
Dalam mengisi masa senja, mantan satpam ini pun menyibukkan dirinya antar jemput cucu-cucunya. Rasa cinta kepada anak, apalagi cucu bagi Saridin mengalahkan lelahnya.
Cerpen oleh Kamas Tontowi, Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani PDM Trengalek dan Guru Bahasa Inggris MTsN 3 Trenggalek.
Tagar.co – Saridin adalah seorang ayah dan kakek tangguh bekerja menjadi satpam di pabrik gas, namun penuh kasih sayang. Dia pun pernah ikut perang pembebasan Timor Timur.
Pengalaman perang di Timor Timur yang sekarang bernama Timor Leste selalu diceritakan kepada anak cucu dan teman ngobrolnya. Terutama saat dia meninggalkan anak dan istri yang hamil besar demi membela negara.
Sebelum berangkat perang, dia mengingatkan mungkin saja dia pulang tinggal nama. Namun ceritanya selalu berkesimpulan sedih karena Timor Timur merdeka menjadi negara sendiri.
Saridin bekerja sebagai satpam pabrik gas di Kota Talangagung. Dia harus menempuh perjalanan tiga puluh kilo pulang pergi setiap hari. Berbagai hambatan sudah dialaminya. Ban bocor, sepeda rusak, kehabisan bensin, bahkan pernah bertabrakan waktu pulang kerja malam. Ngantuk.
Meskipun berusia delapan puluh tahun, Saridin masih sehat dan produktif. Salat jemaah, mencangkul di gunung, olahraga setiap pagi, momong cucu yang ditinggal orang tua bekerja dan tak lupa menjemput cucu cucunya pulang sekolah.
Saridin memiliki seorang istri, Suminah dan empat anak, Rina, Tommy, Tonni dan Joko. Semuanya telah berkeluarga.
Anak pertama hingga ketiga sudah memiliki dua anak. Sedangkan anak keempat memiliki satu anak. Rina dan Tommy sering minta Saridin mengantar dan menjemput anak-anaknya sekolah.
Saridin menjemput dan mengantar mereka dengan senang hati. Rasa cinta kepada anak, apalagi cucu bagi Saridin mengalahkan lelahnya.
Hari itu cuaca mendung. Langit akan mencurahkan hujan. Saridin dengan santai menikmati wayang kulit di handphone pemberian anak-anaknya. Tiba-tiba handphonenya berdering. Tonni, menelepon. Tanpa berpikir panjang Saridin mengangkat.
“Ada apa, Ton?” tanya Saridin
”Mbah, aku minta tolong, anakku pulang jam setengah dua belas,” kata Tonni.
”Iya, Nak. Siap. Istrimu ke pabrik to?” tanya Saridin lagi
”Iya Mbah. Pulang jam dua belas lebih, nunggu check lock,” jawab Tonni.
”Iya, Ton,” kata Saridin.
” Suwun, Mbah,” ucap Tonni.
”Sama-sama.”
Beberapa waktu berlalu. Waktu menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Saridin tetap asyik melihat wayang kulit. Tiba-tiba Suminah memanggil.
“Mbah, jangan lupa, waktunya menjemput Dandi sama Donny. Nanti kalau mereka nggak segera dijemput kasihan. Kasihan kesepian, kalau teman-teman dan gurunya sudah pulang.” Suminah mengingatkan.
“Iya.” Saridin segera beringsut dari sofa. Mematikan handphone, memakai celana training, mengambil kontak kendaraan dan segera keluar menyiapkan sepeda motor.
“Aku berangkat ya,” sapa Saridin ke istrinya.
“Iya, Mbah. Hati hati di jalan. Nggak bawa jas hujan to? Nanti kalau hujan gimana? Kasihan Dandi dan Donny,” tanya Suminah.
“Aman. Nggak hujan kayaknya,” jawab Saridin.
Saridin segera memacu sepeda motornya ke SD Sukarame satu. Selama perjalanan hujan mulai rintik-rintik. Pertanda hujan akan datang.
“Aku tadi kok gak bawa mantel ya. Kasihan Dandi dan Donny. Nanti kebasahan,” batin Saridin selama perjalanan.
Sekitar lima ratus meter sebelum sekolah, tiba-tiba hujan deras. Sembari menggigil kedinginan Saridin tetap melajukan sepeda motornya.
Sampai di sekolah, Saridin kaget. Gerbang sekolah sudah ditutup. Tak ada seorangpun terlihat berseliweran di dalam sekolah. Dia bingung.
“Ahhh mungkin cucu-cucuku sudah pulang ke rumahnya, coba aku cek ke rumahnya. Handphone ku kok yo di rumah. Seharusnya kubawa dan kutelepon Tonny,” pikirnya.
Segera Saridin memacu sepeda motor sekuat kuatnya. Sesampai di rumah Tonny, rumahnya terlihat sepi. Dandi dan Donny pasti belum pulang. Saridin pulang dengan putus asa dan cemas memikirkan cucu-cucunya.
Sampai di rumah, Saridin segera menelepon Tonny, namun tak ada jawaban. Berkali-kali dihubungi namun Tonny tidak menjawab. Saridin menelepon Yuni, istrinya Tonny. Namun usahanya sia-sia. Saridin tak putus asa. Pada panggilan ketiga, Yuni mengangkat handphone.
“Ada apa, Mbah?” Yuni menyahut.
“Danny sudah pulang?” tanya Saridin.
“Belum, Mbah. Biar kujemput saja. Aku sebentar lagi pulang,” jawab Yuni.
“Nggak usah, Nduk. Di mana anak-anakmu? Sekolahnya tutup?” tanya Saridin.
“Ohhh, sekolah yang di barat, Mbah,” jelas Yuni.
“Astaghfirullah. Tonny tadi kok nggak cerita. Aku jemput ya. Terlanjur basah. Hujan deras tadi,” jawab Saridin.
“Ngapunten Mbah. Nanti Tommy biar ku marahi,” kata Yuni.
“Nggak apa-apa,” kata Saridin.
Saridin memacu lagi sepedanya. “Alhamdulillah, hujan sudah reda,” batinnya.
Sesampai di gerbang terlihat dua cucunya tersenyum senang melihat kakeknya datang.
“Kung, di mana tadi. Ku tunggu lama di sekolah, teman-teman sudah pulang.” Dandi, anak kelas dua Sekolah Dasar itu protes.
“Iya kakek kok lupa. Ku tunggu lama di gerbang. Nggak datang datang,” Donny menyahut.
Saridin cuma tersenyum. Dia segera menyapa. “Ayo segera pulang. Tidur siang di rumah. Kasihan ibumu nanti menunggu.”
Selama perjalanan, Saridin bercengkerama bersama cucu-cucunya agar mereka segera melupakan kesedihan karena tidak segera dijemput.
“Gimana sekolahnya Dandy, Donny?” tanya Saridin.
“Mulai besok sudah libur, Kek. Alhamdulillah,”jawab Dandi.
“Ohhh. Iya. Sudah libur hari raya,”sahut Donny.
Waktu berlalu. Takbir berkumandang. Pertanda puasa Ramadan sudah usai. Semua bergembira. Esok paginya anak cucunya Saridin berkumpul. Mereka semua sungkem meminta maaf.
“Mbah. Mohon maaf lahir dan batin, seharusnya aku bilang kalau anak-anak pulang di sekolah barat,” ungkap Tonny sedih.
“Nggak apa-apa. Biasa,” sahut Saridin.
“Sesulit apapun kondisi, engkau adalah sosok yang akan selalu berusaha mengatakan ADA saat anak-anak dan cucumu membutuhkan sesuatu. Semoga Allah menerima amal-amalmu dan mengampuni semua kekhilafanmu. Memberimu tempat terbaik bersama orang-orang terbaik,” harap Tonny dalam hati. (#)
Penyunting Ichwan Arif.