Opini

Sepuluh Tahun Lagi Jadi Ulama! Visi sang Ayah bagi Hamka

265
×

Sepuluh Tahun Lagi Jadi Ulama! Visi sang Ayah bagi Hamka

Sebarkan artikel ini
Bukan kebetulan Hamka jadi ulama besar dan penulis legendaris. Sejak bayi, ayahnya sudah punya visi: sepuluh tahun lagi, anak ini akan belajar ke Makkah!
Ilustrasi AI

Bukan kebetulan Hamka jadi ulama besar dan penulis legendaris. Sejak bayi, ayahnya sudah punya visi: sepuluh tahun lagi, anak ini akan belajar ke Makkah!

Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku

Tagar.co – Tak banyak anak dan ayah yang memiliki prestasi sama atau mendekati sama. Di antara yang sedikit itu adalah Hamka dan sang ayah. Keduanya adalah ulama yang cemerlang.

Hamka (1908–1981) adalah pendidik sukses. Begitu juga sang ayah, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah (1879–1945). Hamka adalah penulis produktif. Begitu pula sang ayah. Keduanya mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Atas itu semua, mungkin ada yang lalu bertanya: Gerangan, adakah “rahasia” yang bisa kita teladani?

Sang Ayah

Ayah Hamka bernama Haji Abdul Karim Amrullah. Ia ulama besar dan termasuk ulama pembaharu. Kegigihannya dalam berdakwah seperti mewarisi sang guru, Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Haji Abdul Karim Amrullah lahir pada 10 Januari 1879 di Maninjau, Sumatra Barat. Di antara jejak pendidikannya, ia pernah ke Mekkah untuk berhaji dan belajar. Di Makkah, ia berguru kepada banyak ulama termasuk Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang merupakan guru sekaligus imam di Masjidilharam.

Baca juag: Petuah Buya Hamka untuk Calon Pengarang

Belakangan, atas masukan Ahmad Khatib, Haji Abdul Karim mengajar di Makkah. Ia membuka kelas di rumahnya. Dari hari ke hari, muridnya makin banyak.

Pada 1906, Haji Abdul Karim pulang ke Indonesia. Langsung, ia berdakwah. Ia mengajar di Sungai Batang, Sumatra Barat.

Gerakan dakwah Haji Abdul Karim Amrullah bersifat komprehensif. Selain mengajar, ia juga berdakwah lewat tulisan. Pada 1912, ia bergabung dengan Majalah Al-Munir di Padang yang didirikan Abdullah Ahmad pada 1911. Sementara, Abdullah Ahmad adalah sahabatnya sendiri.

Baca Juga:  Hamka dan Berkah Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat

Gerak dakwah Haji Abdul Karim terus berlanjut. Pada 1918, ia mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang—sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Di situ, Hamka—sang anak—belajar Islam dan mendalami bahasa Arab.

Pada tahun yang sama, Haji Abdul Karim bersama Abdullah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). Tak berhenti di situ, mulai 1926, Haji Abdul Karim menjadi penulis buku agama yang produktif.

Ada lagi prestasi yang sangat menonjol. Dalam catatan Taufiq Ismail, Haji Abdul Karim Amrullah adalah tokoh pertama Indonesia yang menerima gelar Doktor Honoris Causa dari universitas tertua di dunia yaitu Universitas Al-Azhar, pada 1926. Pada saat yang sama, sahabatnya—Abdullah Ahmad—juga menerima gelar yang sama dari universitas yang sama.

Sang Anak

Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkat HAMKA lahir di Sumatra Barat, tepatnya di tepi Danau Maninjau, di Kampung Tanah Sirah, bagian dari Negeri Sungai Batang. Di situ, orang tuanya tinggal. Rumah itu tidak banyak penghuninya, tak seperti rumah Minangkabau pada umumnya.

Hamka lahir pada Ahad petang, 13 Muharam 1326, bertepatan dengan 16 Februari 1908. Ia adalah anak pertama. Sang ibu kala itu berusia 16 tahun. Di masa tersebut, gadis usia 15 tahun lazim telah menikah. Selain itu, keluarga besar orang tua Hamka termasuk golongan terpandang dalam masyarakat.

Pada 1930-an, Hamka ke Medan. Di sana, pada 1936–1942, ia memimpin Majalah Pedoman Masyarakat yang terbit tiap pekan. Tulisan-tulisannya mulai dikenal masyarakat luas. Lewat tulisan-tulisan itu pula, Hamka lalu terhubung dengan tokoh-tokoh pejuang seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, Isa Anshary, dan Mohammad Hatta.

Baca Juga:  K.H. Imam Zarkasyi: Pembaru Pendidikan Islam dan Perintis Pesantren Modern

Dengan semangat, Hamka mengenang kiprah dakwahnya kala itu.

“Gerakan kebangkitan Islam turut kami api-apikan. Pemimpin-pemimpin Islam yang besar di zaman itu menumpukan perhatian, seperti Haji Agus Salim, Kiai H. Mas Mansur, Abikusno Tjokrosuyoso, dan lain-lain. Kami pun turut menggerakkan MIAI (Majelis Islam A‘la Indonesia). Pedoman Masyarakat dan Panji Islam di Medan serta Adil di Solo dikategorikan sebagai majalah pelopor Islam kala itu,” kata Hamka (Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, 2018: 252).

Sejak akhir 1930-an, Hamka aktif menulis buku. Banyak di antaranya hingga kini (2025) terus dicetak ulang. Misalnya, kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan yang pertama kali terbit pada 1939, dan buku Tasawuf Modern yang juga pertama kali terbit pada tahun yang sama.

Hamka adalah sosok fenomenal. Ia tak lulus sekolah dasar, tetapi Universitas Al-Azhar Kairo memberinya gelar Doktor Honoris Causa pada 1961. Ia adalah tokoh Indonesia keempat yang mendapat gelar kehormatan itu. Siapa tokoh ketiganya? Ia adalah Rahmah el-Yunusiah, pendiri Diniyah School Padang Panjang, yang menerimanya pada 1957 (Irfan Hamka, Ayah …, 2013: xix).

“Sepuluh Tahun!”

Kembali ke tanggal 16 Februari 1908, saat Hamka lahir. Setelah mendengar tangis bayi dan tahu bayinya laki-laki, bangunlah sang ayah yang kala itu sedang berbaring di atas bangku. Ia terlihat gembira dan berkata, “Sepuluh tahun.”

Baca Juga:  Ada Ibu Hebat di Balik Anak Cemerlang

“Apakah maksud sepuluh tahun, Guru Haji?” tanya nenek Hamka.

“Sepuluh tahun dia akan dikirim belajar ke Mekkah, supaya kelak dia menjadi orang alim pula seperti saya, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dahulu,” jawab sang ayah.

Di kemudian hari, Hamka mendapat informasi tentang “sepuluh tahun” itu dari orang lain. Cerita itu sering ia dengar berulang-ulang. Terasa, seperti sebuah hikayat yang indah.

Apa yang keluar dari lisan Haji Abdul Karim Amrullah—yaitu “Sepuluh tahun!”—adalah bentuk visi yang dimiliki seorang ayah. Apa itu visi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), visi memiliki lima makna. Dua di antaranya: pertama, visi adalah pandangan atau wawasan ke depan; kedua, visi adalah kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan (kbbi.web.id/visi, diakses 29 April 2025).

Berdasarkan dua makna tersebut, kita yakin bahwa saat berkata “Sepuluh tahun!”, ayah Hamka sedang menetapkan visi atas posisi anaknya di masa mendatang. Ini sangat menginspirasi.

Plus Ikhtiar

Demikianlah, sekilas performa dua orang besar: anak dan ayah. Keduanya ulama besar. Keduanya pendidik sukses. Keduanya penulis produktif. Keduanya pejuang tangguh. Keduanya mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari lembaga pendidikan yang sama, yaitu Universitas Al-Azhar.

Rasanya, prestasi Hamka sedikit atau banyak dipengaruhi visi yang dibuat sang ayah. Pada titik ini, visi jika kita perhatikan, setara dengan doa. Maka, lewat gabungan dengan ikhtiar, insyaallah visi kita—terlebih visi orang tua atas anaknya—akan menjadi kenyataan. Allahu Akbar! (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni