Suara rakyat diuji dalam pilkada serentak yang berlangsung hari ini, 27 November 2024.
Opini oleh Nurkhan
Tagar.co – Hari ini, Rabu (27/11/2024), Indonesia menyaksikan puncak dari pesta demokrasi dengan Pemilukada serentak. Jutaan warga, dari Sabang sampai Merauke, mengantre di tempat pemungutan suara (TPS) untuk memilih pemimpin daerah yang akan menentukan masa depan mereka selama lima tahun ke depan.
Antusiasme ini seperti melihat kota-kota yang tiba-tiba diisi oleh semangat baru. Tapi apakah ini tanda bahwa masyarakat mulai benar-benar menyadari pentingnya suara mereka atau hanya euforia momen? Yah, sayangnya, masih ada yang memilih untuk tidak memilih, mungkin karena bingung atau bosan dengan pilihan yang ada.
Di balik semua sorak-sorai, ada pertanyaan besar yang menggantung di udara: Apakah pilihan ini didasarkan pada rasionalitas atau hanya sekadar ikut-ikutan popularitas dan tekanan politik? Pilkada sering kali menjadi arena bagi politik uang, primordialisme, dan kampanye hitam, yang bisa saja menggelincirkan kualitas demokrasi kita.
Bayangkan, kandidat dipilih bukan karena visi dan misi yang matang, tapi karena mereka bisa memberikan hadiah terbaik atau memainkan tali emosi yang tepat. Ini seperti memilih chef bukan karena keahliannya memasak, tapi karena dia bisa memberikan kue gratis!
Namun, pilkada juga menjadi cermin kedewasaan politik masyarakat. Apakah kita mampu menahan diri dari polarisasi yang tajam dan tetap menjaga harmoni sosial setelah pesta suara ini? Setelah hasil diumumkan, apakah kita bisa menerima keputusan tersebut dengan sikap dewasa, atau apakah kita akan seperti anak-anak yang kalah dalam permainan?
Pilkada 2024 ini adalah momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan bahwa kita bisa lebih dari sekadar angka partisipasi; kita bisa menunjukkan kualitas pilihan dan proses. Apakah kita siap menjadi bangsa yang lebih bijak dalam berdemokrasi? Hari ini adalah ujian dan juga peluang bagi kita semua.
Tantangan yang Menginspirasi Refleksi
Tantangan yang dihadapi dalam menjaga suara rakyat adalah:
1. Politik Uang: Suara yang dibeli dengan uang, bukan dengan hati dan pikiran, menciptakan pemimpin yang lebih loyal kepada donatur daripada rakyat.
2. Polarisasi dan Konflik Sosial: Pilkada sering menjadi percikan yang bisa menyalakan api konflik, terutama jika diwarnai oleh sentimen agama, suku, atau ideologi.
3. Dinasti Politik: Ketika kepemimpinan terus diwariskan seperti tanah keluarga, meritokrasi menjadi cerita dongeng.
4. Kualitas Kandidat: Kandidat yang dipilih lebih karena popularitas atau uang daripada kemampuan dan visi, ini seperti memilih pemimpin untuk sebuah reality show, bukan pemerintahan.
5. Ketergantungan pada Parpol: Sistem yang membuat partai politik seperti pintu gerbang satu-satunya ke kekuasaan, sering kali mengabaikan talenta yang tidak memiliki afiliasi politik kuat.
Pilkada pascareformasi menunjukkan kemajuan, tapi tantangan ini masih harus diatasi untuk mencapai demokrasi yang lebih esensial. Penguatan sistem politik, penegakan hukum, dan pendidikan politik masyarakat adalah kuncinya. Dengan ini, kita bisa menjadikan Pilkada alat untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang benar-benar merakyat. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni