
Pengalaman spiritual di Makkah menjadi ruang refleksi tentang perjuangan Nabi Muhammad mengubah peradaban. Di sana, sejarah dan ibadah berpadu dalam relasi batin yang menyentuh jiwa.
Oleh Pradana Boy ZTF; Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Malang; Asisten Penasihat Khusus Presiden RI Bidang Haji
Tagar.co – Dalam buku Dari Amerika Kurindukan Ka’bah (2019), terdapat satu artikel tentang Nabi Muhammad. Tulisan itu saya hasilkan saat studi singkat di Amerika Serikat. Inspirasinya datang dari pandangan positif salah seorang profesor dalam program pendidikan singkat politik dan kebijakan luar negeri Amerika yang saya ikuti di University of Massachusetts pada 2017.
Meskipun sebagian besar ilmuwan Barat cenderung memiliki persepsi negatif tentang Nabi Muhammad, beberapa pandangan positif tetap bisa ditemukan. Profesor saya, Mike Hannahan, menyebut Nabi Muhammad sebagai tokoh politik paling jenius dalam sejarah manusia.
Selain itu, Michael H. Hart dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
Membangun Relasi dengan Panutan
Umat Islam tentu memandang Nabi Muhammad sebagai panutan utama dan karenanya wajib diikuti. Agar bisa mengikuti, diperlukan relasi dengan sang panutan. Tapi bagaimana membangun “relasi” dengan Nabi Muhammad yang secara fisik tidak lagi bersama kita?
Mungkin ada yang merasa kurang sreg dengan istilah “relasi” karena dianggap terlalu duniawi. Namun, dalam konteks ini, “relasi” saya maksudkan sebagai cara menghadirkan Nabi dalam perilaku dan ucapan; dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Peta Jalan dan Makna Kontekstual Doa dalam Tawaf Ifadah
Secara ubudiah, membangun relasi dengan Nabi Muhammad dapat dilakukan melalui banyak membaca selawat. Saya teringat penjelasan membumi dari Kiai Anwar Zahid: mengapa kita harus banyak berselawat kepada Nabi, padahal beliau sudah dijamin surga?
Kata beliau, agar curahan selawat itu melimpah, dan limpahannya menimpa orang yang membacanya. Maka membaca selawat adalah cara membangun relasi dengan Nabi.
Selain selawat, ibadah haji juga merupakan sarana membangun relasi tersebut. Ali Syari’ati, sosiolog asal Iran, dalam The Hajj (Pilgrimage) menyebut haji sebagai pertunjukan dengan banyak karakter: Adam, Ibrahim, Hajar, dan Setan.
Latar utamanya adalah Makkah, Masjidilharam, Tanah Haram, Bukit Safa dan Marwa (tempat sa’i), Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Simbol-simbolnya antara lain Ka’bah, siang dan malam, matahari dan bulan, berhala, serta praktik kurban. Saya ingin menambahkan satu latar penting: alam pegunungan Makkah yang keras dan tandus, yang turut membentuk karakter masyarakatnya.
Ali Syari’ati juga menyebut haji sebagai “a place to meet Allah, Ibrahim, Muhammad, and people” – tempat bertemu Allah, Ibrahim, Muhammad, dan manusia. Dalam konteks “bertemu” inilah saya menyebutnya relasi. Maka, dengan meminjam cara berpikir Syari’ati, saya meyakini bahwa haji adalah sarana membangun hubungan kesejarahan dengan Nabi Muhammad.
Dengan pemahaman inilah, selama di Makkah—selain menjalankan tugas sebagai pelayan jemaah haji Indonesia dan menunaikan ibadah haji—saya berusaha membangun relasi historis dengan Nabi Muhammad. Salah satu caranya adalah dengan merenungkan sejarah keagungan beliau dalam mengubah masyarakat dan peradabannya.
Di Antara Bukit-Bukit Batu
Suatu hari saya menaiki bus selawat menuju Masjidilharam. Jangan salah paham: bus selawat bukan kendaraan untuk berselawat keliling seperti di Indonesia. “Selawat” di sini adalah bentuk jamak dari salat, karena bus ini membawa jemaah dari hotel ke Masjidil Haram agar bisa salat lima waktu di sana.
Salah satu rute bus itu melewati terminal di belakang Zamzam Tower. Dari Misfalah—tempat saya bertugas—menuju ke sana, kita melewati jalanan yang diapit bukit-bukit batu yang menjulang. Kering, gersang, tak bisa ditumbuhi apa pun, terkesan keras dan angkuh.
Kepadatan bebatuan itu mengingatkan saya pada kerasnya masyarakat yang dihadapi Nabi Muhammad. Namun, dari kawasan tandus ini, Rasulullah mengubah peradaban dunia.
Jika kini saja Makkah masih gersang, bagaimana situasi 1.400 tahun lalu? Mengalami Makkah secara langsung, sambil membayangkan perjuangan Nabi Muhammad dalam mengubah masyarakat saat itu, menumbuhkan relasi batin yang kuat dengan kesejarahan beliau.
Keberanian di Usia 40
Setelah menerima wahyu, Nabi menyampaikan Islam kepada orang terdekat, yakni generasi as-sabiqun al-awwalun. Di usia 40 tahun, beliau menyampaikan dakwah secara terbuka kepada masyarakat Quraisy yang masih menganut sistem sosial kesukuan. Usia 40 saat itu tergolong muda untuk kepemimpinan besar.
Suatu hari, setelah menerima wahyu surah al-‘Alaq, al-Qalam, al-Mudatsir, dan al-Fatihah, Nabi Muhammad naik ke Bukit Safa dan mengumpulkan kaum Quraisy. Beliau bertanya:
“Wahai kaumku, seandainya aku katakan bahwa di balik bukit ini ada musuh yang hendak menyerang pagi atau sore hari, apakah kalian akan percaya?”
Mereka menjawab, “Ya!” Karena Nabi Muhammad dikenal jujur sejak sebelum kenabiannya.
Beliau pun melanjutkan: “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Aku memperingatkan kalian tentang azab yang pedih.” Mereka pun terbelah. Sebagian percaya, sebagian marah. Abu Lahab, pamannya sendiri, mencaci: “Celaka engkau! Hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?”
Saya pertama kali mengetahui kisah ini lewat tafsir Surah Al-Lahab. Tapi saat itu, ia hanya menjadi pengetahuan tanpa daya getar. Baru ketika merenungkannya langsung di Makkah, sambil menatap bukit batu yang kokoh, jiwa saya bergetar hebat. Sosok muda bernama Muhammad, dengan keberanian luar biasa, menyampaikan amanah Allah di tengah dominasi elite Quraisy. Inilah keagungan kenabian.
Dari Jahiliah Menuju Peradaban
Saya juga bisa membayangkan makna “jahiliah” saat menatap topografi Makkah yang panas, berbatu, dan keras. Menurut Jawwad Ali dalam Al-Mufasshal fi al-Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, jahiliah bukan sekadar bodoh, tapi juga kasar, sombong, emosional, menolak hukum Tuhan, dan sikap tercela lainnya. Sebagian pemikir menyebut jahiliah sebagai ketiadaan adab, lawan dari beradab, etis, dan modern.
Maka, merenungi kekuatan Nabi Muhammad dalam mengubah masyarakat dari jahiliah menuju peradaban merupakan bentuk relasi spiritual yang bisa dibangun selama berhaji.
Namun, haji yang mampu menghadirkan relasi seperti itu bukanlah haji tanpa pengetahuan. Terlebih jika hanya berorientasi duniawi. Hanya haji yang dibekali pengetahuan kesejarahan dan perenungan yang dapat membangkitkan imajinasi keagungan Nabi Muhammad dalam membangun Islam dari nol hingga menjangkau miliaran jiwa. Merenungkan hal ini sambil menyaksikan jutaan orang thawaf di Ka’bah akan menghadirkan getaran batin yang berbeda.
Membaca Sebelum Berangkat
Saya teringat percakapan kecil di rumah. Setelah Bapak dan Emak pulang umrah pada 2014, saya menghadiahi Emak buku Sejarah Ka’bah. Buku itu langsung dibaca tuntas. Karena isinya menarik dan Emak telah melihat langsung tempat-tempat yang disebutkan, beliau berkata, “Andai sebelum berangkat umrah sudah membaca buku ini…”
Itulah keyakinan saya juga. Membekali diri dengan pengetahuan sejarah sebelum berangkat umrah atau haji akan mengubah cara kita memaknainya. Karena dengan bekal itu, kita bisa membangun relasi, khususnya dengan keagungan Nabi Muhammad Saw., dan tetap menghadirkannya dalam hidup kita meski telah meninggalkan Makkah. (#)
Makkah Al-Mukarramah, 12 Juni 2025
Penyunting Mohammad Nurfatoni