
Di tengah badai ketidakadilan, Kholid berdiri tegak. Laut adalah hidupnya, dan ia akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Perlawanan di Tepi Senja, Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur
Tagar.co – Angin laut berembus lembut di pesisir Banten saat fajar menyingsing. Kholid duduk termenung sendiri tanpa seseorang yang menemani. Sambil merajut jaring yang mulai usang, Kholid berada di tepi perahunya ditemani angin sepoi-sepoi.
Tangannya terampil, menganyam setiap simpul dengan ketelitian seorang nelayan yang telah berpuluh tahun bersahabat dengan ombak. Matanya menatap jauh ke laut, tempat rezekinya bergantung. Di wajahnya yang legam, guratan-guratan keriput menandakan kerasnya hidup yang ia jalani. Namun, di balik itu, tersimpan semangat yang tak pernah pudar, samaSetiap simpul yang ia anyam adalah harapan, setiap tatapan ke laut adalah doa.
Baca juga cerpen Nurkhan: Penyesalan Yusuf
Sejak kecil, laut adalah rumah kedua bagi Kholid. Ayahnya, seorang nelayan tangguh, mengajarinya membaca tanda-tanda alam—arah angin, gerakan burung camar, dan pasang surut air laut yang menandakan datangnya ikan.
Di desa kecilnya, semua orang hidup dari hasil laut. Bagi mereka, laut bukan sekadar sumber penghidupan, melainkan warisan yang harus dijaga untuk anak cucu. Selain itu, laut merupakan hamparan rezeki yang diperuntukkan untuk manusia.
Namun, kedamaian itu mulai terusik. Suatu pagi, desa Kholid gempar. Beberapa kapal asing dengan jaring raksasa berlabuh di perairan mereka. Lambang perusahaan besar tertera di lambung kapal, mengkilap di bawah sinar matahari. Para nelayan hanya bisa menatap dengan cemas.
Saat angin laut masih berembus lembut, tapi hati Kholid tak lagi tenang. Matanya menatap lekat kapal-kapal asing yang kini memenuhi cakrawala, lambangnya mencolok di bawah matahari. Jaring raksasa mereka melibas lautan tanpa ampun, mengangkut segala yang ada—ikan kecil, terumbu karang, bahkan harapan nelayan setempat.
Namun, yang membuat dada Kholid benar-benar sesak adalah pagar besi yang mulai dipancang di perairan mereka. Seperti batas tak kasatmata yang perlahan menjadi nyata, membelah laut menjadi wilayah-wilayah yang bukan lagi milik semua orang. Para nelayan mendekat, berbicara berbisik-bisik dengan wajah gusar.
“Mereka bilang laut sudah dikapling, Kholid… Dibatasi untuk yang punya izin!” suara seorang nelayan tua bergetar.
“Izin? Siapa yang mengizinkan? Laut ini bukan milik siapa pun! Dari dulu, kita hidup dari laut ini!” sahut yang lain.
Kholid mengepalkan tangan, matanya menatap tajam pagar-pagar besi yang mulai ditanam. Bagaimana mungkin laut yang sejak nenek moyang menjadi sumber kehidupan mereka kini dibatasi, dipatok seperti kebun atau sawah? Bagaimana mungkin tempatnya mencari nafkah kini seakan-akan sudah dijual? Kholid merasakan amarah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Ia teringat akan wajah ayahnya, seorang nelayan yang gagah berani, yang selalu mengajarkan kepadanya untuk tidak pernah menyerah pada keadaan.
Malam itu, para nelayan berkumpul di balai desa. Mereka duduk melingkar, wajah-wajah letih diterangi lampu minyak. Kepala desa, Pak Rahman, membuka pertemuan dengan suara berat.
“Laut ini telah diberi konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar. Mereka bilang, ini untuk pengelolaan yang lebih baik. Tapi lihatlah kita! Apakah ada satu pun dari kita yang sejahtera karena ini?”
Riuh suara nelayan memenuhi ruangan. Semua sepakat: mereka harus bertindak.
Kholid berdiri, suaranya tegas. “Kita harus ke kota, menemui mereka yang berwenang. Kalau kita diam, esok lusa, anak cucu kita hanya akan mengenang laut sebagai cerita, bukan tempat mencari kehidupan.”
Dengan semangat membara, Kholid dan beberapa nelayan lainnya berangkat ke kantor pemerintah daerah. Perjalanan itu bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjuangan untuk mempertahankan hak yang telah turun-temurun mereka jaga.
Baca juga cerpen Nurkhan: Dari Petani ke Istana: Janji yang Terlupakan
Namun, di hadapan meja-meja besar dan orang-orang berdasi, apakah suara mereka cukup kuat untuk menembus tembok kekuasaan?
Kholid dan para nelayan tiba di kantor pemerintah daerah saat matahari beranjak tinggi. Gedung itu megah, menjulang seperti tembok kokoh yang memisahkan mereka dari keadilan. Dengan langkah mantap, mereka masuk, membawa harapan dan amarah yang membuncah.
Namun, harapan itu segera terhempas saat mereka dihadapkan pada seorang pejabat berseragam rapi di balik meja besar. Namanya Pak Wijaya, kepala dinas perikanan yang sejak awal tampak enggan mendengar keluhan mereka.
“Kami ingin kejelasan, Pak!” Kholid berbicara lantang. “Kenapa laut kami tiba-tiba dikuasai perusahaan besar? Kenapa kami, yang sejak dulu hidup dari laut, malah disingkirkan?”
Pak Wijaya mendesah, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Semua ini demi pengelolaan yang lebih baik. Perusahaan yang mendapat konsesi memiliki teknologi modern untuk menjaga keberlanjutan laut.”
“Menjaga?!” seorang nelayan tua menyahut. “Mereka merusak! Jaring raksasa mereka menangkap segalanya, bahkan benih-benih ikan yang seharusnya tumbuh. Kami kehilangan penghasilan, kehilangan laut kami!”
Pak Wijaya mengangkat tangan, meminta mereka tenang. “Saya hanya menjalankan kebijakan. Jika kalian merasa keberatan, silakan ajukan tuntutan resmi.”
Kholid mengepalkan tinjunya. “Kami datang bukan untuk berbicara aturan di atas kertas, Pak. Kami ingin laut kami kembali!” Nada bicaranya penuh dengan emosi, namun ia berusaha untuk tetap tenang.
Namun, perdebatan itu tak menghasilkan apa pun. Mereka pulang dengan tangan hampa, tapi bukan tanpa rencana.
Hari-hari berlalu, dan situasi di desa semakin tegang. Kapal-kapal asing itu semakin banyak, pagar-pagar besi semakin kokoh. Setiap kali nelayan mencoba melaut, mereka dihadang oleh petugas keamanan perusahaan.
Sampai suatu malam, Kholid dan para nelayan tak bisa lagi menahan diri. Mereka berkumpul di tepi pantai, wajah-wajah mereka dipenuhi tekad.
“Kita tak bisa diam lebih lama,” kata Kholid. “Malam ini, kita tunjukkan bahwa laut ini milik kita!”
Mereka menyiapkan perahu-perahu kecil, membawa obor dan alat-alat seadanya. Dengan penuh keberanian, mereka berlayar menuju pagar besi yang telah mengurung laut mereka.
Sesampainya di sana, mereka mulai menarik pagar itu dengan tali, mencoba merobohkannya. Suara dentingan besi menggema di udara malam. Namun, tak lama kemudian, sirene berbunyi nyaring. Dari kejauhan, kapal-kapal patroli perusahaan melaju kencang.
Tiba-tiba, sorotan lampu menyilaukan mata mereka. Suara pengeras suara terdengar lantang.
“Kalian melanggar batas wilayah perusahaan! Segera hentikan atau kami akan mengambil tindakan!”
Tapi Kholid tak mundur. “Laut ini bukan milik kalian! Kami tidak butuh izin untuk mencari nafkah di rumah kami sendiri!”
Petugas keamanan, berpakaian serba hitam, turun ke perahu-perahu kecil mereka. Beberapa membawa pentungan, yang lain bersenjata.
Saat salah satu petugas hendak menarik seorang nelayan tua, Kholid bergerak cepat. Dengan sigap, ia mendorong pria itu menjauh. “Jangan sentuh dia!”
Seorang petugas maju, mencengkeram kerah Kholid. “Kalian mau melawan? Kami bisa menangkap kalian sekarang juga!”
Kholid menatap tajam. “Tangkaplah kami! Tapi ingat, jika kami kalah malam ini, besok akan ada lebih banyak nelayan yang bangkit!”
Suasana memanas. Para nelayan berhadap-hadapan dengan petugas keamanan, obor berkobar di tangan mereka. Ombak menggulung, seakan turut menyaksikan perlawanan ini.
Tiba-tiba, dari arah pantai, terdengar suara-suara baru. Penduduk desa datang berbondong-bondong, membawa spanduk dan alat seadanya. Di antara mereka, tampak istri Kholid, Aminah, yang membawa obor tinggi-tinggi. Matanya penuh kekhawatiran, namun juga pancaran semangat.
“Kami tidak akan diam!” suara mereka menggema di udara malam.
Kondisi berubah. Para petugas keamanan mulai ragu. Mereka tak menyangka perlawanan sebesar ini.
Di tengah ketegangan, sebuah suara baru muncul.
“Cukup!”
Dari kapal terbesar, seorang pria turun. Jasnya mahal, wajahnya penuh percaya diri. Direktur perusahaan.
Ia berjalan mendekati Kholid, menatapnya dengan senyum sinis. “Jadi ini pemimpin kalian?”
Kholid membalas tatapan itu tanpa gentar. “Kami bukan budak di tanah kami sendiri!”
Sang direktur tertawa kecil. “Kalian melawan arus yang lebih besar dari yang bisa kalian bayangkan. Uang dan kekuasaan ada di pihak kami. Apa yang bisa kalian lakukan?”
Kholid mendekat, suaranya mantap. “Kami punya sesuatu yang tak bisa kalian beli: tekad dan keberanian untuk melawan!”
Malam itu, perlawanan mencapai puncaknya. Namun, Kholid dan para nelayan sadar bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik. Mereka membutuhkan dukungan yang lebih luas.
Keesokan harinya, Kholid dan beberapa tokoh masyarakat pergi ke kota untuk menemui para pengacara dan aktivis lingkungan. Mereka menceritakan apa yang terjadi di desa mereka dan meminta bantuan hukum.
Kabar tentang perjuangan Kholid dan para nelayan menyebar dengan cepat. Media massa mulai meliput kejadian ini, dan simpati publik pun berdatangan. Banyak orang yang bersedia membantu, baik secara materi maupun dukungan moral.
Setelah melalui proses hukum yang panjang dan melelahkan, akhirnya pengadilan memutuskan bahwa perusahaan harus menghentikan aktivitasnya di wilayah perairan desa Kholid. Pagar-pagar besi pun akhirnya dibongkar.
Ini adalah kemenangan seluruh masyarakat. Kholid dan para nelayan telah membuktikan bahwa dengan persatuan dan keberanian, mereka bisa melawan ketidakadilan.
Namun, perjuangan mereka belum selesai. Mereka harus terus menjaga laut mereka agar tidak lagi dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kholid berdiri di tepi pantai, menatap laut yang kembali tenang. Ia tahu bahwa tantangan akan selalu ada, tetapi ia yakin bahwa mereka akan mampu menghadapinya bersama-sama. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni