Buku

Masjid Jogokariyan: Revolusi Kemasjidan yang Pro-Rakyat

450
×

Masjid Jogokariyan: Revolusi Kemasjidan yang Pro-Rakyat

Sebarkan artikel ini
Buku Manifesto Masjid Nabi: Rumah Allah yang Memihak Rakyat (Tagar.co/Atho’ Khoironi)

Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi pusat peradaban! Masjid Jogokariyan membuktikan bahwa pengelolaan masjid yang tepat bisa menghadirkan kesejahteraan umat, tanpa bergantung pada infak. Bagaimana revolusi kemasjidan ini terjadi?

Masjid Jogokariyan: Revolusi Kemasjidan yang Pro-Rakyat; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku ”Menulislah, Engkau Akan Dikenang” dan 12 judul lainnya.

Tagar.co – Di Ramadan setahun lalu, 2024, terbit buku bagus yaitu Manifesto Masjid Nabi; Rumah Allah yang Memihak Rakyat. Judulnya menggugah dan ditulis oleh orang yang tepat. Sang penulis, yaitu Muhammad Jazir ASP, adalah pemikir dan penggerak Masjid Jogokariyan Jogjakarta yang tersohor itu.

Buku setebal 272 halaman tersebut memang menjanjikan. Isinya, sangat mungkin kita sudah bisa membayangkannya. Berisi, rangkaian kisah sang penulis dalam membangun Masjid Jogokariyan yang-bisa dibilang-mulai dari nol.

Baca juga: Masjid Jogokariyan: Pesona Dakwah yang Tak Pernah Pudar

Masjid Jogokariyan, setidaknya bagi sebagian, telah menjadi semacam ”teladan yang baik” dalam hal mengelola masjid. Masjid itu menjadi salah satu pilihan utama sebagai tujuan studi banding dari banyak masjid atau komunitas Islam. Keberadaannya dikenal secara luas di dalam bahkan di luar negeri.

Tentu banyak yang penasaran, siapa penggerak utama Masjid Jogokariyan? Seperti apa latar belakangnya? Apa saja pokok-pokok pikirannya?

Dia dan Idola

Jazir lahir di Jogjakarta, 28 Oktober 1962. Pendidikan TK, SD, dan SMP diselesaikannya di perguruan Muhammadiyah. Lalu, ke SMPP. Setelah itu dia ambil jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Jogjakarta dan Fakultas Hukum jurusan Tata Negara di UII Jogjakarta.

K.H. M. Isa Anshari (1916-1969) menjadi idola Jazir. Tokoh Masyumi itu dikagumi sekaligus dicontoh oleh Jazir. Pendek kata, performa (dalam makna luas) dari ulama asal Maninjau Agam Sumatra Barat itu banyak mempengaruhi Jazir.

Lihatlah, luas diketahui bahwa K.H. M. Isa Anshari adalah ”Singa Podium dan Jago Menulis”. Dalam berdakwah sebaiknya “Lisan dan tulisan berjalan seiring,” tulis Isa Anshari. Pidato dan pena harus bergerak serempak, tegas Isa Anshari dalam buku karyanya yang berjudul “Mujahid Dakwah”.

Kini, masyarakat bisa menyaksikan. Jazir, sebagaimana sang idola, menggugah saat berceramah. Jazir, tegas saat menulis. Atas kalimat terakhir ini, adakah jejaknya?

Pada 1980 Jazir mendirikan tabloid Ar-Risalah, saat dia masih SMA kelas III. Sementara, di tahun itu termasuk kuat-kuatnya rezim otoritarian Soeharto. Bayangkan, di situasi seperti itu dan dalam usia seperti itu, dia menulis di Ar-Risalah seri tajuk rencana dengan judul-judul menyala seperti berikut ini: ”Firaunisme Bangkit Kembali”, ”Hamamisme dan Prostitusi Kaum Intelektual”, ”Bal’amisme dan Kiai-Kiai Penjilat Kekuasaan”, serta ”Qarun dan Konglomerasi Indonesia”. Apa akibatnya? Jazir masuk penjara, 9 bulan (h.36-37).

Kembali ke Isa Anshari dan Jazir. Di antara karya Isa Anshari yang paling mempengaruhi Jazir adalah ”Kembali ke Haramain”. Di tulisan itu Jazir mendapat hujjah yang kuat untuk terus ”menekuni” masjid selama-lamanya dalam usaha memperbaiki bangsa dan negara. Caranya, dengan merujuk kepada kekuasaan Rasulullah Saw, di Madinah yang berpusat di masjid (h.v).

Awal, Ideologi!

Kita buka Bab 1, ”Urgensi Pemahaman Historis Bagi Aktivis Masjid”. Jogokariyan adalah perkampungan bagi para abdi dalem prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mereka, merupakan kelompok pasukan terbesar yang terdiri dari prajurit artileri, infanteri, dan kavaleri sehingga kawasan permukimannya paling luas. Abdi dalem prajurit umumnya, jauh dari agama atau biasa disebut abangan (h.1-2).

Baca Juga:  Dinasti Al-Assad Tumbang karena Spirit Gaza

Secara ideologi politik Kampung Jogokariyan pernah menjadi basis dua kekuatan partai besar. Pertama, pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI). Mereka adalah kaum Marhaen dari kubu Ali Sastroamidjojo dengan sekretaris Ir. Surashman (biasa disingkat PNI ASU). Kedua, pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Jogokariyan bisa disebut sebagai salah satu basis PKI, apalagi ketika mereka menjadi pemenang pemilihan umum 1955 di kampung tersebut (h.5). Jazir kecil bergaul di lingkungan seperti itu. ”Sampai sekarang, saya hafal Mars PKI dan PNI,” kata dia (h.7).

Jazir di pergaulan sehari-hari biasa mendengar dan memahami cara berpikir orang-orang komunis dan marhaenis. Di situasi kampung seperti itu, Jazir beruntung sebab di dalam keluarganya ada penanaman Islam yang kuat (h.9).

Kala Jazir masih kecil, masjid belum ada. Hanya ada langgar kecil berukuran 3X4 meter. Ketika Ramadhan tiba, jamaahnya tidak pernah penuh (h.7).

Di belakang rumah Jazir di Minggiran ada langgar yang sering digunakan oleh aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk kegitan Basic Training. Sejak itu Jazir sering mendengar lagu-lagu PII. Dia sendiri aktif di PII sejak 1976, setelah lulus SMP (h.9).

Mengingat masa kecilnya yang seperti itu, tidak terbayang dalam pikiran Jazir kalau Jogokariyan di kemudian hari dikenal luas karena masjidnya. Bahkan ada yang menyebut Jogokariyan sebagai kampung islami. Ini, kata Jazir, jauh sekali dari gambaran waktu masa-masa pergolakan tahun 1960-an. Lalu, kesimpulannya, di Jogokariyan perubahan sosial dimulai dari masjid (h.11-12).

Kita, kata Jazir, sebenarnya bisa membangun peradaban baru Indonesia tidak lewat partai politik. Kapan itu? Ketika masjid-masjid bisa menjadi sumber kesejahteraan rakyat. Kembalikan masjid sebagai tempat solusi umat. Itu, bukan sekadar membenahi manajemennya. Hal yang dikembangkan Masjid Jogokariyan sebetulnya adalah ideologi. Semua berpuncak pada terpenuhinya rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam prosesnya, manajemen masjid hanya soal alat saja (h.19-20).

Pemuda Unik

Kita buku Bab 2, ”Panggilan untuk Pemuda dalam Revolusi Masjid”. Tahun 1976, Jasir terpilih menjadi Ketua Remaja Masjid Jogokariyan saat dia SMA. Aktivitas keagamaannya makin kencang. Meski belum mahasiswa, Jasir sudah aktif dalam aktivitas keagamaan di Gelanggang Mahasiswa UGM yang kala itu dikoordinasi lembaga bernama Jamaah Shalahuddin.

Kala itu Jazir sudah punya jadwal khutbah Jum’at di UGM. Di sana, dia juga turut membina mahasiswa. Dia menjadi salah satu pemberi materi training. Kini, sebagian dari mereka yang dulu pernah dibina Jazir sudah menjadi tokoh (h.29).

Jazir itu unik. Masih pelajar, tapi aktif di kegiatan mahasiswa. Dulu, di Masjid Salman ITB ada Latihan Mujahid Dakwah. Itu acara beken di zamannya. Dari Yogyakarta hadir perwakilan mahasiswa UGM, UPN Yogyakarta, dan UII. Jazir, meski masih SMA, bisa menjadi peserta karena dia pembina mahasiswa yaitu di Jamaah Shalahuddin UGM (h.29).

Baca Juga:  76 Pertanyaan tentang Alam Barzakh: Misteri Kehidupan setelah Kematian

April 1980 diadakan Musyawarah Nasional I Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI). Di situ dia terpilih sebagai salah satu ketua. Sementara, ketua umumnya adalah Toto Tasmara (h.33).

Jazir sangat yakin dengan kekuatan masjid. Baginya, ketika masjid-masjid menjadi sentral dari usaha melahirkan kesejahteraan rakyat maka otomatis muncul pemimpin yang dipercaya. Ini, karena mereka sudah terbukti di komunitas mereka yakni di masjid. Mereka bisa menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Inilah soft revolution yang Jazir lakukan melalui revolusi kemasjidan (h. 51-52).

Jazir memilih melakukan proses mengubah Indonesia melalui revolusi kemasjidan. Baginya, konsep terbaik membangun Indonesia adalah dari masjid. Dimulainya dengan sebuah gagasan dan ideologi yang besar (h.52).

Hadir, Hadir!

Kita buka Bab 3, ”Revolusi Mental Takmir Masjid”. Pada 1977 Jazir menjadi Ketua Umum Remaja Masjid Jogokariyan. Tahun 1981 Jazir menjadi salah satu pengurus masjid. Mengingat saat itu Jazir bukan ”Penentu Kebijakan”, maka gagasan-gagasan Jazir untuk reformasi masjid belum sepenuhnya bisa dieksekusi (h.55).

Saat Jazir mendapat amanah hingga bisa berposisi sebagai penentu, dia mulai membenahi secara konkrit. Misalnya, ”Takmir harus bertanggung jawab”. Lihatlah, ”Jika Anda kehilangan sandal, sepatu, sepeda, dan sepeda motor di Masjid Jogokariyan maka akan kami ganti baru dengan merek yang sama. Takmir bertanggung jawab” (h.62). Intinya, masjid harus hadir dalam persoalan masyarakat (h.69).

Rekreasi Rohani

Kita buka Bab 4, ”Seruan Azan untuk Takmir Masjid”. Ketika Jazir diamanahi sebagai Ketua Takmir di tahun 1999, yang dia lakukan pertama adalah pendataan. Setelah lengkap, ditingkatkan menjadi peta dakwah. Lalu dibuatkan program atau pelayanannya.

Ternyata, masih banyak warga yang belum shalat. Lalu, Masjid Jogokariyan membuat gerakan ”Menshalatkan Orang Hidup”. Bagi yang sudah shalat, digerakkan untuk berjamaah lima waktu di masjid. Lalu yang sudah berjamaah tapi belum sejahtera, disejahterakan (h.78).

Ada doorprize di Masjid Jogokariyan. Dimulai dari hadiah sederhana seperti kulkas dan televisi. Belakangan, menjadi 4 tiket umroh untuk jamaah yang paling aktif shalat lima waktu di masjid. Kritik tentu ada.

Atas kritik itu, secara berkelakar Jazir punya jawaban jitu. Bahwa, terpaksa masuk surga masih lebih enak daripada ikhlas masuk neraka. Program ini sebenarnya hanya untuk menggembirakan jamaah. Jangan buat jamaah lari dari masjid. Jadikanlah masjid tempat rekreasi ruhani (h.84-85).

Pro-Rakyat

Kita buka Bab 5, ”Rumah Allah yang Memihak Rakyat”. Belajar dari Mekkah, ZamZam Tower adalah harta wakaf Masjidil Haram. Bangunan masjidnya bagus dan terawat. Kualitas imamnya bagus-bagus walaupun tanpa kotak infak di masjid. Bandingkan dengan keadaan banyak masjid di negara ini, para imamnya tidak bagus karena dirawat dengan infak dan bukan dari wakaf produktif (h.110).

Masjid Jogokariyan punya hotel 11 kamar di lantai 3. Sejak tahun 2011 penghasilan hotel setiap bulannya sudah bisa menutup biaya operasional masjid, termasuk di dalamnya adalah biaya membayar tagihan listrik, gaji 23 karyawan dengan standar di atas UMR beserta jaminan kesehatan dan biaya sekolah anak-anaknya. Juga, untuk tiga imam shalat (h.111).

Baca Juga:  Refleksi Hari Buku Sedunia: Hamka dan Rahasia Menjadi Penulis Besar

Bagi Jazir, jika ingin membangun peradaban, kita semestinya memulai dari masjid bukan dari perguruan tinggi atau sekolah. Dalam membangun dan merawat masjid, Rasulullah Saw tidak menggunakan uang infak. Rasulullah Saw membangun dan merawat masjid dengan wakaf produktif. Jika amalan wakaf dilakukan, masjid tentunya akan mandiri atau tidak membebani masyarakat. Bahkan menjadi sumber kesejahteraan rakyat (h.113).

Harus 24 Jam

Kita buka Bab 6, ”Mengembalikan Fungsi Masjid Era Nabi”. Di masa Rasulullah Saw, masjid baru dapat disebut masjid jika minimal dapat berjalan lima fungsinya yaitu sebagai: Baitullah, baitul mal, baitu tarbiyah/pendidikan, baitu dakwah, dan baitul muamalah (h.134-141).

Sebagai baitullah, masjid harus buka 24 jam. Masjid di malam hari harus terang. Dengan cara itu insya Allah akan didapat kemakmuran dari sisi orang yang beribadah di dalamnya. Lihatlah, sejak zaman Nabi Saw, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram tetap terang di malam hari (h.135-136).

Anak Hebat

Kita buka Bab 7, ”Mindset Takmir Masjid tentang Pertolongan Allah”. Ketahuilah, Masjid Jogokariyan dimulai dari anak-anak. Anak-anak adalah modal bagi Masjid Jogokariyan (h.149-150). Jangan abaikan potensi anak-anak (h.153).

Di banyak masjid anak-anak sering dianggap mengganggu oleh orang-orang tua yang sebenarnya bertindak egois. Kalau anak-anak tidak di masjid, bagaimana masjid di masa depan? Siapa yang mengurus masjid kalau bukan anak-anak? Di Masjid Jogokariyan awalnya dulu adalah masjidnya anak-anak, yang mengisi adalah anak-anak.

Di Masjid Jogokariyan, cukup banyak kesadaran beragama dari orang tua atau kakek digugah oleh sang anak atau cucu. Kesadaran beragama yang dimaksud termasuk orang tua yang belajar shalat kepada anaknya (h.151-153).

Perlu Penggerak

Kita buka Bab 8, ”Menghadirkan Revolusi Masjid untuk Negeri”. Poin pentingnya, bahwa masyarakat sebetulnya tidak sulit diedukasi dan digerakkan. Cukup dibuatkan program pemberdayaan. Kampung Jogokariyan yang dulu dikenal basis komunis dan kampung abangan, sekarang menjadi destinasi wisata orang-orang untuk melihat pengelolaan masjid.

Hal itu merupakan sesuatu yang tidak tergambarkan dalam pikiran Jazir sebelumnya. Kunci di balik perubahan revolusioner itu adalah melaksanakan fungsi masjid aqamash-shalaata wa aataz-zakaata (h.196).

Bahagia, Bahagia!

Terakhir, kita buka Bab 9, ”Peta Jalan Membangun Indonesia dari Masjid”. Bahwa, ketika muadzin menyerukan adzan dan sampai pada kalimat ”Hayya ’alal falah – Ayo kita raih kebahagiaan”, maka masjid harus bisa memberikan kebahagiaan bagi masyarakat. Orang pergi ke masjid harus bahagia.

Dengan demikian, orang datang ke masjid dengan hati senang, tidak gelisah memikirkan-misalnya-barang-barangnya akan hilang. Di sisi lain masjid juga harus menampilkan wajah-wajah pengurus yang menyenangkan (h.224-225).

Demikianlah, ada banyak manfaat membaca buku ”Manifesto Masjid Nabi; Rumah Allah yang Memihak Rakyat”. Di dalamnya, pertama, ada getar semangat berdakwah yang penuh gelora dari sang pengerak yaitu Muhammad Jazir ASP. Kedua, bertaburan pelajaran berkualitas tentang bagaimana memajukan (baca: memakmurkan) masjid. Hal lain, sebagai penulis Muhammad Jazir sangat beruntung karena buku ini disunting oleh Yusuf Maulana yang ahli di bidang itu. Alhamdulillah. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni