Cerpen

Rumah yang Sunyi

361
×

Rumah yang Sunyi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI/frepik.com premium

Arif hanya terdiam, menatap layar laptopnya yang masih menyala, seolah kata-kata Mira tak mampu menembus tembok kesibukannya.

Rumah yang Sunyi; Cerpen oleh Sugiyati, Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Ambarawa Kabupaten Semarang

Tagar.co – Di sebuah kota metropolitan yang sibuk, gemerlap lampu gedung-gedung tinggi beradu dengan cahaya rembulan. Di salah satu sudut kota itu, tinggal sepasang suami istri, Arif dan Mira, bersama dua anak mereka, Hana dan Ilham.

Arif adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi, pemilik sebuah startup yang sedang naik daun. Sementara Mira mengelola butik busana muslimah yang kian hari kian berkembang, dengan desain-desain yang selalu dinanti pelanggannya.

Di tengah kesibukan dunia modern yang menuntut, keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang taat beragama. Salat berjemaah di rumah adalah rutinitas, kajian di masjid setiap akhir pekan pun tak pernah terlewat. Nilai-nilai Islami selalu berusaha mereka tanamkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, seperti kebanyakan manusia, mereka tak lepas dari ujian kehidupan. Godaan dunia, perlahan, mulai mengusik ketenangan rumah mereka.

Baca cerpen lainnya: Mimpi

Semua bermula ketika Arif mendapatkan proyek besar dari sebuah perusahaan multinasional. Proyek ini menjanjikan keuntungan besar, bagai tambang emas yang terbentang di depan mata. Namun, di balik itu, proyek ini juga menuntut waktu dan energi yang tidak sedikit.

Demi memastikan proyek ini berjalan lancar, Arif mulai bekerja hingga larut malam. Tak jarang, ia menghabiskan akhir pekannya di kantor, berkutat dengan dokumen dan rapat virtual yang seakan tak ada habisnya. Awalnya, Mira mendukung, memahami bahwa usaha Arif adalah demi masa depan keluarga yang lebih cerah.

Namun, lama-kelamaan, Mira merasa kehadiran suaminya mulai menghilang, seperti bayangan yang memudar ditelan kesibukan. Arif jarang hadir di meja makan, melewatkan cerita-cerita lucu Ilham, dan tak lagi memiliki waktu untuk menemani Hana belajar.

Baca Juga:  Jejak di Tengah Lembaran Usang

Bahkan, Mira sering kali mendapati suaminya tertidur di sofa ruang kerja, lelah, sebelum sempat menunaikan salat Isya. Rumah yang dulu hangat dengan suara tawa dan canda, kini terasa lebih sunyi.

Di sisi lain, butik Mira pun semakin berkembang. Ia sibuk menghadiri pertemuan dengan klien, mempersiapkan koleksi baru yang selalu ia kerjakan dengan detail, dan mengelola timnya yang kian bertambah. Dalam diam, tanpa disadari, Mira juga mulai mengesampingkan perannya sebagai ibu. Ia terlalu sering menyerahkan pengasuhan anak-anak kepada Mbak Sri, asisten rumah tangga mereka.

Hana, yang dulu ceria dan gemar bercerita, mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, tenggelam dalam dunia maya melalui ponselnya. Sementara Ilham, si bungsu yang periang, mulai rewel dan sulit diatur, seolah mencari perhatian yang hilang.

***

Suatu malam, setelah menidurkan Ilham yang terus merengek, Mira duduk di samping Arif yang tampak kelelahan di ruang keluarga. “Mas,” bisiknya pelan, suaranya bergetar menahan tangis, “Aku merasa kita semakin jauh. Rasanya seperti … seperti ada yang hilang. Anak-anak juga merasakannya, aku yakin. Ilham terus bertanya kapan ayah pulang, Hana juga semakin diam.”

Arif hanya terdiam, menatap layar laptopnya yang masih menyala, seolah kata-kata Mira tak mampu menembus tembok kesibukannya. “Kita hanya perlu waktu, Mir. Setelah proyek ini selesai, semuanya akan kembali seperti semula,” jawabnya datar, tanpa menyadari raut kecewa dan kesedihan yang tergambar jelas di wajah istrinya.

Puncaknya terjadi saat Hana mengalami kecelakaan kecil di rumah. Sore itu, Hana yang hendak berwudhu, terpeleset di kamar mandi yang licin. Ia mencoba mengambil air wudhu sendiri karena merasa tak enak mengganggu Mbak Sri yang sedang sibuk.

Baca Juga:  Fitnah di Masjid Tua

Untungnya, cedera itu tidak serius, hanya lecet-lecet ringan. Namun, kejadian itu cukup mengguncang Mira. Ia merasa gagal, air matanya tumpah. Rasa bersalah menghantamnya bagai ombak besar. Ia terlalu sibuk hingga tak menyadari bahwa anak-anaknya membutuhkan kehadirannya.

Malam itu, setelah anak-anak tidur, Mira menangis di kamar. Isak tangisnya memecah keheningan malam. “Mas, apa yang sebenarnya kita cari?” tanyanya di sela tangis, “Kita sibuk mengejar dunia, berlomba menumpuk harta, tapi kita lupa pada amanah yang Allah titipkan. Anak-anak butuh kita, Mas. Mereka butuh orang tua yang hadir, bukan hanya raga tapi juga jiwa.”

Baca cerpen lainnya: Panggilan Jiwa

Kata-kata Mira bagai belati yang menusuk jantung Arif. Ia teringat bagaimana dulu ia bertekad untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang saleh dan salehah. Ia teringat bagaimana ia selalu berdoa agar keluarganya tetap dalam lindungan dan ridha Allah, tetapi kini justru ia yang lalai, ia yang menjauhkan diri dari apa yang seharusnya menjadi prioritasnya.

Arif terdiam cukup lama, merenung. Malam itu, ia mematikan laptopnya, lalu duduk di samping Mira. Mereka menghabiskan waktu berdua, berbicara dari hati ke hati, menumpahkan segala gundah dan sesal. Mereka saling mengingatkan tentang tujuan awal mereka membangun rumah tangga: bukan hanya untuk mengejar kebahagiaan dunia yang fana, tetapi juga untuk menyiapkan bekal perjalanan panjang menuju akhirat.

Keesokan harinya, Arif mengambil langkah besar. Ia memutuskan untuk mendelegasikan sebagian besar pekerjaannya kepada timnya yang terpercaya. Ia hanya akan fokus pada perencanaan strategis dan pertemuan-pertemuan penting. Ia bertekad untuk kembali pulang tepat waktu, untuk kembali hadir di tengah-tengah keluarganya. Mira pun melakukan hal yang sama. Ia mengurangi jadwalnya di butik, menyerahkan sebagian pengelolaan kepada Aisyah, asisten kepercayaannya yang sudah lama bekerja dengannya.

Baca Juga:  Bukit Cinta Rawa Pening: Pesona Alam di Ujung Selatan Kabupaten Semarang

Perubahan itu tidak langsung membawa hasil instan. Butuh waktu untuk mengurai benang kusut yang terlanjur kusut. Namun, lambat laun, suasana rumah mereka berubah. Arif kembali memimpin shalat berjamaah di rumah, suaranya yang merdu saat melantunkan ayat-ayat suci kembali mengisi setiap sudut rumah.

Mira kembali meluangkan waktu untuk menemani anak-anak belajar, membaca Al-Qur’an bersama, dan mendengarkan cerita-cerita mereka sebelum tidur. Hana dan Ilham pun mulai menunjukkan perubahan positif. Hana kembali ceria, dan Ilham tidak lagi sering merengek.

Suatu malam, setelah sesi membaca Al-Qur’an, Hana mendekati ayahnya. “Ayah, aku senang ayah sekarang lebih sering di rumah. Aku kangen saat-saat seperti ini, saat kita bisa berkumpul bersama,” ucapnya polos.

Kata-kata sederhana itu membuat mata Arif berkaca-kaca. Ia memeluk anaknya erat, merasa bersyukur atas kesempatan kedua yang Allah berikan. Kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali ke jalan yang benar.

Keluarga Arif dan Mira kini menjalani hidup dengan ritme yang berbeda. Mereka tetap bekerja keras, tetapi dengan cara yang lebih bijak, dengan porsi yang lebih seimbang. Mereka menyadari bahwa kesuksesan sejati bukanlah seberapa banyak harta yang dimiliki, atau setinggi apa jabatan yang diduduki, tetapi seberapa dekat mereka dengan Allah dan seberapa baik mereka menjalankan amanah sebagai orang tua, sebagai hamba-Nya yang berusaha meraih ridha-Nya.

Manusia memang tempatnya salah dan lupa. Namun, selama ada kesadaran untuk kembali kepada Allah, selalu ada harapan untuk memperbaiki diri, untuk menata kembali kepingan-kepingan yang berserakan, dan membangun kembali rumah yang sempat sunyi menjadi penuh dengan kehangatan dan cinta. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni 

Cerpen

Di Rempang, di mana tanah leluhur adalah segalanya,…