
Malam takbiran bukan sekadar gema bedug dan takbir. Ia melambangkan kemenangan spiritual dan rasa syukur atas perjuangan selama Ramadan—kembali ke fitrah dengan hati yang tenang dan suci.
Oleh Muhammad Aswar Akbar, Kabid TKK Dewan Pimpinan Daerah IMM Kaltim
Tagar.co – Malam takbiran bukan sekadar malam yang riuh oleh gema takbir dan dentuman bedug. Ia adalah malam penuh makna, yang menjadi penanda berakhirnya perjalanan spiritual selama Ramadan—bulan yang menempa jiwa, melatih kesabaran, serta menumbuhkan ketakwaan.
Takbir yang berkumandang dari masjid dan musala bukan hanya seruan ritual, tetapi gema kemenangan atas hawa nafsu dan pencapaian kedewasaan spiritual.
Kemenangan yang dirayakan bukan sekadar keberhasilan menuntaskan puasa tiga puluh hari, tetapi lebih dalam lagi: kemenangan dalam menahan amarah, menundukkan ego, serta memperhalus hubungan dengan sesama.
Baca juga: Takbiran Organisasi ala Muhammadiyah Sidoarjo
Ramadan mengajarkan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan diri dari ucapan dan tindakan yang merusak makna ibadah. Maka, malam takbiran adalah selebrasi bagi mereka yang berhasil melewati ujian itu—dengan sabar, ikhlas, dan penuh kesadaran.
Dalam suasana takbir yang menggema, tersimpan pula rasa syukur mendalam. Syukur atas nikmat h kesehatan yang memungkinkan kita beribadah. Syukur atas waktu dan kesempatan untuk mendekat kepada Allah. Syukur atas limpahan rezeki, baik yang terlihat maupun yang hadir dalam bentuk ketenangan batin. Malam takbiran menjadi ruang batin untuk menyadari bahwa segala capaian spiritual selama Ramadan tak lepas dari petunjuk dan kasih sayang-Nya.
Di berbagai penjuru negeri, malam takbiran dirayakan dengan caranya masing-masing. Ada yang menggelar takbir keliling dengan membawa obor dan bedug, ada pula yang berkumpul di masjid dan musala untuk bertakbir bersama dalam suasana khidmat.
Sementara itu, di rumah-rumah, keluarga mulai menyiapkan hari raya dengan membersihkan rumah, memasak hidangan khas Lebaran, dan menata pakaian terbaik. Semua itu adalah bagian dari kebahagiaan kolektif, sebagai wujud rasa syukur dan persiapan menyambut hari kemenangan.
Ayat suci Al-Qur’an mengingatkan kita: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menegaskan bahwa takbir di malam Idulfitri adalah bagian dari ekspresi syukur. Sebuah penanda bahwa Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi perjalanan hati yang berujung pada kesadaran akan kebesaran Allah dan pentingnya kembali kepada fitrah: kesucian jiwa dan kedamaian hati.
Lebih dari tradisi, malam takbiran adalah momentum untuk merenungkan makna kemenangan sejati. Ia mengajarkan bahwa kebesaran bukan terletak pada gemerlap perayaan, melainkan pada ketulusan hati untuk berubah, memaafkan, dan berbagi.
Dengan hati yang bersih dan penuh kebahagiaan, umat Islam menyambut Idulfitri sebagai hari pulang—kembali ke fitrah, kembali kepada jati diri sebagai manusia yang bertakwa dan penuh kasih. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni