Opini

Konflik

26
×

Konflik

Sebarkan artikel ini
Dalam pandangan ‘dunia yang serba harmoni’, konflik merupakan cacat. Sebuah tabu. lbarat bola dunia, keharmonian berbentuk bulat bundar, sedangkan konflik menjadikannya bulat lonjong.
Ilustrasi AI

Dalam pandangan ‘dunia yang serba harmoni’, konflik merupakan cacat. Sebuah tabu. lbarat bola dunia, keharmonian berbentuk bulat bundar, sedangkan konflik menjadikannya bulat lonjong. Benarkah?

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Konflik. Jika terjadi pada tim Anda, jangan dihindari. Hadapilah! Bahkan, seorang kawan saya, menyarankan untuk menciptakan konflik. Mungkin ini terlalu ekstrem. Tetapi, menciptakan konflik, tentu, bukan dimaksudkan kawan tadi untuk meruntuhkan tim.

Konflik memang bisa berdampak destruktif. Ketegangan, kerenggangan, bahkan kehancuran adalah dampak yang sering muncul dari konflik semacam ini.

Melihat dampak yang demikian merusak itu, banyak orang yang takut terhadap konflik. Karena itu konflik sedapat mungkin dihindari. Kalaupun terlanjur terjadi, sebisa mungkin ditutup-tutupi. Mengapa?

Dalam pandangan “dunia yang serba harmoni”, konflik merupakan cacat. Sebuah tabu. lbarat bola dunia, keharmonian berbentuk bulat bundar, sedangkan konflik menjadikannya bulat lonjong.

Demokrasi Mufakat

Mungkin sama seperti pandangan kita tentang demokrasi. Bahwa demokrasi identik dengan musyawarah-mufakat, pengambilan suara terbanyak, adalah bisul-bisul yang membuat demokrasi tidak bulat bundar, melainkan bulat lonjong.

Baca Juga:  Skandal Pagar Laut, Sinyal Pemerintah Tak Ada

Jadi memang ada keengganan untuk mengakui dan mempelajari potensi konflik. Taufik Abdullah, mengatakan keengganan itu disebabkan oleh ajaran sikap bahwa semua berada dalam situasi solider, toleran.

“Kita sudah termakan oleh ajaran bahwa semua hal (harus) ada dalam situasi konsensus. Semua hal berada dalam situasi yang selalu kita banggakan: toleransi, keselarasan, keseimbangan, atau pemupukan solidaritas,” katanya.

Taufik melihat bahwa konflik cenderung diperlakukan sebagai hal yang tidak sah, sebagai sesuatu yang tergolong “penyimpangan”.

Baca juga: Siklus

Namun, jika kita mau berfikir positif, konflik justru menjadi kekuatan yang konstruktif, asal, kita mampu mengelolanya. Dalam bahasa sebuah hikmah, perbedaan (konflik) adalah rahmat.

Lantas, bagaimana mengelola konflik sehingga menjadi kekuatan positif? Pertama-tama, perlu disadari bahwa konflik itu sendiri sudah ada dalam sebuah kemajemukan.

Kata Taufik, pluralitas itu sendiri bersifat konflik. “Jika Anda berbeda dengan saya, saya merasa Anda aneh.” Itu, menurut Taufik, sudah unsur konflik.

Nah, bukankah realitas kita adalah kemajemukan. Tim, yang kita berada di dalamnya, terbentuk dari perbedaan. Tentu, penuh dengan unsur konflik.

Baca Juga:  Ganti Menteri Ganti Kurikulum, Guru Harus Bagaimana?

Komunitas masyarakat kita sendiri, terdiri dari berbagai unsur; banyak potensi konflik di dalamnya. Potensi konflik tersebut, tidak mungkin kita hilangkan. Jalan yang bisa kita ambil adalah sedapat mungkin mengakomodasi aspirasi setiap unsur dalam kemajemukan.

Jika itu belum mampu, sementara konflik keburu muncul, maka sebaiknya diselesaikan secara demokratis. Sebab sikap demokratis mengandung nilai penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan. Orang merasa lega dan terhormat, jika kita hargai pendapat dan hak-haknya.

Baca juga: Kambing Hitam

Dengan demikian, jika kita menginginkan penyelesaian konflik secara konstruktif, maka cara-cara represif, tekanan dan ancaman, tidak populer untuk diterapkan. Tindakan represif hanya akan menambah unsur baru konflik dan akan menghasilkan daya rusak yang hebat.

Kerusuhan dan huru-hara yang sering terjadi, adalah bukti dari penyelesaian konflik secara represif. Dalam bahasa yang lebih populer, konflik sering ditangani melalui pendekatan kekuasaan.

Konflik, bagaimanapun adalah cermin sebuah dinamika. Cermin adanya iktikad untuk memajukan tim. Sebab ada keinginan-keinginan untuk turut serta menyumbangkan peran yang lebih besar. Ada komitmen-komitmen untuk mencapai tujuan bersama. Konflik, sekali lagi, timbul dari adanya peran dan partisipasi dari para anggota, yang kebetulan berbeda.

Baca Juga:  Kabinet Merah Putih Obesitas? Apa Penyebabnya?

Namun, tentu saja, peran yang menimbulkan konflik itu bukan demi keinginan dan kepentingan individual. Kepentingan sesaat, demi mengeruk keuntungan pribadi. Demi pengaruh pribadi.Jadi, konflik memang tidak selamanya destruktif.

Tinggal bagaimana sistem mampu mengelola konflik secara konstruktif. Mengelola menjadi sebuah kekuatan. Hal ini memang membutuhkan pengalaman-pengalaman, bahkan sebuah “uji coba”. Dan, selamat mencoba! (#)