OpiniUtama

MK dan Mukjizat Sipil: Akhir dari Teror Pasal Karet Pecemaran Nama Baik

315
×

MK dan Mukjizat Sipil: Akhir dari Teror Pasal Karet Pecemaran Nama Baik

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

MK mengakhiri tafsir liar pasal karet: kritik ke institusi bukan kejahatan. Dari Karimunjawa lahir mukjizat sipil—suara rakyat akhirnya menang melawan kuasa yang lama membungkam.

Opini oleh Ahmadie Thaha; Kolumnis

Tagar.co – Pada Selasa, 29 April 2025, sejarah republik ini bertambah satu babak. Bukan karena harga cabai turun atau birokrasi mendadak ramping, tetapi karena Mahkamah Konstitusi (MK)—yang biasanya duduk tenang di balik toga—akhirnya berdiri dan berkata, “Cukup, wahai para penguasa, jangan lagi pakai pasal karet buat membungkam rakyat!”

MK menafsirkan, frasa “orang lain” pada pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE hanya berlaku untuk individu (orang perseorangan), bukan institusi, badan hukum, atau jabatan publik. Pasal itu berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain …”

Baca juga: Ayat Tanah di Lingkar Kuasa Oligarki

Ya, MK resmi menyatakan bahwa Pasal 27A UU ITE yang mengatur soal yang banyak diistilahkan dengan pencemaran nama baik itu tidak berlaku untuk institusi pemerintah, badan usaha, maupun kelompok masyarakat. Terjemahan bebasnya: kalau Anda pejabat, perusahaan besar, atau ormas yang gampang tersinggung, maaf, Anda harus mulai belajar menerima kritik tanpa langsung menelepon pengacara.

Baca Juga:  Satu Lembar Ijazah, Satu Bangsa Resah

Ini bukan sekadar keputusan hukum. Ini semacam mukjizat sipil. Suatu momen langka di mana hukum tidak memihak kekuasaan, melainkan berpihak pada logika sehat dan hak warganegara untuk mengeluh, menggerutu, bahkan menyindir. Sebab mari jujur saja: di negeri ini, selama ini, menyampaikan kritik bisa lebih berbahaya dari melintasi zebra cross di depan mobil dinas.

MK, dengan wajah seriusnya menyatakan, kritik terhadap lembaga dan institusi adalah bagian sah dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi. Dan lebih penting lagi: kritik bukan kejahatan. Tentu saja, ini baru disebut berita baik kalau kita ingat bahwa selama ini, UU ITE seolah-olah dibuat bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk melindungi ego yang terlalu rapuh untuk disentuh fakta.

Pasal 27A yang sebelumnya bisa digunakan untuk menjerat siapa saja—dari ibu-ibu RT yang protes jalan rusak, hingga aktivis lingkungan yang bosan melihat hutan berubah jadi perumahan elit—sekarang ditegaskan hanya berlaku untuk pencemaran terhadap individu, bukan lembaga. Jadi, “orang lain” dalam pasal itu bukan berarti “departemen sebelah” atau “lembaga antah berantah yang marah karena disebut korup.”

Baca Juga:  Jumbo, Animasi Lokal dengan Misi Besar Melawan Perundungan

Dan pahlawan kita kali ini bukanlah tokoh partai, bukan pula influencer yang pamer gaya hidup syariah sambil endorse skincare. Namanya Daniel Frits Maurits, warga Karimunjawa—ya, pulau kecil di Kabupaten Jepara. Tidak ada kekuasaan, tak punya buzzer, tak langganan tampil di talkshow. Tapi dia berhasil menggugat pasal yang sering membuat lidah rakyat terkunci dan jemari takut menulis status Facebook.

Tiba-tiba, suara dari pinggiran menjadi guntur yang mengguncang pusat. Sungguh, ini sinyal bahwa suara satu orang bisa mengalahkan kebisingan kuasa. Bahwa keadilan, sesekali, bisa menang—meski hanya selisih satu gol menit 89.

Tentu, ini bukan akhir cerita. Kita tahu, hukum di negeri ini seringkali lincah ditafsirkan: hari ini dibilang tidak boleh, besok dimasukkan ke pasal cadangan. Itulah sebabnya putusan ini harus dikawal. Harus dijaga seperti kita menjaga mie rebus dari saudara kos. Kalau tidak, besok-besok bisa saja ada tafsir baru: bahwa “institusi” adalah “orang yang kebetulan punya KTP.”

MK juga menyisipkan catatan penting: profesi seperti jurnalis, peneliti, bahkan aparat hukum tidak boleh lagi ditakut-takuti dengan pasal-pasal multitafsir. Mereka ini, suka tidak suka, adalah barisan yang mengantar kita pada cahaya: orang-orang yang membongkar, mengungkap, menyelidik, dan menulis laporan meski tahu akan dimaki.

Baca Juga:  Puasa: Pembersihan Tubuh, Regenerasi Sel, dan Bonus Umur Panjang!

Di tengah era digital ini, ruang maya adalah medan tempur demokrasi. Dan tanpa batas yang jelas, medan itu bisa berubah jadi jebakan. Tapi kini, dengan keputusan ini, kita punya satu tembok baru: bahwa hukum bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk melindungi. Bahwa kritik adalah cinta, bukan penghinaan. Bahwa negara tidak perlu anti kritik, cukup anti korupsi saja dulu.

Maka, untuk Daniel dan jutaan orang yang pernah ingin bicara tapi memilih diam karena takut: terima kasih sudah menyalakan lilin di tengah gelapnya algoritma kekuasaan. Mari terus bicara, karena diam adalah kemewahan yang hanya dimiliki mereka yang sudah kehilangan harapan.

Ma’had Tadabbur Al-Qur’an, 30 April 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni