Opini

Inspirasi di Penghujung Syawal

252
×

Inspirasi di Penghujung Syawal

Sebarkan artikel ini
Ramadan membentuk kebiasaan, Syawal menguji keteguhan, dan Zulhijah menantang pengorbanan. Saatnya menjaga istikamah, bukan sekadar euforia musiman, demi perjalanan jiwa menuju Allah tanpa batas waktu.
Ilusrasi AI

Ramadan membentuk kebiasaan, Syawal menguji keteguhan, dan Zulhijah menantang pengorbanan. Saatnya menjaga istikamah, bukan sekadar euforia musiman, demi perjalanan jiwa menuju Allah tanpa batas waktu.

Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur, akademisi Unitomo; Ketua Litbang DPP Amphuri

Tagar.co – Ramadan telah berlalu. Syawal hampir usai. Namun, ada satu pertanyaan sederhana: apakah semangat Ramadan yang menggebu-gebu itu kini masih tersisa? Atau jangan-jangan sudah ikut mudik dan tak kembali? Hehehe.

Banyak di antara kita menjadikan Ramadan sebagai momen untuk “menjadi baik”, namun hanya sesaat. Setelah gema takbir Idulfitri berlalu, kita kembali pada ritme lama: salat malam ditinggalkan, tilawah ditunda, zikir dan sedekah? Ah, nanti saja, tunggu Ramadan tahun depan.

Baca juga: Menulis untuk Langit: Seruan bagi para Cendekiawan

Sayangnya, hidup tidak menunggu. Allah pun tidak mencintai “hamba musiman”. Karena itu, yang terpenting pasca-Ramadan bukanlah perayaan, melainkan kelanjutan. Bukan sekadar menjaga, tetapi mengistikamahkan. Bahkan, kalau bisa: meningkatkannya.

Ramadan bukanlah tujuan akhir. Ramadan adalah madrasah, sebuah kamp pelatihan spiritual. Puasa selama tiga puluh hari, bangun sahur, menahan lapar dan hawa nafsu—semuanya sejatinya adalah latihan. Latihan untuk hidup sebagai hamba, bukan hanya di bulan suci, melainkan sepanjang tahun.

Dalam dunia psikologi, ada teori tentang habit formation—pembentukan kebiasaan—yang menyatakan bahwa sesuatu yang dilakukan secara konsisten selama 21 hari dapat menjadi kebiasaan. Maka, Ramadan dengan 29 atau 30 harinya adalah kesempatan emas membentuk habit baru: habit ibadah, kesadaran diri, dan menjadi manusia yang lebih baik.

Baca Juga:  Menulis untuk Langit: Seruan bagi para Cendekiawan

Pertanyaannya sekarang: apakah setelah Ramadan kita benar-benar memiliki habit baru itu? Jawabannya tentu “ya”, tinggal maukah kita menjaganya atau membiarkannya lepas begitu saja?

Syawal seharusnya menjadi momentum awal perjalanan panjang kita sebagai hamba Allah. Rasulullah Saw. memberi isyarat melalui anjuran puasa enam hari di bulan Syawal—bukan sekadar sebagai tambahan ibadah, tetapi simbol bahwa semangat Ramadan tidak boleh berhenti pada 1 Syawal.

Kini, kita berada di ujung Syawal. Di tikungan menuju Zulhijah. Bulan yang tidak kalah agung: bulan haji, bulan pengorbanan, bulan Ibrahim.

Jika Ramadan melatih kita untuk menahan, maka Zulhijah mengajak kita untuk memberi: memberi waktu, perhatian, harta, bahkan jiwa. Bagi yang berhaji, ini adalah waktu mengosongkan diri di hadapan Ka’bah. Bagi yang tidak berhaji, Zulhijah tetap menawarkan ruang penggemblengan melalui puasa Arafah, takbir, zikir, dan qurban. Zulhijah mengajak kita terus naik kelas.

Jika Ramadan adalah bulan mencetak pribadi bertakwa, maka Zulhijah adalah bulan menguji ketakwaan itu dengan pengorbanan. Seolah-olah Allah berkata: “Apakah semangat Ramadhanmu masih terjaga? Sekarang buktikan melalui Zulhijahmu.”

Baca Juga:  Mudik Lebaran, Bolehkah Membatalkan Puasa?

Kata kuncinya sederhana: bukan spektakuler, tapi istikamah. Menjadi Muslim tangguh bukanlah soal amal besar, melainkan soal kemampuan untuk konsisten dalam kebaikan, sekecil apa pun. Sebab, Allah lebih mencintai amalan yang terus-menerus, meskipun sedikit.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan terus-menerus, meskipun sedikit.” (H.R. Bukhari No. 6464, Muslim No. 782)

Di penghujung Syawal ini, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah masih ada jejak Ramadan dalam hidup kita? Ataukah Ramadan telah berlalu, dan kita kembali menjadi “diri yang lama”?

Tak perlu khawatir, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Semoga, saat Zulhijah tiba, kita menyambutnya bukan hanya dengan kambing qurban atau sapi qurban, melainkan juga dengan jiwa yang telah disucikan, ditumbuhkan, dan siap berkorban apa pun demi cinta, rindu, dan takwa kepada Allah Swt.

Karena sejatinya, hidup ini bukan hanya tentang ritual. Melainkan tentang perjalanan jiwa menuju Allah—sepanjang hayat, tanpa tanggal kedaluwarsa.

Hamba Istikamah, Bukan Hamba Musiman

Umat Islam tidak boleh menjadi hamba musiman. Ibadah bukan hanya untuk Ramadan, dan semangat spiritual bukan hanya untuk bulan-bulan tertentu. Ramadan melatih kita, Syawal menguji kita, dan Zulhijah menantang kita untuk naik ke jenjang pengorbanan tertinggi.

Baca Juga:  Zakat Fitrah: Kewajiban, Hukum, dan Cara Pembayarannya, Bolehkah secara Online?

Semoga kita menjadi hamba yang tidak hanya kuat di awal, tetapi juga tangguh dalam menjaga dan meningkatkannya. Sebab, Allah tidak hanya menilai sejauh mana kita memulai, tetapi sekuat apa kita menyempurnakan perjalanan.

Sebagai pribadi yang diberi amanah untuk memimpin ICMI Jawa Timur dan Ketua Litbang DPP Amphuri (asosiasi terbesar penyelenggara haji dan umrah di Indonesia), saya merasakan pentingnya menghadirkan semangat Ramadan dan nilai-nilai haji dalam kehidupan sosial kita secara nyata, konsisten, dan kolektif.

Mari terus melangkah bersama. Bukan sekadar menjaga ibadah, melainkan menumbuhkan peradaban. Menjadi umat yang taat secara pribadi sekaligus kuat membimbing dan menginspirasi sesama.

Mengapa? Karena perjalanan menuju Allah tak pernah ditempuh sendirian. Kita lalui bersama, berjemaah, saling menguatkan, hingga sampai kepada-Nya.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam At-Taubah: 71: “Dan orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (#)

Surabaya, 29 Syawal 1446 – 28 April 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni