Cerpen

Ilham dan Pertanyaan tentang KHGT

320
×

Ilham dan Pertanyaan tentang KHGT

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Di bawah langit senja, Ilham mempertanyakan KHGT kepada kakeknya. Kenapa kita masih pakai hisab wujudul hilal? Kenapa tidak langsung pakai KHGT?

Ilham dan Pertanyaan tentang KHGT; Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik.

Tagar.co – Sore itu, langit berwarna jingga kemerahan, pertanda matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Burung-burung gereja berkicau riuh, seolah berpamitan kepada siang yang perlahan meredup. Ilham duduk di serambi rumah kayu bersama kakeknya, Pak Ahmad, seorang tokoh Muhammadiyah di desa kecil mereka. Dari kejauhan, suara azan Magrib berkumandang, berpadu dengan derit bambu yang tertiup angin.

Sejak kecil, Ilham selalu kagum dengan kakeknya. Selain dikenal sebagai orang bijak, Pak Ahmad juga seorang pengamat ilmu falak yang sering ditanya warga tentang kapan Ramadan dimulai atau kapan Idulfitri tiba. Namun, tahun ini ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Baca juga: Perlawanan di Tepi Senja

“Kek, aku baca di berita kalau Muhammadiyah sudah punya Kalender Hijriah Global Tunggal, KHGT,” kata Ilham, suaranya penuh rasa ingin tahu. “Tapi kenapa kita masih pakai hisab wujudul hilal? Kenapa tidak langsung pakai KHGT?”

Pak Ahmad tersenyum tipis, menyeruput kopi yang aromanya masih mengepul di udara. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari dari cucunya yang rajin membaca dan kritis berpikir. Dengan penuh kebapakan, ia menatap Ilham dan mulai menjelaskan.

“Nak, hisab wujudul hilal adalah metode yang sudah lama kita gunakan. Artinya, kalau hilal sudah ada di atas ufuk meskipun belum terlihat oleh mata, kita sudah menetapkan awal bulan. Berbeda dengan metode rukyat yang menunggu seseorang melihat hilal secara langsung,” jelasnya sambil mengaduk pelan kopinya.

Baca Juga:  Sepiring Nasi untuk Ibu

Ilham mengangguk, ia sudah sering mendengar ini. Namun, yang belum ia pahami adalah soal KHGT.

“Kalau begitu, kenapa kita buat KHGT, Kek? Bukankah KHGT bisa membuat seluruh dunia punya kalender Islam yang sama?” Nada suaranya penuh semangat, namun juga sedikit bingung.

Pak Ahmad menatap ke langit yang semakin gelap. Ia lalu menunjuk bulan sabit tipis yang mulai tampak.

“Ilham, kamu lihat bulan itu?”

Ilham mengangguk.

“Bayangkan, kalau semua umat Islam di dunia melihat bulan itu di waktu yang sama, tapi karena kita tinggal di tempat yang berbeda, posisi bulan bisa berbeda-beda di setiap negara. Ada yang bisa melihatnya dengan jelas, ada yang tidak. Nah, KHGT dibuat agar seluruh umat Islam bisa punya kalender yang sama, tidak terpecah belah oleh perbedaan metode.”

Ilham termenung. Ada sesuatu dalam penjelasan itu yang mulai membentuk pemahaman baru di benaknya. “Jadi, KHGT itu bukan sekadar hisab biasa, tapi sistem kalender yang berlaku global?”

Pak Ahmad tersenyum lebar. “Tepat sekali! KHGT bukan hanya soal hisab dan rukyat, tapi juga soal persatuan umat Islam di seluruh dunia. Jika semua negara Muslim sepakat memakai KHGT, maka tidak akan ada lagi perbedaan hari raya atau awal bulan Hijriah.”

Namun, sesuatu masih mengganjal di benak Ilham. Ia menghela napas, lalu memberanikan diri bertanya lagi.

Baca Juga:  Hafalan Terakhir untuk Ayah

“Kalau begitu, kenapa Muhammadiyah belum pakai KHGT sepenuhnya, Kek? Kenapa masih pakai hisab wujudul hilal seperti dulu?”

Pak Ahmad menatap cucunya dengan penuh kebanggaan. Ilham memang anak yang kritis.

“Karena KHGT bukan hanya tentang ilmu falak, tapi juga tentang kesiapan umat,” jawab Pak Ahmad, kali ini dengan suara lebih dalam. “KHGT baru bisa diterapkan kalau mayoritas umat Islam di dunia setuju. Saat ini, masih banyak yang belum siap menerima perubahan. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang belum diterima secara luas, kan?”

Ilham mengangguk pelan. Sekarang, ia mulai melihat masalah ini dari sudut pandang yang lebih luas.

“Jadi, Muhammadiyah tetap pakai hisab wujudul hilal karena itu yang paling realistis untuk saat ini?”

Pak Ahmad mengelus jenggotnya. “Betul, Nak. Dalam Islam, ilmu harus berjalan seiring dengan hikmah dan kebijaksanaan. Jika kita terburu-buru, justru akan menimbulkan kebingungan dan perpecahan.”

Langit semakin gelap. Jangkrik mulai bersahut-sahutan di kejauhan, menemani keheningan Ilham yang masih mencerna semua penjelasan itu. Dalam hati, ia berjanji untuk terus belajar dan berdakwah dengan hikmah, sebagaimana yang diajarkan kakeknya.

Beberapa hari kemudian, Ilham mulai mencari tahu lebih dalam tentang KHGT. Ia membaca berbagai artikel, menonton video diskusi ulama, bahkan bertanya kepada gurunya di sekolah. Tapi semakin ia belajar, semakin ia sadar bahwa tak semua orang mudah menerima perubahan.

Suatu sore, saat sedang berdiskusi dengan teman-temannya di masjid, seorang pemuda menatapnya dengan dahi berkerut.

Baca Juga:  Membangun Sekolah Gratis Berkualitas di Kampung Nelayan Pantura Gresik

“Ilham, aku dengar kamu sering bicara soal KHGT. Tapi kenapa kamu sok tahu? Apa kamu mau menentang tradisi yang sudah turun-temurun?” kata pemuda itu, suaranya sedikit ketus.

Ilham terkejut. Ia tidak menyangka ada yang merasa terganggu dengan pembicaraannya. Ia menarik napas panjang, mencoba tetap tenang.

“Bukan begitu, Kak,” katanya dengan suara lembut. “Aku hanya ingin kita sama-sama belajar. KHGT bukan untuk menggantikan tradisi, tapi untuk mencari cara yang lebih baik agar umat Islam bersatu.”

Pemuda itu masih terlihat ragu, tetapi kini lebih tenang. “Aku belum yakin, tapi mungkin aku perlu membaca lebih banyak soal itu,” gumamnya akhirnya.

Malam itu, Ilham menceritakan kejadian tersebut kepada kakeknya.

Pak Ahmad tersenyum bangga. “Nak, kamu sudah mulai memahami bahwa dakwah itu bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tapi juga soal memahami perasaan orang lain. Itulah hikmah yang sesungguhnya.”

Ilham tersenyum. Ia tahu, perjalanan KHGT masih panjang. Tapi ia yakin, dengan ilmu dan kesabaran, perubahan akan datang pada waktunya.

Di serambi rumah kayu itu, Ilham dan Pak Ahmad masih sering duduk bersama, menatap langit dan berbincang tentang banyak hal. Bulan sabit masih menggantung di angkasa, seakan menjadi saksi bahwa setiap perjalanan ilmu selalu dimulai dari pertanyaan yang sederhana.

Dan Ilham pun berjanji, ia akan terus berusaha, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati yang lapang dan pemahaman yang mendalam. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Cerpen

Setiap langkahnya meninggalkan jejak perjuangan. Suara kaki palsunya…