
Api membakar medan tempur, mengepung pasukan Aceh. Di tengah kepungan maut, Hantom Manoe memimpin terobosan nekat melawan prajurit Majapahit. Kemenangan diraih, tapi perang belum usai.
Seri 12: Api di Medan Perang; Cerbung oleh Dwi Taufan Hidayat
Tagar.co – Kobaran api menjilat langit malam, menebarkan asap pekat yang menyelimuti medan perang. Suara gemeretak kayu terbakar bercampur dengan jeritan para prajurit yang terjebak dalam perangkap Gajah Mada.
Pasukan Aceh kini dikepung dari dua arah—di depan, barisan prajurit Majapahit yang kembali menyerang dengan kekuatan penuh; di belakang, nyala api yang kian membesar, mengancam menghanguskan siapa saja yang mencoba melarikan diri.
Hantom Manoe berdiri tegak, matanya menajam ke arah musuh. Darah masih mengalir dari bahunya, namun genggaman tangannya pada rencong tidak melemah. “Jangan biarkan api ini membuat kalian takut!” serunya lantang. “Mereka ingin kita panik—kita harus tetap bertarung!”
Baca Seri 1-11 Hantom Manoe
Teuku Cindaku menoleh ke sekelilingnya, melihat bagaimana pasukan mereka mulai kehilangan harapan. Banyak yang terbatuk-batuk akibat asap, sementara yang lain tersandung dan jatuh dalam kepungan kobaran api.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Teuku Gantar Alam, suaranya penuh kekhawatiran.
Hantom Manoe memicingkan matanya, menatap ke arah barisan prajurit Majapahit yang berbaris rapi, siap melancarkan serangan terakhir. Gajah Mada berdiri di belakang mereka, wajahnya penuh kepuasan. Ia yakin kali ini, Hantom Manoe dan pasukan Aceh tidak akan bisa keluar hidup-hidup.
Terobosan yang Berani
Hantom Manoe menarik napas dalam-dalam. “Kita harus menerobos mereka,” katanya mantap.
Teuku Cindaku mengernyit. “Tapi mereka lebih banyak. Pasukan kita mulai kelelahan.”
“Justru karena itu kita harus bergerak sekarang,” jawab Hantom Manoe tegas. “Jika kita tetap di sini, kita akan mati terpanggang atau dibantai habis. Kita hanya punya satu pilihan—menyerang dengan seluruh tenaga yang tersisa!”
Tanpa menunggu persetujuan, Hantom Manoe mengangkat rencongnya tinggi-tinggi dan menerjang ke depan. Teuku Gantar Alam dan Teuku Cindaku saling berpandangan, lalu tanpa ragu mengikuti jejak panglima mereka.
“Majulah!” teriak mereka kepada pasukan Aceh. “Hancurkan barisan mereka!”
Pasukan Aceh, yang sebelumnya hampir putus asa, kini mendapatkan semangat baru. Dengan pekikan perang, mereka mengangkat senjata dan menyerbu ke arah pasukan Majapahit.
Benturan Dua Pasukan
Pertempuran kembali pecah dengan dahsyat. Pedang beradu dengan tombak, rencong menebas leher, dan panah melesat di udara. Hantom Manoe bertarung seperti kesetanan, menghabisi musuh di kanan dan kiri tanpa ampun.
Rakryan Tumenggung Anggabrata mengayunkan pedangnya ke arah Hantom Manoe, namun dengan cepat panglima Aceh itu menangkis serangan tersebut dan melancarkan tebasan balasan. Anggabrata terhuyung ke belakang, nyaris terjatuh.
Di sisi lain, Teuku Cindaku bertarung dengan gagah berani, menusukkan tombaknya ke dada seorang prajurit Majapahit sebelum beralih ke lawan berikutnya. Sementara itu, Teuku Gantar Alam memimpin beberapa prajurit berkuda, mencoba memukul mundur barisan musuh yang lebih besar.
Gajah Mada mengamati pertempuran dari kejauhan. Matanya menyipit. Ia tidak menduga pasukan Aceh masih memiliki tenaga untuk melawan.
“Lanjutkan tekanan!” perintahnya. “Jangan beri mereka celah untuk lolos!”
Namun, pasukan Majapahit kini mulai goyah. Mereka tidak menyangka pasukan Aceh yang hampir terkepung api justru berbalik melawan dengan keganasan yang tidak terduga.
Momen Kritis
Tiba-tiba, langit bergemuruh. Angin kencang bertiup, membawa debu dan abu dari kobaran api. Bara api beterbangan, menyebar ke arah pasukan Majapahit.
Salah satu tenda mereka terbakar, membuat kepanikan di barisan belakang. Beberapa prajurit Majapahit berteriak ketakutan saat api mulai merambat ke perkemahan mereka sendiri.
Gajah Mada mengertakkan giginya. “Ini buruk,” gumamnya.
Saat itulah, Hantom Manoe melihat celah. Dengan suara lantang, ia berteriak, “Maju terus! Mereka mulai gentar!”
Pasukan Aceh semakin menggila. Mereka menerobos barisan Majapahit dengan penuh keberanian, menghancurkan formasi musuh.
Gajah Mada akhirnya mengambil keputusan cepat. “Mundur!” perintahnya dengan suara penuh kemarahan. “Kita akan kehilangan lebih banyak prajurit jika bertahan di sini!”
Pasukan Majapahit yang tersisa segera menarik diri. Mereka berlari ke arah hutan, meninggalkan medan perang yang kini dikuasai pasukan Aceh.
Kemenangan yang Pahit
Saat pertempuran mereda, Hantom Manoe berdiri di tengah medan perang yang dipenuhi mayat. Napasnya berat, darah menetes dari luka-lukanya, namun matanya tetap tajam.
Teuku Gantar Alam mendekatinya. “Mereka mundur, tapi aku ragu ini adalah akhir.”
Hantom Manoe mengangguk. “Benar. Gajah Mada tidak akan menyerah begitu saja. Tapi untuk saat ini… kita menang.”
Teuku Cindaku duduk di tanah, kelelahan. “Kita kehilangan banyak prajurit. Ini bukan kemenangan yang mudah.”
Hantom Manoe memandang sekelilingnya. Api masih berkobar di beberapa titik, menghanguskan jejak-jejak pertempuran yang baru saja terjadi.
Raja Muda Sedia tiba di lokasi bersama beberapa pengawal. Ia menatap pemandangan mengerikan di hadapannya, lalu mendekati Hantom Manoe.
“Kau telah menyelamatkan negeri ini sekali lagi,” katanya lirih.
Hantom Manoe tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan tempat Gajah Mada menghilang.
Pertempuran ini mungkin telah dimenangkan. Tapi perang… masih jauh dari selesai. (#)
Bersambung pada seri ke-13: Bayang-Bayang Dendam
Penyunting Mohammad Nurfatoni