FeatureUtama

Arab Saudi dan Amerika Serikat, Negara Paling Penting di Mata Muslim Indonesia

198
×

Arab Saudi dan Amerika Serikat, Negara Paling Penting di Mata Muslim Indonesia

Sebarkan artikel ini
Para panelis

Survei nasional mengungkap bagaimana Muslim Indonesia memandang Pancasila, pendidikan, dan isu global. Diskusi publik ini menyoroti tantangan serta peluang dalam membangun identitas kebangsaan di tengah arus globalisasi.

Tagar.co – Maarif Institute, bekerja sama dengan Laboratorium Survei Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), menggelar diskusi publik mengenai hasil survei nasional bertajuk Variasi Pandangan dan Praktik Muslim Indonesia: Pendidikan, Pancasila, dan Kewarganegaraan Global.

Acara ini berlangsung Kamis (13/3/2) di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, akademisi, serta masyarakat umum.

Survei yang dilaksanakan pada 10–23 Desember 2024 ini bertujuan untuk menggali pemahaman, interpretasi, dan praktik ajaran agama dalam konteks kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Selain itu, survei ini juga berupaya memahami bagaimana nilai-nilai nasionalisme dan internasionalisme terbentuk di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Terdapat enam topik survei yang berkaitan dengan tajuk di atas, yaitu:

  • Isu pendidikan yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah,
  • Kesesuaian Pancasila dengan nilai agama yang dianut,
  • Kebanggaan menjadi warga negara Indonesia,
  • Perlindungan Indonesia dari budaya Barat dan Arab,
  • Negara paling penting di dunia saat ini, dan
  • Pandangan terhadap kepentingan negara jika menghadapi masalah internasional.

Dalam sesi pembukaan, Andar Nubowo, Direktur Eksekutif Maarif Institute, menyinggung fenomena keberagaman di masyarakat yang berkaitan erat dengan pendidikan sebagai isu fundamental.

“Pendidikan menjadi faktor kunci dalam membentuk perspektif masyarakat. Survei ini menunjukkan bahwa umat Islam kini melihat Pancasila secara lebih positif dibandingkan masa lalu,” ujarnya, dikutip dari siaran pers Maarif Institute yang diterima Tagar.co Jumat (14/3/25) sore.

Ia juga menyoroti bagaimana isu global seperti konflik Palestina-Israel, westernisasi, dan Arabisme turut berpengaruh terhadap budaya Indonesia, sebagaimana tergambar dalam hasil survei nasional.

Usai sambutan, Yahya Fathur Rozy, salah satu peneliti di Maarif Institute bertugas untuk memaparkan hasil riset di depan audiens.

Kualitas Pengajaran Menjadi Prioritas Utama di Bidang Pendidikan

Salah satu temuan utama dari survei ini, berdasarkan data yang dipaparkan Yahya, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menempatkan kualitas pengajaran di kelas sebagai isu pendidikan yang paling mendesak untuk diprioritaskan oleh pemerintah.

Sebanyak 24,5 persen responden menganggap peningkatan kualitas pengajaran sebagai kebutuhan utama di sektor pendidikan. Isu lain yang juga mendapat perhatian signifikan adalah nilai-nilai demokrasi dan kewarganegaraan (20,6 persen), kesejahteraan guru (15,6 persen), serta kekerasan di lingkungan sekolah (15,2 persen).

Baca Juga:  Menko PMK: Saatnya Indonesia Unjuk Gigi lewat Publikasi dan AI Berbasis Nilai Bangsa

Terdapat perbedaan prioritas berdasarkan latar belakang demografi dan wilayah. Responden dari pesantren modern, misalnya, memiliki perhatian tertinggi terhadap kualitas pengajaran (42,7 persen), sedangkan mereka dari pesantren gabungan lebih memprioritaskan kesejahteraan guru (24,4 persen).

Di sisi lain, responden di daerah pedesaan cenderung menitikberatkan akses pendidikan menengah (11,1 persen) dibandingkan dengan responden di perkotaan yang lebih fokus pada akses pendidikan tinggi (7,9 persen).

Dukungan Kuat terhadap Pancasila

Survei ini juga menunjukkan bahwa 86,3 persen responden menyatakan setuju bahwa Pancasila sesuai dengan agama dan/atau keyakinan yang mereka anut.

“Persetujuan tertinggi berasal dari kelompok dengan latar belakang pendidikan tinggi, yang menunjukkan pemahaman yang lebih rasional dan inklusif terhadap Pancasila sebagai ideologi negara,” imbuh Yahya.

Berdasarkan afiliasi keagamaan, tambah Yahya, mayoritas warga NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah menunjukkan dukungan kuat terhadap Pancasila, masing-masing sebesar 96,9 persen dan 94,5 persen.

Di sisi lain, kelompok non-afiliasi menunjukkan persetujuan yang lebih rendah, menunjukkan perlunya edukasi lebih lanjut untuk memperkuat pemahaman tentang hubungan antara Pancasila dan nilai-nilai agama.

Kebanggaan Menjadi Warga Negara Indonesia

Sebanyak lebih dari 95 persen responden menyatakan bangga menjadi warga negara Indonesia. Generasi X dan generasi milenial mencatatkan persentase kebanggaan tertinggi (97,9 persen dan 98,3 persen), sementara kelompok baby boomers menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah (92,5 persen).

Analisis berdasarkan wilayah menunjukkan bahwa tingkat kebanggaan tertinggi ditemukan di wilayah Bali dan Nusa Tenggara (100 persen),

sementara Banten mencatatkan tingkat kebanggaan terendah dengan persentase “tidak bangga” mencapai 10,9 persen. “Faktor akses pembangunan yang berbeda-beda di berbagai wilayah menjadi salah satu alasan utama perbedaan ini,” ujar Yahya.

Kekhawatiran terhadap Pengaruh Budaya Asing

Mayoritas responden (80 persen) yang disurvei mendukung perlindungan budaya Indonesia dari pengaruh budaya Barat, sedangkan dukungan terhadap perlindungan dari budaya Arab berada di angka 61,3 persen.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh pemapar survei, perbedaan ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih besar terhadap budaya Barat yang dianggap membawa dampak pada individualisme dan perubahan norma sosial di masyarakat Indonesia.

Baca Juga:  Maarif Institute Kritik Rencana Evakuasi Warga Gaza: Bisa Kukuhkan Dominasi Imperialis atas Palestina

Arab Saudi dan Amerika Serikat Paling Penting

Laporan survei terkait pandangan terhadap negara paling penting di dunia saat ini, Arab Saudi menempati posisi tertinggi (39,6 persen di kalangan perempuan dan 33 persen di kalangan laki-laki), diikuti oleh Amerika Serikat (14 persen).

Menurut Yahya, kecenderungan ini dipengaruhi oleh adanya ikatan spiritual mayoritas Muslim di Indonesia terhadap Arab Saudi sebagai pusat dunia Islam. Sementara itu, imbuhnya, responden dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi menunjukkan preferensi yang lebih seimbang antara kedua negara.

Prioritas Kepentingan Nasional di Tengah Isu Global

Sebanyak 47 persen responden berpendapat bahwa kepentingan nasional harus diutamakan meskipun negara lain tidak setuju, menunjukkan orientasi nasionalisme yang kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Kelompok laki-laki (49,7 persen) lebih cenderung memprioritaskan kepentingan nasional dibandingkan perempuan (44,3 persen), yang lebih mendukung pertimbangan terhadap kepentingan negara lain.

Suasana diskusi

Komentar dari para Pakar

Di akhir sesi paparan, Yahya menyimpulkan bahwa hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai nasionalisme, kualitas pendidikan, dan perlindungan budaya lokal.

Kualitas pengajaran di sekolah menjadi isu prioritas utama, didukung oleh mayoritas warga dari berbagai latar belakang. Selain itu, dukungan terhadap Pancasila sebagai nilai yang sesuai dengan agama menunjukkan bahwa ideologi negara masih menjadi fondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Temuan ini memberikan implikasi penting bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan program yang tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan tetapi juga memperkuat pemahaman tentang nilai-nilai demokrasi dan Pancasila. Dengan mempertimbangkan variasi pandangan berdasarkan demografi dan wilayah, pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk menjaga harmoni sosial dan memperkuat identitas kebangsaan di tengah tantangan globalisasi” tukas Yahya.

“Penelitian ini sangat terbuka untuk menerima masukan dan saran dari berbagai pihak, demi pengembangan ilmu pengetahuan yang terus relevan dengan dinamika yang berkembang di Indonesia. Kami berharap riset ini dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat serta menjadi dasar untuk kebijakan yang lebih baik di masa depan” ujar Yahya mengakhiri paparannya.

Baca Juga:  Menko PMK: Saatnya Indonesia Unjuk Gigi lewat Publikasi dan AI Berbasis Nilai Bangsa

Faried F. Saenong, Koordinator Staf Khusus Kementerian Agama RI, dalam paparannya pada sesi tanggapan, menegaskan bahwa meskipun Pancasila dan agama tidak lagi menjadi isu ideologis yang diperdebatkan secara luas, refleksi terhadap Pancasila sebagai ideologi tetap perlu dilakukan.

“Kadang kita berpikir bahwa perdebatan ideologis telah selesai, tetapi di lapisan tertentu masih ada tantangan terkait kelompok yang ingin menghidupkan kembali wacana negara Islam di Indonesia,” ungkapnya. Ia juga menyoroti pentingnya apresiasi terhadap nilai-nilai keindonesiaan dalam menghadapi dinamika budaya global.

“Ekspresi budaya lokal harus tetap ada jika kita ingin mengadopsi budaya asing yang datang ke Indonesia,” tambahnya.

Tatang Muttaqien, Ph.D., Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen, menekankan pentingnya pendidikan vokasi dalam memperkuat wawasan kebangsaan.

“Pendidikan vokasi yang berbasis praktik kolaboratif akan membuat peserta didik memiliki wawasan kebangsaan yang lebih kokoh. Dengan begitu, mereka bisa memahami fenomena global sambil tetap mempertahankan identitas nasional,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya visualisasi kondisi nyata dalam pembelajaran.“Ketika teori digabungkan dengan praktik di lapangan, pemahaman tentang ideologi dan pendidikan vokasi akan lebih kuat,” tegasnya.

Sementara itu, Prof. Nina Nurmila, Ph.D., Dekan Fakultas Pendidikan UIII, menyoroti hasil survei dari perspektif interseksionalitas, yang menganalisis hubungan antara gender, ras, etnis, agama, dan orientasi sosial dalam pendidikan.

“Semakin tinggi tingkat pendidikan dan penghasilan seseorang, semakin besar pula penolakannya terhadap proteksi budaya Indonesia dari pengaruh budaya asing. Mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk mengeksplorasi budaya global dan menyadari bahwa budaya Indonesia juga memiliki aspek yang perlu dikritisi,” paparnya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan inklusif agar masyarakat tidak terjebak dalam eksklusivitas berlebihan dalam beragama.

Maarif Institute berharap bahwa hasil survei ini dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak dalam upaya memperkuat pendidikan, Pancasila, dan kewarganegaraan. “Dengan pemahaman yang lebih baik tentang pandangan dan praktik keagamaan, diharapkan masyarakat dapat lebih harmonis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah tantangan global yang semakin kompleks,” tutup Yahya Fathur Rozy. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni