Dari Madrasah, Nurkhan Menulis Manusia: Resensi Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti
Sebarkan artikel ini
Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti, Kumpulan Cerpen
Dari ruang madrasah yang sederhana, Nurkhan menulis kisah-kisah manusia kecil dengan empati dan kejujuran. Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti bukan sekadar kumpulan cerpen, melainkan perjalanan batin seorang guru yang menjadikan menulis sebagai dakwah dan kemanusiaan sebagai pelajaran utama.
Tagar.co – Di antara kesibukan mengajar, memimpin madrasah, dan bergulat dengan urusan administratif, Nurkhan menempuh jalan sunyi: menulis. Bukan laporan atau modul pembelajaran, melainkan cerita-cerita pendek tentang manusia biasa yang bergulat dengan nasib, keyakinan, dan kejujuran.
Dari jalan sunyi itulah lahir Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti—kumpulan 45 cerpen yang menjahit pengalaman sehari-hari menjadi cermin kemanusiaan.
Cerpen-cerpen Nurkhan lahir dari pengamatan yang sabar terhadap kehidupan di sekitar: desa-desa di Lamongan dan Gresik, sekolah-sekolah kecil, warung kopi, halaman madrasah. Ia menulis bukan dari menara gading, tetapi dari tanah yang diinjaknya sendiri.
Dalam Kasun Kasrun (hal. 3), kita menjumpai kepala dusun yang menolak proyek peternakan besar yang akan menggusur sawah warga. Konfliknya sosial-ekonomi, tetapi Nurkhan menulisnya dengan empati moral: keberanian Kasrun bukan heroisme spektakuler, melainkan kesetiaan pada tanah dan orang-orang yang mempercayainya.
Temon (hal 11) menampilkan anak lambat belajar yang justru menumbuhkan kearifan dari kerja dan keikhlasan. Cerita ini membalik ukuran kecerdasan: bukan nilai rapor yang penting, melainkan daya bertahan dan empati.
Sedangkan Ais dan Mbok Na (hal 11) menggetarkan lewat relasi kasih antara cucu dan nenek, dari rengekan masa kecil hingga keberhasilan di panggung wisuda—sebuah elegi lembut tentang sabar dan doa yang tak putus.
Hampir seluruh kisahnya bergerak di medan yang sama: perjuangan manusia kecil mempertahankan martabat. Dalam tangan Nurkhan, detail-detail sehari-hari—embun di ujung padi, suara jangkrik, aroma tanah basah—menjadi medium spiritual yang menenangkan.
Sastra sebagai Amal
Bahasa Nurkhan tidak berpretensi. Ia menulis seperti berbicara di serambi madrasah—tenang, jernih, dan penuh rasa hormat pada kehidupan.
Dialog-dialognya pendek, sering mengandung ironi lembut atau nasihat yang muncul begitu saja dari mulut tokoh desa. Gaya realisme moral ini membuat pembaca merasakan kehadiran spiritual tanpa harus menemuinya dalam khotbah.
Latar pendidikan terasa kuat. Banyak cerpen menempatkan guru, siswa, atau suasana sekolah sebagai ruang moral.
Namun yang diangkat bukan romantika mengajar, melainkan pergulatan manusia di baliknya: guru yang menahan malu karena gajinya telat, murid yang belajar dari kegagalan, kepala sekolah yang diam-diam menulis puisi.
Di sinilah kelebihan Nurkhan: menjadikan dunia madrasah sebagai lensa universal kemanusiaan.
Dalam pengantarnya, penulis menyebut menulis sebagai cara “menata hati dan pikiran, serta merawat jiwa agar tetap peka terhadap kehidupan.”
Pernyataan itu bukan slogan. Di tiap cerita terasa ketulusan yang sama: tidak ada tokoh jahat mutlak, tidak ada kebaikan yang menggurui. Semua orang dihadirkan apa adanya, seolah Nurkhan ingin berkata bahwa manusia bukan untuk diadili, tapi dipahami.
Sastra, dalam pandangan Nurkhan, adalah dakwah yang halus. Ia menyalurkan pesan kejujuran, kerja keras, dan kasih sayang tanpa kehilangan daya puitik. Membaca buku ini seperti menunaikan zikir: pelan, hangat, dan menenangkan.
Endorsement yang Menggebrak di Awal
Berbeda dari banyak buku kumpulan cerpen lain, Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti menampilkan keunikan struktur penyajiannya: ia dibuka oleh serangkaian endorsement dan kata pengantar dari sejumlah tokoh pendidikan dan kebudayaan sebelum pembaca memasuki karya-karya fiksinya. Pilihan ini bukan sekadar strategi penerbitan, melainkan pernyataan kultural yang penting.
Keunikan semacam ini memperlihatkan bahwa Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti bukan hanya karya individual, tetapi produk ekosistem literasi yang hidup—sebuah kolaborasi moral antara penulis, akademisi, dan pegiat budaya.
Dengan menjadikan suara para tokoh itu sebagai pembuka, Nurkhan tidak sedang mencari legitimasi, melainkan membingkai bukunya sebagai bagian dari gerakan literasi dakwah yang kolektif.
Endorsement yang membuka halaman-halaman awal itu menjadi semacam prolog sosial: ia mengajak pembaca memasuki dunia sastra bukan dengan jarak, tapi dengan rasa kebersamaan.
Dari situ pembaca segera tahu bahwa yang akan mereka baca bukan sekadar cerita, melainkan rangkaian refleksi kehidupan yang lahir dari ruang kelas, serambi madrasah, dan denyut masyarakat yang sesungguhnya.
Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti, Kumpulan Cerpen
Buku Bekas sebagai Metafora
Pemilihan judul Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti oleh Nurkhan bukan sekadar keputusan editorial, melainkan pilihan simbolik yang menyatukan seluruh roh karya dalam kumpulan cerpen ini.
Di antara 45 cerita yang ditulisnya, kisah tentang Abdul Mu’ti menjadi inti moral dan spiritual yang menjiwai semuanya: kisah tentang ilmu, ketekunan, dan kesederhanaan yang menumbuhkan makna.
Nurkhan menulis kisah Abdul Mu’ti bukan semata sebagai potret biografis seorang tokoh yang kini menjabat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, melainkan sebagai metafora perjuangan literasi dan kemanusiaan.
Dalam cerpen itu, Abdul Mu’ti kecil digambarkan tumbuh bersama buku-buku bekas kakaknya—buku yang sudah lusuh, penuh coretan, tetapi menyimpan cahaya pengetahuan yang tak padam. Dari lembar-lembar itulah ia belajar, menapaki jalan pendidikan, dan akhirnya mengabdikan diri untuk bangsa.
Dengan menjadikan kisah ini sebagai judul utama, Nurkhan seolah ingin menyampaikan pesan bahwa inti dari setiap cerita dalam bukunya adalah keyakinan pada kekuatan ilmu. Di tangan orang yang bersungguh-sungguh, buku yang paling sederhana pun bisa menjadi sumber perubahan.
Hampir di semua cerpen lain dalam kumpulan ini, nilai itu bergema dalam bentuk lain: tentang guru yang mengabdi meski hidup serba terbatas, tentang anak kecil yang menolak menyerah, atau tentang warga desa yang mempertahankan kejujuran di tengah godaan dunia. Semua kisah itu berakar pada semangat yang sama—bahwa pendidikan dan ketulusan dapat menyalakan kehidupan.
Pemilihan judul Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti juga menunjukkan sikap rendah hati Nurkhan sebagai penulis. Ia tidak memilih kata-kata bombastis, tetapi justru memuliakan hal-hal yang tampak kecil: buku bekas, kakak yang memberi, anak yang membaca.
Kata “bekas” yang biasanya berkonotasi sisa atau tak berguna, di tangan Nurkhan justru bertransformasi menjadi lambang keberlanjutan ilmu dan keabadian nilai. Ia memperlihatkan bahwa pengetahuan bukan milik masa kini saja, tetapi warisan yang terus hidup dalam tangan siapa pun yang mau belajar.
Judul ini juga menjadi pernyataan identitas: bahwa sastra bagi Nurkhan bukan sekadar hiburan atau ekspresi estetik, melainkan bagian dari dakwah kebudayaan. Dalam banyak kesempatan, ia menulis bahwa menulis dan membaca adalah bentuk zikir yang lain—cara untuk menjaga jiwa agar tetap peka terhadap kebenaran dan kemanusiaan.
Melalui cerita tentang Abdul Mu’ti, ia menegaskan kembali pandangan itu: ilmu yang sejati bukan sekadar hasil belajar, tetapi buah dari kesabaran, doa, dan niat tulus untuk memberi manfaat.
Dengan demikian, judul Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti bukan hanya menandai satu cerita, melainkan menjadi semacam manifes seluruh buku. Ia meneguhkan keyakinan bahwa kata-kata, seperti buku-buku bekas itu, tidak pernah benar-benar usang. Mereka terus berpindah tangan, terus menghidupkan semangat belajar, dan terus menyalakan cahaya di tempat-tempat yang sederhana.
Dari halaman yang tampak lusuh itu, Nurkhan telah membangun cermin kemanusiaan—tempat pembaca dapat melihat bahwa dalam kesederhanaan pun tersimpan keabadian makna.
Catatan Kritis: Antara Ketulusan dan Kehati-hatian Narasi
Meski menghadirkan banyak pencerahan, Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti tidak luput dari beberapa kelemahan kecil yang justru memperlihatkan watak kejujuran penulisnya.
Sebagai karya yang lahir dari ruang kelas dan halaman madrasah, sebagian cerpen kadang masih terjebak pada alur yang terlalu datar atau penyelesaian yang terlalu aman. Konflik batin tokoh sering diselesaikan dengan nasihat atau kesadaran moral yang muncul mendadak, sehingga meninggalkan sedikit ruang bagi pembaca untuk menafsir sendiri.
Di sisi lain, kekuatan religiositas yang menjadi napas utama buku ini kadang membuat realisme sosialnya tampak menepi. Dalam beberapa cerita, pesan moral yang lembut bisa terasa terlalu eksplisit bila dibandingkan dengan kedalaman simbolik yang sudah dibangun di awal. Padahal, dengan sedikit keberanian memotong moral di akhir, efek emosionalnya bisa jauh lebih kuat.
Dari sisi teknis, sebagian dialog atau penggambaran latar masih terasa kurang beragam dalam diksi, terutama pada tokoh-tokoh dengan latar pendidikan dan sosial berbeda. Namun hal ini bisa dimaklumi karena Nurkhan lebih menekankan kedalaman rasa ketimbang kecanggihan bentuk.
Meski demikian, kelemahan-kelemahan kecil itu tidak menutupi keutuhan makna buku ini. Justru di situlah letak pesonanya: Buku-Buku Bekas Abdul Mu’ti adalah karya yang jujur, ditulis bukan untuk mengejar estetika modern, tetapi untuk menegakkan etika kemanusiaan dan kesantunan jiwa.