Opini

Al-Quran antara Inspirasi, Mistik, dan Eskapisme Diri

254
×

Al-Quran antara Inspirasi, Mistik, dan Eskapisme Diri

Sebarkan artikel ini
Al-Quran menjadi wahyu abadi yang telah terbukti kebenaran sains teknologinya di tangan Maurice Bucaille
Abu Nasir

Al-Quran menjadi wahyu abadi yang telah terbukti kebenaran sains teknologinya di tangan Maurice Bucaille

Oleh Abu Nasir, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pasuruan

Tagar.co – Di tengah efisiensi sering terlihat pejabat berpesta dan menari-nari. Di antara rakyat kesulitan mencari sesuap nasi, tidak jarang terdapat pejabat tertawa-tawa menikmati stand up komedi.

Dunia paradoks sedang menjadi trend dalam negara bangsa yang konon sedang berusaha keras dengan spirit optimisme tinggi mewujudkan Indonesia Emas 2045 nanti.

Bukankah itu optimisme tragis (meminjam istilah Nietzche) namanya?

“Kita sedang menunggu lahirnya kebudayaan tragedi,” ucap filsuf Jerman itu dalam The Birth of Tragedy (1872).

Menurutnya, manusia selalu dihantui oleh bayang-bayang tragedi dalam esensi kehidupannya. Ada ketegangan antara kegembiraan dan rasa kontrol atas kehidupan.

Mungkin seperti itulah gambaran kekalahan telak Timnas 1-5 dari Australia kemarin. Kisah tragis di atas euforia membubung tinggi.

Kebanyakan pesta dan tawa bisa membuat lupa diri dan sosial. Tapi dalam pandangan Nietzche, pesta dan tawa di atas derita dipandang sebagai cara meningkatkan kualitas ruhani. Meskipun justru di sisi lain dapat membuat kerasnya hati.

“Hati yang keras jauh dari Tuhan,” kata Abu Bakar Asy-Syibli, sufi di zaman Abbasiyah. ”Untuk melembutkannya, bacalah Al-Quran.”

Air Mata

Malam-malam akhir Ramadan penting kita menghidupkannya dengan banyak tadarus Al-Quran. Membaca Al-Quran di malam Ramadan adalah kebiasaan Nabi Muhammad Saw dan para sahabat.

Mereka saling menyimak. Di saat sama tidak jarang air mata tumpah. Seorang muslim diajarkan untuk bisa menangis demi menghilangkan kekerasan hati agar kembali ke bumi. Down to earth agar memiliki keseimbangan hati.

Baca Juga:  Ramadan dan Refleksi Diri dalam Jiwa-Jiwa Kering

Tumpahnya air mata seorang mukmin bukan karena cengeng. Orang bisa berurai airmata karena beberapa sebab. Setiap sebab menunjukkan adanya sisi kelembutan hati.

Luapan air mata Nabi ketika melihat telapak tangan seorang sahabat yang melepuh akibat memecah batu demi sesuap nasi keluarganya adalah bentuk kepedulian atas derita sesama.

Lelehan air mata  sahabat Nabi meratapi meninggalnya Hamzah di medan Uhud tersebab tombak budak Wahsy yang menembus perut hingga ususnya terburai adalah bentuk kepedihan dan simpati jihad sebagimana kepedulian perjuangan saudara kita di Palestina yang kembali dikhianati dan dibombardir oleh Yahudi.

Air mata yang tumpah oleh bacaan Al-Quran menunjukkan lembutnya hati hamba Allah oleh ayat-ayatNya. Seorang hamba bisa sujud dan rebah berderai air mata membaca ataupun mendengar bacaan kalam ilahi.

Para sahabat menangis saat Nabi membaca akhir surat Az-Zumar (39): 71. “… orang-orang kafir digiring ke neraka jahanam bersama rombongannya hingga dikatakan kepada mereka mendatanginya dan pintu neraka dibuka, menghardiklah sang penjaga, bukankah telah datang rasul-rasul yang membacakan ayat Tuhan kepada kalian dan memberi peringatan datangnya hari pertemuan ini?

Seorang hamba menjadi khusyu hatinya, bertambah ketaatannya karena merasakan keindahan, keajaiban dan kesedihan saat nuzululquran.

Baca Juga:  Al-Qur'an sebagai Kebutuhan Hidup

وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

Dan mereka menyungkurkan wajah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk. (Al-Isra/17: 109)

إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُ ٱلرَّحْمَٰنِ خَرُّوا۟ سُجَّدًا وَبُكِيًّا

Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.(Maryam/19: 58 )

Melahirkan Sains

Di tangan Maurice Bucaille (19 Juli 1920 – 17 Februari 1998) Al-Quran menjadi wahyu abadi yang telah terbukti kebenaran sains teknologinya.

Ayat-ayat Al-Quran terasa mencerahkan akal pikiran. “Kami terangkat dan tunjukkan bukti-bukti kebenaran ayat-ayat kami di ufuk (alam makrokosmos) dan pada diri manusia (alam mikrokosmos)  bahwa wahyu Allah ini benar-benar dari Tuhan.

سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fussilat/41:53 )

Dari situ lahir ulama Islam dalam bidang sains, filsafat, teknologi, matematika, kimia sosiologi, dan kedokteran.

Di tangan KH Ahmad Dahlan Al-Quran menjelma menjadi petunjuk kebenaran dalam aksi kemanusiaan sehingga berwujud institusi pendidikan, rumah sakit, panti sosial, dan ribuan amal usaha. Al-Quran menjadi petunjuk dan pedoman hidup di jalannya.

Lalu datanglah sekelompok orang belakangan. Dengan bangganya mereka menyebut diri sebagai ahlu Al-Quran dan melarang generasinya untuk belajar sains, matematika, ekonomi, sosiologi, dan lainnya hanya untuk mematenkan hak pemilik tunggal atas hegemoni tafsir agama dan akhirat.

Baca Juga:  Sosok MuSa Warnai Masjid Muhammadiyah di Kaltim

Bagi mereka belajar sains teknologi hanyalah kesia-sian belaka. “Gak bakal ada  pitakon kubur tentang matematika dan sains,” kata mereka. Hello…?

Di tempat lain tidak sedikit malah yang berpaham Al-Quran dengan pendekatan mistis. Mereka membaca Al-Quran secara ritmis dan berharap berkah, kesembuhan dari sakit.

Membaca surah Maryam dan Yusuf agar kelak bayi yang lahir menyerupai ketampanan Nabi Yusuf dan kesalehan Bunda Maryam. Mereka memaksa Al-Quran mengikuti kehendaknya.

Bahkan semakin ramai saja  surah Yasin dibaca untuk mengantarkan kiriman pahala kepada keluarga yang mati.

Sampai hari ini masih banyak umat yang menjadikan Al-Quran sebagai bacaan rutin, berirama dengan keindahan melagukannya.

Di rumah muslim masih jarang ditemui Al-Quran dengan terjemahannya, apalagi tafsirnya.

Al-Quran hanya sekadar dibaca, bukan dicerna. Dijadikan jimat dan susuk, bukan petunjuk. Tak heran jika umat masih hidup serba terbelakang dan terpuruk.

Tidak salah menempatkan Al-Quran dalam sudut pandang apapun dalam hidup karena dari manapun kita bisa mendekatinya.

Mungkin benar apa yang dikatakan Nietzche bahwa hidup butuh ilusi yang membantu manusia mengatasi kebenaran yang mengerikan dari kondisi yang sebenarnya.

Dan Al-Quran menjadi solusi eskapis atas kondisi keterpurukan dan kebutuhan manusia. Wallahu ‘alam (#)

Penyunting Sugeng Purwanto