OpiniUtama

Pagar atau Jembatan?

422
×

Pagar atau Jembatan?

Sebarkan artikel ini
Pagar laut terpasang di kawasan pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (9/1/2025). (Foto Antara/Sulthony Hasanuddin/rwa.)

Pagar berkonotasi memisahkan. Sementara jembatan menyatukan. Bagaimana dengan pagar laut di Tanggerang? Simak kisah Kampung Dalam Pagar dan jembatan dua ahli waris yang bertengkar!

Pagar atau Jembatan? Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan dua belas judul lainnya

Tagar.co – Pagar adalah salah satu kata yang sering kita ucapkan. Itu, kata biasa saja. Hanya saja, belakangan ini, kata pagar mendadak populer. Menjadi ”beken”, karena kerap disebut orang dan dalam makna yang tidak baik.

Lihat saja, sekadar contoh, judul berita berikut ini: Jerit Nelayan Terhalang Pagar Laut Tangerang: Ini Neraka bagi Kami (www.cnnindonesia.com 23 Januari 2025).

Pagar laut misterius itu kali pertama ditemukan pada 14 Agustus 2024. Itu, ketika Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten menerima informasi terkait aktivitas pemagaran laut (www.kaltim.tribunnews.com, 21 Januari 2025).

Soal Makna

Selanjutnya, cermatilah frasa ini; pagar laut. Jika kita ikuti pemberitaan tentang hal itu, setidaknya ada dua hal yang ”luar biasa”. Pertama, ada pagar di laut. Kedua, menjadi makin mengherankan karena pagar itu panjangnya tak main-main: 30 kilometer.

Apa pagar? Pagar adalah (sesuatu) yang digunakan untuk membatasi (mengelilingi, menyekat) pekarangan, tanah, rumah, kebun, dan sebagainya (https://kbbi.web.id/pagar, akses 24/01/2025). Sekilas, makna pagar itu positif.

Pagar Ulama

Pada makna positif, mari cermati apa yang dilakukan ulama besar bernama Arsyad Al-Banjari (1703-1808). Sang ulama punya banyak karya tulis. Di antaranya, ada yang berjudul Sabilal Muhtadin. Kitab ini, tentang fikih yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan ini sangat memudahkan bagi penggunanya yaitu masyarakat Melayu.

Baca Juga:  Kebakaran Dahsyat Los Angeles dan Ucapan-Ucapan Sombong Itu

Arsyad Al-Banjari lahir di Martapura Kalimantan Selatan. Saat dewasa dia ke Mekkah berhaji dan belajar. Cukup lama dia belajar di Tanah Suci, selama 30 tahun.

Pulang ke Indonesia, Arsyad Al-Banjari disambut dengan hormat. Dia segera mengajar di berbagai tempat, tak hanya di Banjarmasin. Juga, dia mendirikan pesantren.

Terkait lokasi pesantren, ada tulisan menarik. Judulnya; Bermula dari Sebidang Tanah Kosong, Jadilah Kampung Dalam Pagar (www.kanalkalimantan.com 17 Juni 2018).

Tanah pesantren itu, adalah pemberian seorang sultan di Kesultanan Banjar. Sang Sultan mengaku sebagai murid Arsyad Al-Banjari. Lokasinya, sesuai petunjuk sang sultan, dipilih sendiri oleh Arsyad Al-Banjari yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan yang akan dikembangkannya.

Lokasi yang dipilih Arsyad Al-Banjari berada sekitar 5 kilometer dari Keraton Kesultanan Martapura, yaitu di pinggir Sungai Martapura yang membentang dari Riam Kanan dan Riam Kiri menuju Banjarmasin. Tanah tersebut merupakan hutan belukar. Untuk menujunya, bisa menggunakan jukung (perahu kecil) melalui sungai.

Singkat kata, berdirilah lembaga pendidikan itu. Belakangan, desa tempat pesantren itu bernama Dalam Pagar. Adapun sebab munculnya nama itu karena di lokasi tersebut ada batas pagar yang dibuat Arsyad Al-Banjari. Tujuannya, untuk menjaga murid-murid agar tidak keluar-masuk semaunya. Begitu juga, bagi setiap orang yang ingin berkunjung ke pesantren itu. Pagar ini penting, sebab di dalam pesantren ada pondok-pondok bagi penuntut ilmu dan mereka datang dari berbagai daerah.

Baca Juga:  Soal Sertifikat Laut, Fatwa Saja Tak Cukup

Makna Lain

Sekarang, ikhwal pagar dalam makna negatif. Terkait hal itu, Dr. Hasrat Efendi Samosir menulis kajian menarik berjudul Kearifan Rasulullah dalam Melerai Konflik Sosial.

Di tulisan itu, tergambarkan sikap Rasulullah Saw yang penuh dengan kearifan. Nabi Saw bisa menghadapi dan memberikan solusi terhadap konflik-konflik sosial yang terjadi ketika itu. Salah satu contohnya, bagaimana ketika masyarakat Arab bertikai saat akan memindahkan hajarul aswad. Dengan cara yang dipilihkan Muhammad Saw, semua berakhir damai.

Kini, kita ikuti bagian lain dari tulisan itu. Dr. Hasrat Efendi Samosir menyampaikan kisah dua kakak-beradik laki-laki. Rumah mereka saling berhadapan.

Baca juga: Skandal Pagar Laut, Sinyal Pemerintah Tak Ada

Alkisah, orang tua mereka baru saja meninggal dunia dan meninggalkan warisan untuk mereka berdua. Si kakak sangat tamak. Dia mengambil sebagian besar warisan dan hanya menyisakan sedikit saja untuk si adik. Tak hanya itu, si kakak kemudian membuat sungai sebagai pembatas antara rumah mereka berdua. Hal ini karena si kakak tidak ingin lagi berjumpa dengan adiknya.

Tersebab sangat kecewa dengan sikap kakaknya, si adik mengatakan akan memutuskan persaudaraan. Lalu, si adik memanggil seorang tukang. Dia meminta untuk dibuatkan pagar yang tinggi sebagai batas antara rumahnya dan rumah kakaknya. Dia menceritakan kepada tukang tersebut perihal masalahnya dengan si kakak.

Baca Juga:  Ada Ibu Hebat di Balik Anak Cemerlang

Setelah itu, karena tidak ingin berjumpa dengan kakaknya, si adik memutuskan untuk pergi selama sebulan. Tentu, juga sambil menunggu pekerjaan membuat pagar selesai.

Saat si adik pergi, ternyata si tukang tidak membangun pagar. Pak Tukang malah membangun jembatan yang indah di atas sungai yang dibuat oleh si kakak. Tentu, kedua rumah itu menjadi terhubung.

Melihat hal itu, hati si kakak tersentuh. Dia sadar, betapa zalim dirinya kepada si adik. Dia yang tak tahu ”riwayat kehadiran jembatan” itu, mengira sang adik sebagai pribadi yang baik. Refleks dia berjanji akan berlaku baik dan mengembalikan hak warisan adiknya.

Ketika si adik pulang, si kakak langsung berlari menyambutnya. Dia peluk adiknya sambil meminta maaf. Juga, dia ungkapkan penyesalannya. Meski sempat bingung atas perubahan sikap si kakak, akhirnya keduanya berdamai (www.pusatislam.uma.ac.id, 17 Oktober 2019).

Memang, si penulis kisah di atas tak memberikan informasi apakah tulisannya itu faktual atau fiksi. Meski begitu, kisah seperti itu tetap menarik untuk kita ambil manfaatnya. Kita memang diminta untuk bisa mengambil pelajaran dari mana saja.

Sama halnya dengan kasus “pagar laut” di Tangerang, yang juga berpotensi menimbulkan konflik sosial jika tidak diselesaikan dengan bijaksana. Jangan sampai “pagar” yang seharusnya melindungi, justru menjadi pemisah dan sumber masalah. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni