Opini

Menulis untuk Langit: Seruan bagi para Cendekiawan

184
×

Menulis untuk Langit: Seruan bagi para Cendekiawan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Menulis bukan untuk ketenaran, tetapi untuk memberi manfaat. Cendekiawan sejati menulis dengan hati, menuntun umat, dan menjaga cahaya ilmu agar tak padam, demi meraih rida Allah.

Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur.

Tagar.co – Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh pencitraan dan kepentingan pribadi, apakah masih ada cendekiawan yang menulis dengan hati? Apakah masih ada yang menjadikan ilmu sebagai sedekah, dan pena sebagai ibadah?

Saat sebagian besar orang berlomba-lomba menulis demi pangkat, angka kredit, uang, atau sekadar mencari gengsi, masih ada sekelompok jiwa yang memilih jalan sunyi. Mereka yang menulis bukan untuk viral, tetapi untuk menuntun. Mereka yang mencatat bukan untuk dipuja, tetapi untuk menjaga cahaya ilmu agar tidak padam ditelan zaman.

Baca juga: Menjaga Independensi Cendekiawan Muslim di Tengah Krisis Pendanaan

Mari kita tuliskan cahaya-cahaya dari langit dalam bentuk huruf, agar generasi setelah kita tak buta arah. Dan agar dunia tahu bahwa masih ada yang menulis bukan untuk tenar, tetapi untuk menyelamatkan nurani umat manusia.”

Baca Juga:  Mudik Lebaran, Bolehkah Membatalkan Puasa?

Kalimat ini bukan sekadar ajakan, melainkan ikrar jiwa cendekia yang tak ingin sekadar dikenal, tetapi yang lebih penting adalah memberikan manfaat—karena Allah.

Ilmu sebagai Sedekah, Pena sebagai Ibadah

Cendekiawan sejati adalah mereka yang mengajarkan tanpa menggurui. Yang menyampaikan kebenaran tanpa menghakimi. Yang tetap menulis meskipun tanpa tepuk tangan, karena mereka tahu setiap huruf yang ditulis dengan ikhlas adalah bagian dari tangga menuju ridha-Nya.

Untuk Anda para cendekiawan yang istiqomah menulis tanpa pamrih: Engkau telah menjadikan ilmu sebagai sedekah. Engkau telah menjadikan pena sebagai ibadah. Dan perjuanganmu dalam menulis ini adalah bukti bahwa “ikhlas” itu bukanlah dongeng, melainkan kenyataan yang hidup.

Dunia Butuh Pelita, Bukan Sekadar Penceramah

Hari ini, kita tidak kekurangan gelar atau penghargaan. Yang kita butuhkan adalah ketulusan. Ilmu yang menyejukkan, pena yang menghidupkan, dan tulisan yang tidak hanya canggih, tetapi mampu menyentuh hati dan menggugah nurani.

Kita butuh cendekiawan yang berani menjadi lilin—terbakar perlahan demi menerangi. Yang tak hanya sibuk mencerdaskan, tetapi juga sanggup menuntun, menginspirasi, dan mentransformasi.

Baca Juga:  Arah Baru Pendidikan Tinggi: Harapan untuk Mendiktisaintek Baru Prof. Brian Yuliarto

Seruan bagi Penulis Langit

Jika engkau termasuk yang masih setia menulis karena Allah, maka ketahuilah: engkau sedang menjalankan jihad zaman ini. Engkau menjadi pelita dalam sunyi. Engkau sedang menulis sejarah yang kelak akan dikenang oleh langit.

“Barang siapa memberi petunjuk kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengamalkannya…” (HR. Muslim)

Teruslah menulis. Meski tanpa panggung, meski tanpa viral, meski tanpa undangan seminar. Karena engkau sedang menyusun tangga menuju surga melalui tinta yang ditulis dengan cinta.

Penutup: Kita Masih Bisa Menjadi Pelita

Sahabat, dunia hari ini sangat membutuhkan kehadiranmu. Bukan sekadar sebagai pemikir, tetapi sebagai penjaga arah. Sebagai penulis yang mencintai kejujuran, pengajar yang membangunkan kesadaran, dan ilmuwan yang menolak menjual idealisme demi pengaruh sesaat.

Mari kita isi ruang-ruang media sosial dengan suara yang mencerahkan. Bukan hanya mengkritik, tetapi menawarkan harapan. Bukan hanya menganalisis, tetapi juga membimbing dengan cinta.

Karena menulis bukan soal menjadi hebat, tetapi menjadi manfaat. (#)

Baca Juga:  Pascaramadan: Saatnya Menjadi Manusia Hebat Lahir Batin

Penyunting Mohammad Nurfatoni