Opini

Saat Ulama Berselisih: Warisan Adab dan Ilmu untuk Meredakan Konflik

124
×

Saat Ulama Berselisih: Warisan Adab dan Ilmu untuk Meredakan Konflik

Sebarkan artikel ini
Kultum Ramadan Aji Damanuri

Konflik tak pernah absen dalam sejarah umat. Para ulama klasik dan Nusantara menawarkan jalan damai: tabayun, adu dalil, menjaga adab, dan islah. Sebuah metodologi abadi untuk meredakan perpecahan.

Oleh Dr. Aji Damanuri, M.E.I., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Tagar.co – Konflik bukanlah tamu tak diundang dalam perjalanan peradaban; ia adalah tetangga dekat yang akan selalu mengetuk pintu sejarah. Di mana ada kehidupan, di sana ada gesekan. Yang membedakan bukan ada atau tidaknya konflik, melainkan cara kita meresponsnya.

Di era digital ini, konflik menyala seperti api dalam sekam, cepat menyebar, panas, dan sering kali meninggalkan bekas yang dalam. Lalu, adakah panduan yang bukan sekadar teori, tetapi sudah teruji oleh waktu, untuk mengelola konflik menuju titik damai?

Baca juga: Masjid Jamik Milik Siapa? 

Islam, melalui Al-Qur’an, telah menancapkan tonggak prinsip: “Jika kamu berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul (Nya).” (An-Nisa: 59).

Tapi, bagaimana praktiknya? Apakah hanya slogan retoris? Bagaimana jejak langkah para ulama—baik klasik maupun Nusantara—yang menjadikan ayat ini bukan sekadar bacaan, melainkan living methodology (metode hidup) untuk resolusi konflik.

Dalam sebuah dunia yang terburu-buru menghakimi, para ulama klasik mengajarkan seni tathabbut atau tabayun—klarifikasi mendalam yang berintegritas.

Lihatlah Imam Al-Ghazali. Sebelum melontarkan kritik tajam dalam Tahafut Al-Falasifah, beliau memilih jalan yang lebih panjang dan lebih berat: mempelajari filsafat secara mendalam terlebih dahulu. Beliau menerjemahkan dan mensistematiskan pemikiran para filsuf dalam Maqashid Al-Falasifah, baru kemudian mengkritiknya.

Baca Juga:  Masjid Bukan Tempat Wisata, Kembalikan pada Khitahnya

“Mengkritik sebelum memahami,” tegasnya, “adalah penyakit ilmiah.” Bayangkan jika metodologi ini diterapkan hari ini: betapa banyak narasi pecah belah yang akan mati sebelum lahir, karena kita disyaratkan untuk memahami dulu sebelum membantah.

Begitu pula Imam Syafi’i dan Imam Ahmad pun mengajarkan hal serupa dalam ranah perbedaan fikih. Ketika pendapat mereka berselisih, mereka tidak saling menyerang personal atau menarik massa. Mereka mengalihkan medan pertempuran dari ego menuju epistemologi.

“Jangan taqlid kepadaku atau kepada Syafi’i,” nasihat Imam Ahmad, “ambillah dari mana mereka berdua mengambil (dalil).” Konflik diselesaikan dengan adu kekuatan argumen, bukan adu kerasnya teriakan atau banyaknya pengikut.

Di sini, tanayun (menangguhkan penilaian) adalah senjata pertama. Ia adalah jeda yang bijak, ruang bernapas bagi akal sebelum lidah bertindak.

Setelah fakta diklarifikasi dan dalil dirujuk, langkah berikutnya adalah islah, atau bahasa kerennya rekonsiliasi, yang tidak hanya menyatukan pihak tetapi juga memulihkan harmoni sosial.

Bahkan Ibnu Taymiyyah, figur yang sering diklaim “keras”, justru menunjukkan kematangan dalam islah. Di tengah ketegangan antara murid-muridnya yang beraliran salafi dan sufi, beliau tidak memilih kubu. Alih-alih, beliau merajut jembatan:

“Sufi yang benar adalah yang mengikuti syariat Nabi, dan salafi yang benar adalah yang menjaga adab dan pensucian jiwa (tazkiah).” Beliau mengembalikan kedua kelompok kepada sumber yang sama, melampaui label dan identitas golongan.

Warisan Nusantara

Di Nusantara, kita jumpai K.H. Hasyim Asy’ari yang menanamkan prinsip ini di jantung Nahdlatul Ulama. Saat perdebatan panas soal tradisi vs purifikasi mengancam persaudaraan, beliau mendinginkan situasi: “Selama ada dalil yang diakui dalam ijtihad, jangan saling menyesatkan. Islah lebih wajib daripada memenangkan pendapat.”

Baca Juga:  Muhammadiyah Filantropi 5.0: Menyatukan Ideologi, Teknologi, dan Kolaborasi

Ini adalah pelajaran berharga: kebenaran yang dipertahankan dengan merusak persatuan, bisa jadi kehilangan ruhnya sebagai kebenaran yang rahmatanlilalamin.

Sementara itu, K.H. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah memberi contoh konkret “kembali kepada Allah dan Rasul”. Saat diremehkan karena mengoreksi arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta, beliau tidak mengandalkan kharisma pribadi. Beliau mengajak seluruh pihak untuk duduk bersama, membuka kitab suci, dan memverifikasi dengan ilmu falak modern.

“Kalau kita berbeda,” serunya, “bukan kembali ke pendapat Ahmad Dahlan, tetapi kembali ke firman Allah dan sabda Rasulullah.” Inilah esensi dari fa in tanaaza’tum fa rudduhu ilallah wa ar-rasul: desentralisasi ego, dan sentralisasi otoritas kepada sumber wahyu.

Lantas, bagaimana kita menerapkan warisan kebijaksanaan ini di tengah banjir informasi dan polarisasi yang menganga lebar?

  1. Praktikkan Tabayun Radikal. Sebelum menyebar, klarifikasi. Sebelum mengutuk, pastikan informasi yang kita pegang bukan secondhand rumor. Tiru ketelitian Al-Ghazali: pelajari sumber primer, bukan sekadar headline atau cuplikan.

  2. Jadikan Dalil sebagai Wasit, Bukan Tameng. Saat berdebat, rujuk kepada Al-Qur’an dan hadits yang sahih dengan pemahaman yang tepat. Jangan menjadikan dalil sebagai alat pembenaran bagi prasangka yang sudah kita pegang. Ikuti metode Asy-Syatibi: tempatkan dalil zahir dalam bingkai maqashid syariah (tujuan besar syariat) untuk meminimalkan kerusakan (mafsadah).

  3. Utamakan Islah Sosial. Jika dua pendapat sama-sama memiliki pijakan ijtihad yang kuat, pilihlah jalan yang paling sedikit menimbulkan perpecahan dan paling besar menciptakan kemaslahatan bersama. Khilaf ilmiah adalah sunatullah, tapi friksi sosial adalah pilihan keliru.

  4. Bangun ‘Sutrah Sosial’. Dalam salat, sutrah (pembatas) mencegah orang lewat di depan kita. Dalam konflik, kita butuh sutrah sosial: adab, data, dan musyawarah. Tanpa sutrah ini, orang akan seenaknya melangkahi proses, memotong pembicaraan, dan menyulut permusuhan. Raja Ali Haji mengingatkan dalam Gurindam Dua Belas: “Jika hendak mengenal orang yang baik budi, lihat pada ketika ia berselisih, bukan ketika ia dipuji.”

Baca Juga:  Bukan Sekadar Gamis dan Sorban: Makna Pakaian Nabi di Zaman Kini

Konflik akan selalu hadir. Ia adalah cermin yang memantulkan kualitas ilmu, kedalaman iman, dan kematangan peradaban kita. Warisan para ulama klasik dan Nusantara menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan penghindaran konflik secara naif, melainkan penyelesaian konflik secara elegan dan bermartabat.

Mereka meninggalkan kita rumus abadi: Beda pendapat? → klarifikasi fakta (tabayun) → Adu dalilnya (istidlal sahih) → Timbang dampaknya (maqashid) → jaga adabnya (akhlak ilmiah) → Selesaikan lukanya (Islah sosial).

Kalau tidak mengikuti ulama Islam, apa mau ikut resolusi konflik Abu Jahal?

Di ujung semua proses itu, perdamaian bukanlah sekadar gencatan senjata atau kesepakatan di atas kertas. Perdamaian adalah keadaan hati dan masyarakat yang telah melewati api perbedaan, lalu keluar dengan jiwa yang lebih jernih, ikatan yang lebih kuat, dan kebenaran yang dihormati bersama. Itulah perdamaian sejati yang diwariskan oleh para ulama, sebuah perdamaian yang lahir bukan dari keseragaman pikiran, tetapi dari kesantunan dalam keberagaman. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Bencana merupakan hasil kombinasi kerusakan ekologis, kebijakan tata ruang yang longgar, dan praktik pemanfaatan lahan yang tidak sesuai prinsip mitigasi risiko.
Opini

Bencana merupakan hasil kombinasi kerusakan ekologis, kebijakan tata…