Panduan

Lebaran Bukan Lagi Medan Interogasi, Ini Jurus Jitu Dosen UMM Hadapi Rentetan ‘Kapan?’

243
×

Lebaran Bukan Lagi Medan Interogasi, Ini Jurus Jitu Dosen UMM Hadapi Rentetan ‘Kapan?’

Sebarkan artikel ini
Lebaran bukan lagi jadi medan interogasi. Ini jurus jitu dari Dosen UMM terutama untuk para generasi Z yang rentan menghadapi rentetan pertanyaan 'Kapan?'. 
Dr. Winda Hardyanti, S.Sos, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Tagar.co/Istimewa)

Lebaran bukan lagi jadi medan interogasi. Ini jurus jitu dari Dosen UMM terutama untuk para generasi Z yang rentan menghadapi rentetan pertanyaan ‘Kapan?’.

Tagar.co – Aroma opor dan gemerlap lampu hias menghiasi sudut-sudut rumah di penjuru Indonesia. Namun, di balik sukacita selama Hari Raya Idulfitri, terselip sebuah “tradisi” yang tak jarang membuat sebagian orang merasa risih: rentetan pertanyaan “kapan?”.

Mulai dari “kapan lulus?”, “kapan nikah?”, hingga “kerja di mana?”. Pertanyaan-pertanyaan ini seolah menjadi menu wajib dalam setiap silaturahmi Lebaran.

Menyikapi fenomena ini, Dr. Winda Hardyanti, S.Sos, M.Si, dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), memberikan pencerahan. Menurut pakar komunikasi interpersonal ini, kunci utama dalam menghadapi “serbuan” pertanyaan sensitif tersebut adalah dengan menerapkan komunikasi asertif.

“Respon yang tepat saat menghadapi situasi tersebut adalah dengan mencoba melakukan komunikasi asertif, yang memungkinkan seseorang untuk dapat mengekspresikan pikiran serta perasaannya secara jujur tanpa melukai orang lain,” ujar Winda (2/4/2025).

Asertif

Winda menjelaskan bahwa komunikasi asertif memiliki dua pendekatan: langsung dan tidak langsung. Asertif langsung dapat terjadi dengan menyampaikan penolakan secara tegas namun tetap sopan.

Baca Juga:  Semangat Filantropi PCM Kepanjenkidul di Ramadan Penuh Berkah

Contohnya, “Saya lebih nyaman berbicara mengenai topik lain, tapi makasih ya sudah tanya.”

Sementara itu, asertif tidak langsung bisa berupa pengalihan pembicaraan ke topik yang lebih nyaman.

Tak hanya itu, Winda juga menyarankan untuk merespons dengan candaan.  Terutama jika memiliki kedekatan emosional dengan si penanya. Langkah ini bisa mencairkan suasana tegang dan menghindari jawaban yang terlalu serius.

Lebih lanjut, Winda mengungkapkan, terkadang pertanyaan-pertanyaan sensitif tersebut terlontar bukan untuk mencari jawaban konkret, melainkan sekadar basa-basi untuk mempererat tali silaturahmi. Di sinilah pentingnya memahami konsep Politeness Theory.

“Ada teori yang dinamakan sebagai Politeness Theory. Dalam teori ini ada istilah face-saving yakni, menjaga kesopanan wajah sosial agar tetap menjalin hubungan dengan baik,” terangnya.

Jadi ketika ada yang bertanya terkait hal sensitif, lanjutnya, kita bisa menghadapinya dengan strategi face-saving ini demi melindungi diri sendiri dalam menghindari jawaban yang terbuka. Dengan mencoba mengalihkan pertanyaan lain ke orang yang bertanya tersebut, bisa juga opsi terakhir dengan meminta doa.

Baca Juga:  Mahasiswa UMM Latih Siswa SMK Cara Menanggulangi Bencana Alam

“Kalo dalam teori politeness diartikan sebagai strategi mitigasi, sehingga bisa meredam amarah dengan jawaban yang netral seperti, ‘masih proses, masih mencari, dan doakan saja ya’,” jelasnya.

Pertanyaan ‘Kapan Nikah’ Gen Z

Winda menyoroti pertanyaan “kapan nikah” yang seringkali menghantui generasi Z saat Lebaran. Dalam kajian komunikasi, pertanyaan ini dapat dianalisis melalui teori pengurangan ketidakpastian.

“Menurut Winda, berdasarkan teori pengurangan ketidakpastian, seseorang yang bertanya mengenai pernikahan sebenarnya hanya ingin mengurangi ketidakpastian yang dia rasakan,” ujarnya.

Orang tersebut merasa ingin memastikan kehidupan dari orang yang ia tanya itu sesuai harapannya. Maka untuk mengatasi pertanyaan tersebut, kata Winda, kita bisa menggunakan strategi pasif atau menjawab dengan singkat tanpa membuka diskusi lebih lanjut.

Tips Tak Terbebani Pertanyaan Sensitif

Selain strategi komunikasi, Winda juga memberikan tips agar tidak merasa terbebani atau tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif saat Lebaran.

Pertama, meningkatkan kesadaran diri bahwa tidak semua aspek kehidupan pribadi harus dibagikan kepada orang lain. Setiap individu memiliki batasan privasi masing-masing.

Baca Juga:  Maraknya Kekerasan Seksual, Lingkungan Pendidikan Harus Ciptakan Ruang Aman

Kedua, menjaga batasan diri dalam menentukan tingkat keterbukaan informasi. Terakhir, memahami bahwa setiap individu memiliki kendali dan kemampuan untuk mengelola diri sendiri dalam menghadapi situasi tersebut.

“Jangan sampai hanya karena kita takut ditanyai pertanyaan-pertanyaan sensitif lalu hal itu menghalangi diri kita untuk bersilaturahmi ataupun berinteraksi dengan orang lain,” tuturnya.

Nah yang harus dilakukan, lanjutnya, dengan membangun mental framing positif. “Karena apabila mental framing kita negatif dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka akan membuat diri kita malas untuk berinteraksi,” katanya.

Padahal, sebenarnya mereka bertanya untuk interaksi sosial saja atau membangun kedekatan. “Tapi karena mental kita negatif jadinya diri kita merasa tersinggung,” pungkas Winda. (#)

Penyunting Sayyidah Nuriyah