
Ia tahu, sejarah akan mencatat namanya dengan tinta hitam. Namun, ia telah mengamankan warisannya, bukan untuk rakyat, melainkan untuk dirinya dan keluarganya.
Dari Petani ke Istana: Janji yang Terlupakan; Cerpen oleh Nurkhan
Tagar.co – Kuntojati, lelaki sederhana dari pelosok desa itu, kini berdiri di podium megah berbalut jas mahal. Tubuhnya yang dulu kurus, dibalut kulit sawo matang terbakar matahari, kini tampak lebih berisi. Logat medoknya, yang dulu mengundang senyum, kini terdengar berwibawa, meski bagi sebagian orang, terdengar asing. Ia bukan lagi Kuntojati yang dulu, petani dan penjual tahu di pasar. Ia adalah Presiden Republik Nuwantara.
Perjalanan politik Kuntojati bagai dongeng yang menjadi nyata. Kemeja putih lengan panjang yang selalu digulung hingga siku, celana bahan cokelat tua, dan logat medoknya, menjadi simbol kerakyatannya.
Ia adalah wong ndeso sejati, dan rakyat mencintainya. Janji-janjinya untuk membangun Nuwantara dari desa, disampaikannya langsung pada petani di sawah, nelayan di pantai, dan buruh di pabrik. Ia berjalan kaki dari desa ke desa, bukan dengan mobil mewah, tapi dengan kakinya yang kekar bekas menggarap sawah. Suaranya yang lantang, menggaungkan harapan baru bagi rakyat kecil.
Namun, istana memang ajaib. Ia mampu mengubah segalanya, termasuk Kuntojati.
Kebijakan yang semula dirancang untuk mengangkat harkat petani dan nelayan, perlahan berbelok. Satu per satu, kebijakan pro-asing diluncurkan, bagai anak panah yang melesat, mengoyak harapan rakyat. Perusahaan multinasional, bagai gurita raksasa, mencengkeram sumber daya alam Nuwantara, mendapat hak eksploitasi besar-besaran.
Petani mulai terusir dari tanah garapan, tergusur proyek-proyek investasi asing. Nelayan tak lagi leluasa melaut, terhalang regulasi yang memihak kapal-kapal besar. Protes mulai bermunculan, bagai letupan kecil gunung berapi yang siap meletus. Namun, Kuntojati tetap tenang, seolah tak mendengar.
Yang paling menyayat hati rakyat adalah bagaimana Kuntojati, perlahan tapi pasti, menarik keluarganya ke dalam pusaran kekuasaan. Bagai menanam benih di ladang subur, satu per satu anggota keluarganya tumbuh menjulang, menduduki posisi-posisi strategis.
Baca juga: Kasun Kasrun
Awalnya, rakyat masih berbisik-bisik, mencoba memahami. Mungkin ini wujud kepercayaan, pikir mereka. Namun, bisik-bisik itu kian lantang, berubah menjadi gumaman, dan akhirnya menjadi teriakan ketika aroma nepotisme tak lagi bisa disembunyikan.
Suryo, adik Kuntojati yang dulu hanya pedagang pupuk di desa, tiba-tiba diangkat menjadi Menteri Pertanian. Rakyat di desanya masih ingat betul, bagaimana Suryo dulu dikenal lihai mencari untung, bahkan pernah tersandung kasus penggelapan dana koperasi, meski kasus itu menguap begitu saja, bagai asap tertiup angin. Pengalaman di bidang pertanian? Nol besar. Ia lebih piawai berdagang daripada memahami nasib petani.
Lalu Arman, putra sulung Kuntojati. Pemuda 28 tahun yang minim pengalaman politik, tiba-tiba muncul bagai meteor, menjabat Ketua Komisi Energi dan Sumber Daya Alam di DPR. Dari mana pemuda ingusan itu mendapatkan keahliannya?
Ternyata, tak lama kemudian, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengannya memenangkan tender-tender besar di sektor energi. Rakyat mulai mengerti, Arman bukan meteor, melainkan boneka yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat.
Lestari, istri Kuntojati, yang dulu dikenal sebagai perempuan sederhana yang membuat kerajinan tangan untuk dijual di pasar, kini duduk di kursi Ketua Dewan Penasihat Nasional untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sebuah ironi.
Alih-alih memberdayakan, Lestari lebih sering menggunakan posisinya untuk melindungi kelompok-kelompok yang dekat dengan keluarganya. Rakyat melihat, bagaimana perempuan-perempuan desa yang dulu dibantunya, kini tak lagi tersentuh oleh program-program pemerintah.
Kuntojati, yang dulu mereka puja, kini terasa jauh, bagai di awang-awang. Rakyat merasa dikhianati, janji-janji manis saat kampanye menguap begitu saja, terlupakan di antara gemerlap istana.
Namun, Kuntojati seolah tak peduli. Ketika kasus korupsi yang menyeret nama Suryo mencuat ke permukaan, Kejaksaan Agung, yang dipimpin oleh teman lama Kuntojati, menutup kasus itu dengan alasan klasik: kurang bukti. Dokumen-dokumen penting, bukti-bukti krusial, lenyap dari arsip negara, bagai ditelan bumi.
“Rakyat hanya perlu hasil,” ujar Kuntojati dalam sebuah wawancara, suaranya tenang, tanpa getar penyesalan. “Saya tidak peduli apa yang orang katakan. Yang penting, Nuwantara terus maju.”
Maju ke mana? Batin rakyat menjerit. Desa-desa yang dulu menjadi pusat janji Kuntojati kini sekarat. Sawah-sawah hijau berubah menjadi kawasan industri, dikelilingi tembok tinggi dan dijaga ketat aparat bersenjata. Petani dan nelayan yang dulu disambutnya dengan senyum, kini hanya bisa menatap dari kejauhan, tak berdaya, bagai penonton di pinggir lapangan.
Gelombang protes pun membesar, bagai ombak yang siap menghantam karang. Di berbagai kota, rakyat tumpah ke jalan. Spanduk-spanduk dibentangkan, meneriakkan kekecewaan: “Kembalikan Nuwantara ke Rakyat!” dan “Kuntojati, Kamu Dulu Siapa?”
Namun, protes itu dihadapi dengan represi. Aparat keamanan dikerahkan, tak segan menggunakan kekerasan untuk membunguk massa. Kuntojati, sang pemimpin dari desa, kini bersembunyi di balik tameng kekuasaan.
Ia tak lagi turun ke desa, tak lagi mendengar keluh kesah rakyatnya. Pidato-pidatonya kini disampaikan dari panggung megah, dikelilingi layar LED yang menampilkan pencapaian-pencapaian semu. Ia telah menjadi antitesis dari dirinya sendiri, simbol ironi yang menyakitkan.
Dan di tengah gelombang protes yang semakin tak terbendung, Kuntojati membuat keputusan yang mengejutkan: mencalonkan Arman, putra mahkotanya, sebagai wakil presiden, mendampingi calon presiden dari koalisi besar yang didukung oligarki. Sebuah langkah yang membuat rakyat ternganga, tak percaya.
“Arman adalah representasi generasi muda Nuwantara yang visioner. Ia siap membawa negara ini melangkah lebih jauh,” ujar Kuntojati dalam pidato yang disiarkan secara nasional. Suaranya terdengar berwibawa, namun bagi rakyat, itu hanyalah gema dari janji-janji yang telah dikhianati.
Protes semakin membara. Demonstrasi terjadi hampir setiap hari di depan istana. Lautan manusia meneriakkan tuntutan: “Nuwantara Bukan Dinasti!” dan “Turunkan Kuntojati Sekarang Juga!”
Namun, Kuntojati tetap tenang, wajahnya datar, tanpa ekspresi. “Ini bukan tentang saya atau keluarga saya. Ini tentang masa depan bangsa,” katanya kepada media, seolah-olah ia masih percaya pada kata-katanya sendiri.
Hari pelantikan wakil presiden pun tiba. Di dalam istana, pesta pora digelar. Arman, dengan jas mahal yang mencolok, berdiri di samping calon presiden, menebar senyum kemenangan. Di luar, di tengah guyuran hujan, ribuan rakyat berkumpul, berteriak menuntut keadilan, hanya untuk dihadang barikade polisi.
Kuntojati berhasil membangun dinastinya. Sebuah dinasti yang dibangun di atas puing-puing harapan rakyat. Ia, yang dulu dipuja sebagai penyelamat, kini dikenang sebagai pengkhianat. Ironi yang pahit bagi Nuwantara.
Dan di saat-saat terakhirnya di istana, sebelum masa jabatannya berakhir, Kuntojati berdiri di balkon, menatap kerlap-kerlip lampu kota. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum getir, senyum pengakuan.
Ia tahu, sejarah akan mencatat namanya dengan tinta hitam. Namun, ia telah mengamankan warisannya, bukan untuk rakyat, melainkan untuk dirinya dan keluarganya.
Dan di lubuk hatinya yang terdalam, Kuntojati yang dulu, petani sederhana dari desa, mungkin menangis dalam diam. Namun, tangisan itu tenggelam oleh gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai di dalam istana, merayakan lahirnya sebuah dinasti baru. Sebuah dinasti yang dibangun di atas janji yang terlupakan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni