Utama

Dakwah dan Bisnis ala Muhammadiyah: Rahasia Sukses sejak 1922

417
×

Dakwah dan Bisnis ala Muhammadiyah: Rahasia Sukses sejak 1922

Sebarkan artikel ini
Dakwah dan Bisnis ala Muhamadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (Tagar.co/Istimewa)

Jauh sebelum hiruk pikuk socio-enterprise menggema di era modern, Muhammadiyah telah menancapkan tonggak sejarah sebagai organisasi visioner yang memadukan dakwah dengan entrepreneurship secara canggih.

Tagar.co – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyingkap tabir sejarah yang memperlihatkan betapa lekatnya gerakan dakwah Muhammadiyah dengan denyut nadi perekonomian di berbagai penjuru Nusantara.

Dalam acara Talkshow dan Launching Buku ‘Bangkitnya Kewirausahaan Sosial: Kisah Muhammadiyah’ yang digelar oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bekerja sama dengan Muhammadiyah di Museum Muhammadiyah, Kompleks Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Senin (13/01), Haedar Nashir memaparkan betapa kuatnya akar socio-enterprise tertanam dalam tubuh Muhammadiyah.

Baca juga: Kadin Indonesia dan Sumu Luncurkan Buku, Angkat Kisah Sukses Social Enterprise Muhammadiyah

Pertumbuhan Muhammadiyah pada era KH Ahmad Dahlan tahun 1922, dengan berkembangnya ranting dan cabang di seluruh tanah air, itu rata-rata berkorelasi dengan kawasan-kawasan entrepreneur. Di Kotagede, Klaten, Solo, Surabaya, Banyuwangi, Semarang, Pekalongan, Garut, Tasikmalaya, Bandung, Jakarta, Padang Panjang, Makassar, sampai kawasan-kawasan lain itu rata-rata kawasan wirausaha,” ungkap Haedar, memulai penjelasannya.

Haedar kemudian melukiskan betapa pesatnya perkembangan Muhammadiyah di masa-masa awal, sebuah fenomena yang tak lepas dari perpaduan antara spirit dakwah dan semangat wirausaha.

Baca Juga:  Kapolda Puji Peran Muhammadiyah dalam Menjaga Keamanan dan Ketertiban di Yogyakarta

“Maka bisa kita tahu bahwa perkembangan awal Muhammadiyah itu cepat sekali. Sampai ke Aceh era tahun 1922, sudah berkembang. Tahun 1926, Muhammadiyah tiba di Merauke. Bisa bayangkan ketika itu perjalanan susah sekali. Juga dibawa oleh seorang ulama yang juga seorang wirausahawan. Jadi korelasinya di situ,” ujarnya, menegaskan hubungan simbiosis antara dakwah dan ekonomi dalam tubuh Muhammadiyah.

Kemandirian: Pilar Utama Amal Usaha

Lebih lanjut, Haedar menyoroti etos kemandirian yang menjadi pilar utama dalam menggerakkan roda amal usaha Muhammadiyah, mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, hingga ekonomi. “Maka kalau lihat amal usaha kita itu semuanya mandiri. Di hampir semua kawasan, rata-rata kita memiliki 167 perguruan tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah, 126 rumah sakit, 363 klinik di seluruh Indonesia, lembaga-lembaga sosial itu juga dibangun atas kemandirian,” tuturnya, membeberkan bukti nyata kemandirian Muhammadiyah.

Kendati demikian, Muhammadiyah tetap membuka diri untuk berkolaborasi. “Bahwa ada kerja sama dengan pemerintah untuk beberapa tempat dan lokasi, itu bagian dari semangat pemerintah memandang Muhammadiyah sebagai mitra strategis untuk bangsa,” jelas Haedar, dikutip dari siaran pers yang diterima Tagar.co, Senin (13/1/25) siang.

Baca Juga:  Pidato Lengkap Haedar Nashir di Pembukaan Tanwir Muhammadiyah

Ujrah dan Ajra: Dua Kekuatan Pendorong

Haedar juga mengungkap dua kekuatan yang menjadi motor penggerak etos kerja di Muhammadiyah. “Ada dua nilai dalam etos kami. Pertama, ujrah, yaitu bagi lembaga-lembaga seperti sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, bagi mereka yang profesional, ya mendapatkan kompensasi sebagaimana mestinya. Ini semacam pahala dunia. Kedua, ajra atau pahala. Itulah yang membesarkan kami,” ungkapnya, menjelaskan filosofi di balik dedikasi dan loyalitas warga Muhammadiyah.

Sejak menakhodai Muhammadiyah pada tahun 2015, Haedar Nashir bersama jajaran pimpinan berkomitmen untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang modern, maju, dan profesional, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Dengan sumber daya manusia yang mumpuni, amal usaha yang kokoh, dan infrastruktur organisasi yang luas, langkah-langkah strategis pun diambil. Pendirian Muhammadiyah Australia College di Melbourne yang sepenuhnya mandiri, pembelian lahan seluas 15 hektare di Australia, pendirian kampus di Malaysia, hingga penjajakan di sektor pertambangan menjadi bukti nyata visi tersebut.

“Dari situ terjadi konsolidasi, sehingga visi Muhammadiyah sebagai organisasi modern dan profesional dapat diterjemahkan ke dalam berbagai institusi usaha,” ungkap Haedar, menjelaskan bagaimana visi tersebut diterjemahkan ke dalam aksi nyata.

Baca Juga:  Kisah si Santri Mbeling: Antara Malang dan Majenang

Keseimbangan Dunia dan Akhirat: Jiwa Wirausaha Muhammadiyah

Dalam konteks kewirausahaan, Haedar mengingatkan pentingnya keseimbangan antara pencapaian duniawi dan bekal akhirat. “Agama mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan di dunia, tetapi tidak melupakan kehidupan di akhirat. Berbuat baiklah di dunia sebagaimana Tuhan berbuat baik padamu, dan jangan sekali-kali merusak,” ujarnya. Prinsip Islam inilah, lanjutnya, yang menjadi kompas Muhammadiyah dalam mengelola berbagai bidang usaha, dengan fokus pada kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Haedar menutup dengan menekankan pentingnya peran generasi muda dalam memperkuat kewirausahaan Muhammadiyah. Ia mengajak seluruh pihak untuk mendidik dan membekali anak-anak muda agar memiliki jiwa wirausaha yang tangguh, inovatif, dan berorientasi pada nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan, melainkan sebuah gerakan socio-enterprise yang telah teruji oleh waktu. Sejak awal berdiri, etos ekonomi yang canggih telah tertanam kuat, menjadikan Muhammadiyah sebagai pelopor dan inspirasi bagi gerakan kewirausahaan sosial yang berkelanjutan dan berlandaskan nilai-nilai luhur. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni