
Idulfitri telah usai, tapi semangatnya belum boleh padam. Inilah saatnya merawat silaturahmi, menjaga lisan dan tindakan, serta melanjutkan ikhtiar memperbaiki diri di hari-hari sesudahnya.
Oleh Muhammad Aswar Akbar, Kabid TKK Dewan Pimpinan Daerah IMM Kaltim
Tagar.co – Perjalanan spiritual kita sebagai seorang hamba telah mencapai titik temu: 1 Syawal 1446, bertepatan dengan 31 Maret 2025. Setelah sebulan penuh menempuh jalan puasa—yang dalam bahasa Arab disebut as-siām—kini kita sampai pada Idulfitri, hari kemenangan yang datang setahun sekali.
Ramadan telah kita lewati dengan segala upaya mendekat kepada Allah, memperbanyak amal, dan memperbaiki diri. Ia adalah bulan yang senantiasa kita rindukan, bulan penuh doa dan harap agar bisa kita jelang dengan penuh makna dan aktivitas yang bernilai.
Baca juga: Takbiran dan Makna Kemenangan Sejati
Namun, Ramadan sejatinya tidak hanya tentang menahan lapar dan dahaga, atau sekadar menunaikan ritual ibadah. Ia adalah ruang kontemplatif, panggung besar bagi jiwa manusia untuk berkaca dan berbenah.
Momentum Ramadan adalah saat terbaik untuk menyelami hakikat diri kita sebagai khalīfah fīl-ardh—pemimpin di muka bumi yang diberi amanah oleh Allah untuk menjaga keseimbangan, mencipta kedamaian, dan menebar manfaat.
Menata Hati
Hati bukan hanya organ yang memproses nutrisi atau menetralisasi racun. Ia lebih dari sekadar bagian tubuh—hati adalah pusat kesadaran, spiritualitas, dan kepribadian manusia. Hati adalah raja dari segala amal.
Jika hati bersih, maka bersihlah seluruh perilaku kita. Maka, Ramadan dan Idulfitri sejatinya adalah momen terbaik untuk menata hati: merapikan niat, memurnikan tujuan, serta memperhalus rasa dalam diri agar hidup kembali terarah dan damai.
Menata Lisan
Kita dianugerahi mulut untuk berucap, menyapa, berbagi cerita, dan menyampaikan kebaikan. Ini adalah nikmat besar yang sering kali luput dari syukur. Betapa banyak luka yang lahir dari lisan yang tak terjaga.
Maka, mari jadikan Idulfitri ini sebagai titik balik dalam memperbaiki cara kita berbicara—agar setiap kata yang terucap bernilai kebaikan, membawa damai, dan menjadi jalan penguat bagi sesama.
Menata Tindakan
Menata hati dan lisan tidak akan sempurna tanpa menata tindakan. Perbuatan kita adalah cermin dari apa yang tersimpan dalam hati dan terucap dari lisan. Maka, sudah saatnya kita benar-benar menjaga perilaku: mempererat hubungan dengan sesama, menyambung silaturahmi, dan meningkatkan kepedulian sosial.
Semoga kita semakin tulus dalam menghargai sesama, serta makin sadar akan kasih sayang Allah yang selalu menaungi hidup kita.
Merekatkan Kekeluargaan
Idulfitri bukan hanya tentang baju baru dan hidangan istimewa. Ia adalah momentum untuk merekatkan kembali tali keluarga yang mungkin mulai longgar oleh jarak, waktu, dan kesibukan. Seperti yang kami rasakan dalam keluarga besar almarhum H. Tampa dan Hj. Lija—Lebaran kali ini menjadi ruang rindu yang akhirnya terisi. Setelah sekian lama tak bersua, akhirnya Allah mempertemukan kami dalam kebersamaan yang hangat, canda yang lepas, dan peluk yang tak tertunda lagi.
Kebersamaan ini bukan sekadar kumpul keluarga, tapi juga ajang saling menguatkan, bertukar cerita, dan menyuntikkan semangat satu sama lain. Dalam suasana itu, ada kedamaian yang menyejukkan, ada harmoni yang mempererat.
Semoga kebersamaan seperti ini terus berulang, hadir dalam takdir-takdir baik berikutnya—dengan kesehatan yang terjaga, cinta yang tak berkurang, dan semangat yang tetap menyala. Amin! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni