus, hingga komunitas pengajian anak muda. Ini perkembangan yang patut disyukuri.
Santri—dengan pendidikan ruhani yang lebih terarah—biasanya lebih siap dalam menghadapi tantangan ini. Bagi mereka, puasa Syawal bukan sekadar pelengkap, melainkan latihan istiqamah untuk menjaga nyala spiritualitas setelah Ramadhan usai.
Pengalaman Pribadi dan Godaan Lebaran
Saya mulai mencoba puasa Syawal sejak masih SMP, sekitar tahun 1977. Di awal-awal, semangat Ramadhan yang belum sepenuhnya padam membuatnya terasa ringan. Tapi godaannya? Tak main-main.
Satu pengalaman yang masih saya ingat sampai sekarang: suatu sore, saat saya sedang berpuasa, datanglah seorang teman SMA berkunjung. Ibu (Allahuyarham) menyambut dengan suguhan istimewa—sate daging yang digoreng, bukan dibakar, dan baunya, luar biasa menggoda. Saya merasa sungkan membiarkan tamu makan sendirian. Akhirnya, saya mokel juga. Kalah oleh aroma dan situasi.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa puasa Syawal bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah ujian keistiqamahan—ujian yang datang bukan dari kesulitan, melainkan dari kenikmatan dan kenyamanan yang membelai.
Godaan Lebaran dan Tantangan Istikamah
Godaan dalam puasa Syawal memang tak kalah berat dibanding puasa Ramadan. Silaturahmi yang belum usai, meja makan yang masih penuh dengan hidangan khas lebaran, hingga suasana hati yang masih ingin “libur” dari rutinitas ibadah.
Bagi pecinta kuliner, apalagi generasi muda yang gandrung makanan kekinian, puasa Syawal bisa terasa sangat menantang. Tapi justru di situlah nilai perjuangannya. Menahan diri ketika orang lain makan, menjaga semangat meski tak ada teman berpuasa, dan tetap beribadah meski suasana sekitar berkata “santai saja, kan lebaran.”
Kembalikan Roh Ibadah di Balik Tradisi
Sudah saatnya kita mengembalikan roh ibadah dalam tradisi Lebaran Ketupat. Jangan sampai kita hanya menjaga warisan budaya, tapi melupakan pesan spiritual yang terkandung di dalamnya. Puasa Syawal bukan sekadar ibadah individu, tapi simbol perjuangan kolektif umat untuk menjaga bara Ramadhan tetap menyala.
Semoga Allah Swt. menerima semua amal ibadah kita—baik di bulan Ramadhan maupun setelahnya. Dan semoga Lebaran Ketupat tak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menguatkan ruh dan memperpanjang napas keimanan kita hingga Ramadhan berikutnya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni