
Perjalanan 64 Km Sidoarjo-Bungah akhirnya tertebus dengan asem-asem kepala sembilang, seruputan teh, hingga obrolan yang menghangatkan.
Tagar.co – “Pantang pulang sebelum kenyang,” begitu bunyi tagline dari Pawon Hartatik yang tampak jelas terpampang di teras rumah makan di kampung Sungonlegowo, Bungah, Gresik, Kamis (29/5/25) siang.
Begitu turun dari mobil online yang membawa saya dari Bunder ke Bungah, Ichwan Arif, redaktur Tagar.co, membawa saya ke ruang belakang, tempat perjamuan rapat redaksi. Di sana ternyata sudah ramai. Ada Mohammad Nurfatoni, Sayyidah Nuriyah, dan Nely Izzatul.
Sesaat usai uluk salam dan menyalami para guru menulis itu, Pak SGP, panggilan Sugeng Purwanto bilang, “Sini-sini, ini khusus untuk peserta rapat yang paling jauh rumahnya,” katanya sambil mempersilakan saya duduk di dekatnya.
Di awal saya agak malu-malu dan sangsi. Apalagi ada banyak tamu penting yang juga “ikut hadir” di ruang belakang rumah makan tersebut. Maklum, menjadi peserta rapat yang datang terakhir, tapi diberi “jatah” makan siang yang sebanyak itu. Seperti gelem-gelem isin, hehe..
Sesuai Jarak Rumah
Terlebih di atas meja, masih bejibun makanan utama yang telah dipesan sebelumnya, seperti ikan sembilang, nasi di bakul beralas daun pisang, bandeng asap, udang dan tempe goreng, dadar jagung, hingga jumblek, panganan khas Paciran Lamongan yang dibawa Mbak Nely, panggilan Nely Izzatul.
“Lho, ga kebanyakan ta, Pak, ini,” ucap saya pada Pak SGP. “Wis, tah. Semua sudah makan. Tinggal nunggu kamu. Porsi makan ini sesuai jarak rumah. Kamu paling jauh,” jawabnya sambil memberikan tamsil yang agak berlebihan.
Saya melihat kembali menu kepala sembilang itu. Satu kepala sembilang besar dibelah dua. Ukurannya ora umum alias tak biasa. Belum lagi kuah kuning bumbu jangkepnya dengan kondimen potongan tomat, belimbing wuluh, dan cabe yang menyeruak. Byuh, ini yang namanya kuah asem-asem menggoda selera.
Saya lalu melirik ke sekeliling. Pak Fatoni yang tampak sibuk mengedit usai “mengisi bensin”, Mbak Sayyidah yang sepertinya siap menulis kejadian pagi itu, serta Mbak Nely dengan si kecil yang super aktif. Semua kompak dan semacam memberikan statemen, agar saya segera mengeksekusi. Pak Ichwan bahkan menyodorkan teh panas yang sudah dipesan secara kolektif kolegial sebelumnya, yang saya icip memang benar-benar masih panas. Fresh. Mantep.
Sebagai orang Indonesia yang belum makan kalau belum kemasukan nasi. Maka, nasi menjadi prasyarat pertama sebelum menuang kepala ikan sembilang itu di piring. Lha koq ndilalah, nasi satu bakul yang disisakan untuk saya itu ternyata banyak juga. Saya pun mengambil dua centong dan menuangkannya ke piring. Masih ada sisa nasi di bakul tersebut.

Orkestrasi Lidah
Giliran kepala sembilang yang saya ambil. Saya tidak tega karena sedari tadi “meronta-ronta” untuk segera dipingit. Jarak 64 km antara Sidoarjo-Bungah ternyata membuat selera dan nafsu makan saya siang itu meningkat. Apalagi sepanjang perjalanan Alun-alun Sidoarjo hingga Terminal Bunder Gresik, tangan ini tak pernah lepas dari besi gantungan yang ada di dalam bus Transjatim.
Melihat kepala sembilang dengan ukuran super jumbo itu sempat membuat skeptis. Apakah rasanya enak? Tidak amis? Atau memang adakah daging di kepalanya. Jangan-jangan..ah, sudahlah.
Maklum, sebagai warga Sidoarjo, yang kesehariannya biasanya “ngerikiti” kepala lele, mujair, hingga bandeng, menu kepala sembilang ini memang tidak biasa.
Namun, setelah pertama kali menyentuh daging sembilang yang super besar itu, lidah itu kemudian mengirim sinyal ke otak bahwa makanan ini enak. Lidah itu lalu bekerja sama dengan gigi dan mulut untuk mengorkestrasinya segera ke lambung. Otak kemudian mengirim impuls ke tangan yang membawa sendok untuk mengulangnya, lagi dan lagi.
Cara makan saya yang agak garingan itu ternyata memantik reaksi dari Pak SGP yang sedari tadi memantau bak kamera CCTV. Dengan gaya khas komentarnya, dia berseloroh agar nasi di piring itu ditambah kuah kuning yang masih banyak di baskom.
“Banyakin kuahnya,” kata wartawan gaek eks Surabaya Post yang terkenal killer di darat dan laut, eh dunia nyata tersebut. Menurutnya, makan sembilang khas Bungah seperti di Pawon Hartatik ini ga nikmat jika tidak pakai kuah yang banyak.
Maka kesimpulan saya dari sebelumnya enak, beralih ke sedap dan maknyus. Tangan ini kemudian tidak berhenti untuk mengambil nasi, mencomoti daging kepala sembilang, dan memadukannya dengan kuah berisi potongan belimbing wuluh dan cabe.
Tak terasa, satu porsi piring habis. Saya pun beringsut malu-malu mau untuk mengambil porsi kedua yang tersisa di bakul. Menghabiskannya dengan satu potongan kepala sembilang yang kedua. Teh panas itu juga sangat pas diseruput kala menu utama tandas. Belum lagi gorengan dan jumbrek serta buah siwalan khas Paciran yang dibawa Bu Nely.
“Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban..” (#)

Jurnalis Darul Setiawan