Buku

Dipertemukan oleh Tulisan: Kisah Luluk dan Pena Perajut Aksara

309
×

Dipertemukan oleh Tulisan: Kisah Luluk dan Pena Perajut Aksara

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Atho’ Khoironi

Dalam diam, mereka menulis. Dalam tulisan, mereka dipertemukan. Kisah Luluk dan komunitas Pena Perajut Aksara menjadi bukti: kita akan bertemu dengan yang kita cari.

Oleh M. Anwar Djaelani Penulis 13 buku dan aktif menulis artikel sejak 1996

Tagat.co – Luluk, siapa dia? Apa makna komunitas Apa yang Kita Cari? Boleh jadi, itulah dua pertanyaan yang segera muncul saat kita membaca judul tulisan ini.

Mari kita mulai dari sebuah nasihat Hamka. Nasihat itu tercantum dalam sebuah kisah yang cukup mudah ditemukan di internet. Salah satunya, dimuat dalam artikel Zainut Tauhid Sa’adi.

Berikut kutipan tulisan dari salah satu Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat 2020–2025 tersebut, tentang sebuah ceramah Buya Hamka (1908–1981) yang menyingkapkan dialog menarik:

Baca juga: Refleksi Hari Buku Sedunia: Hamka dan Rahasia Menjadi Penulis Besar

“Subhanallah, Buya. Sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Makkah ada wanita nakal. Kok bisa?” tanya seorang laki-laki.

“Oh, ya? Saya baru saja dari Los Angeles dan New York. Masyaallah, ternyata di sana tidak ada wanita nakal,” jawab Hamka tenang.

“Ah, mana mungkin, Buya! Di Mekkah saja ada. Pasti di Amerika jauh lebih banyak,” tukas si penanya.

“Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari,” respons Hamka sembari tersenyum. (Sumber: https://halalmui.org/halal-itu-mudah-dan-membawa-berkah/)

Saya sudah beberapa kali membaca kisah ini. Ternyata, maaf, saya memiliki sejumlah pengalaman yang sejalan dengan pesan Hamka: “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari.”

Salah satu kisah itu sebagai berikut. Mungkin, detilnya tak persis, karena kejadian ini berlangsung sekitar 13 tahun lalu.

Baca Juga:  Buya Hamka dan Anugerah di Balik Pena

Sahabat Lama

Selasa, 15 April 2025, sebuah pesan masuk ke ponsel saya. “Assalamu’alaikum Pak Anwar. Saya hendak mengundang Bapak dalam acara bedah buku komunitas Pena Perajut Aksara Sidoarjo, insyaallah 6 Mei di Sidoarjo.”

Saya tidak mengenali pengirim pesan karena namanya tidak muncul. Penasaran, saya buka profilnya. Ternyata, sahabat lama: Luluk Sulistyorini dari Sidoarjo. Dulu, ia sangat gemar membaca dan ingin belajar menulis. Kami berkenalan pada 2012.

Saat itu, Majalah Hidayatullah menggelar Pelatihan Jurnalistik di Surabaya, dan saya menjadi salah satu pematerinya. Luluk adalah salah satu peserta. Saat mengikuti pelatihan, Luluk baru saja melahirkan anak ketiga dan masih aktif bekerja di sebuah perusahaan. Di tahun yang sama, kami kembali bertemu dalam dua acara dakwah.

Setelahnya, komunikasi kami hanya berlangsung sesekali melalui pesan singkat, seputar kepenulisan dan dakwah. Lama-kelamaan, komunikasi terputus dan saya tidak mengetahui bahwa Luluk telah mengganti nomor ponsel.

Buku Baru

Kembali ke undangan Luluk. Tentu saya senang menerimanya. Pertama, karena kami bisa kembali terhubung setelah bertahun-tahun. Kedua, karena saya diundang dalam acara peluncuran buku—momen yang sangat menarik bagi pencinta literasi.

Baca Juga:  Fatwa Ulama dan Perlawanan Global terhadap Genosida Israel

Acaranya dimajukan menjadi 24 April 2025. Buku yang diluncurkan berjudul Aku (Tidak) Baik-Baik Saja. Ini adalah buku antologi berisi 20 tulisan. Tiga di antaranya berjudul:

  • Ibu, Apa Kabar Hari Ini?

  • Jejak Waktu di Istanbul

  • Sesal Tak Bertepi

Judul buku diambil dari salah satu tulisan di dalamnya.

Pada 21 April 2025, selepas magrib, saya telah menerima buku setebal ix + 226 halaman itu. Penampilannya menarik, baik sampul, ilustrasi, maupun warnanya. Di akhir setiap tulisan, terdapat profil singkat penulisnya.

Komunitas yang Berharga

Siapa saja para penulis itu? Rupanya, Pena Perajut Aksara yang diprakarasi Bunda Lutfi dan Bunda Mel itu kini dipimpian Bunda Azizah. Anggotanya sekitar 30 orang, mayoritas ibu rumah tangga berusia 35–55 tahun.

Bagi saya, komunitas ini sungguh asyik dan layak diapresiasi. Anggotanya tentu gemar membaca dan menulis. Komunitas seperti ini harus didukung karena menulis tidak bisa dipisahkan dari aktivitas membaca. Keduanya ibarat dua sisi mata uang.

Pena Perajut Aksara adalah komunitas yang “mahal”. Banyak anggotanya adalah guru, dosen, ASN, pengusaha, dan aktivis sosial. Tingkat pendidikan beberapa di antaranya bahkan hingga magister. Latar belakang keilmuannya pun beragam: teknologi kelautan, arsitektur, psikologi, dan lain-lain.

Baca Juga:  K.H. Imam Zarkasyi: Pembaru Pendidikan Islam dan Perintis Pesantren Modern

Tempat asal mereka juga beragam: Surabaya, Mojokerto, Magetan, Ponorogo, tepi Danau Toba di Sumatera Utara, hingga Bulukumba di Sulawesi. Ada pula yang berdarah Minangkabau.

Status mereka pun beragam: ada yang sudah menjadi nenek, ada pula yang telah berkarya dalam 15 hingga 30 buku antologi. Tak sedikit yang piawai menulis fiksi maupun artikel ilmiah. Sebagian karyanya telah terbit di jurnal ilmiah dan bisa diakses di Google Scholar. Mereka juga aktif dalam dakwah, sosial, dan politik.

Terus Menyala

Aktif membaca dan menulis adalah karunia besar dari Allah. Ini merupakan bagian dari wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sayangnya, hanya sedikit dari kita yang menekuni dua aktivitas penting ini.

Semoga komunitas Pena Perajut Aksara:

  • Istikamah di jalan literasi,

  • Sabar mengampanyekan gerakan membaca dan menulis,

  • Dan menginspirasi kalangan lain di berbagai daerah.

Akhirnya, kembali ke nasihat Hamka: “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari.”

Semoga kisah persahabatan saya dengan Luluk menjadi bukti dari ungkapan itu. Semoga pula komunitas Pena Perajut Aksara adalah kumpulan orang-orang yang dipertemukan karena mereka mencari hal yang sama—yakni, menebar kebaikan lewat tulisan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni