Sejarah

Ahlus Sunnah Waljamaah Lahir dari Konflik Kekuasaan

125
×

Ahlus Sunnah Waljamaah Lahir dari Konflik Kekuasaan

Sebarkan artikel ini
Ahlus sunnah waljamaah, di Indonesia populer disingkat Aswaja. Sebutan singkatnya Sunni.
Al-Quran, hadis, dan kitab para imam.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad, umat terpecah dalam kelompok-kelompok kepentingan yang mendukung tokoh panutannya. Ketika satu kelompok menang, mereka menindas kelompok lawannya.

Tagar.co – Ahlus sunnah waljamaah, di Indonesia populer disingkat Aswaja. Sebutan singkatnya Sunni.

Munculnya istilah itu melalui rangkaian konflik politik yang panjang hingga menceraiberaikan umat.

Berawal dari terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Lantas memicu pertikaian politik sampai muncul pengelompokan pendukung. Dalam perjalanannya yang panjang kelompok-kelompok ini mengkristal membangun ideologi sendiri menjadi Khawarij, Syiah, dan Muktazilah.

Di zaman Khalifah Ali bin Abu Thalib pertikaian kelompok ini makin meruncing hingga terjadi pembelotan Muawiyah  yang ingin berkuasa di wilayah Syam dengan mendirikan Dinasti Umayah.

Dalam pertikaian itu ada kelompok yang berlepas diri terhadap Utsman, Ali, dan Muawiyah. Mereka orang-orang Khawarij. Artinya keluar dari kelompok tiga tokoh itu.

Namun Khawarij akhirnya menjadi kelompok sendiri yang ekstrem. Menganggap tiga orang itu kafir yang halal darahnya. Kelompok ini merencanakan pembunuhan terhadap tiga tokoh itu. Tapi yang terbunuh hanya Ali.

Kelompok Syiah adalah pembela Ali yang fanatik. Menurut mereka, Ali adalah pewaris kekuasaan Rasulullah. Kelompok ini bermusuhan dengan Muawiyah dan pendukungnya.

Muktazilah, kelompok ini mulai muncul di zaman Khalifah Utsman. Ketika terjadi pertikaian politik antara Ali dan Muawiyah, mereka netral dan bersikap non koperatif, kritis, dan menyerang pemerintah.

Muktazilah punya doktrin orang Islam yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin maupun kafir. Statusnya manzilah bainal manzilataini. Berada di satu tempat di antara dua tempat.

Kelompok ini menyebarkan paham kebebasan berpikir yang terpengaruh filsafat Yunani setelah masuk dalam khazanah Islam. Ra’yu, rasionalitas menjadi dasar pemahaman agama dan fikih. Mereka suka berdebat.

Baca Juga:  Harlah NU, Muhammadiyah Sampaikan Ucapan Selamat

Pada zaman Tabiin, tokoh Muktazilah, Washil bin Atho’, merasa menang dari gurunya, Hasan Al-Basri,  dalam debat status muslim berbuat dosa besar. Washil pisah dari gurunya mendirikan jamaah sendiri bernama ahlul adli wat-tauhid.

Hadis Palsu

Buku  Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Waljamaah tulisan Umar Hasyim menjelaskan, perselisihan politik, akidah, dan fikih membelah umat Islam dalam dua aliran besar yaitu Hijaz dan Irak.

Aliran Hijaz disebut ahlul hadis. Berkembang di Mekkah dan Madinah tempat berkumpul sahabat Nabi Muhammad Saw.

Aliran ini menetapkan hukum berdasar hadis yang diterima dari Nabi Muhammad Saw. Menolak ra’yu atau pendapat dari qiyas terhadap perkara yang tidak didapati dalam hadis.

Aliran Irak disebut ahlur ra’yi. Membuat fatwa hukum dengan hadis. Jika tidak mendapati hadis yang mereka terima maka menggunakan qiyas dalam berijtihad.

Konflik politik antara Ali dan Muawiyah makin mempertajam perselisihan dua aliran ini. Ali didukung kelompok ahlul hadis. Muawiyah disokong ahlur ra’yi. Ketika Muawiyah menang dan berkuasa di Damaskus, dia menindas pendukung Ali.

Perselisihan ini memengaruhi penafsiran ayat-ayat Quran dan hadis sebagai sumber pokok penetapan fikih. Di masa ini mulai muncul hadis-hadis palsu dibuat kaum zindiq untuk memperkuat argumennya.

Al-Quran Makhluk 

Filsafat Yunani memengaruhi perkembangan intelektual ulama Islam hingga muncul ilmu kalam. Ilmu yang mengupas kalam Allah, zat, dan sifat-sifatnya.

Perdebatan ilmu kalam yang penuh intrik adalah khalqiyatul Quran atau pandangan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Pandangan ini dianut golongan Muktazilah.

Pandangan ini dianut Khalifah Al Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq dari Dinasti Abbasiyah. Terjadilah politisasi agama. Orang yang tak sealiran dengan pandangan ini dicap sebagai musuh negara.

Baca Juga:  Imam Hambali dan Tukang Roti

Menurut pandangan ini, Allah itu bersifat absolut yang berbeda dengan sesuatu apa pun. Allah memiliki sifat kalam tetapi bicara, suara, dan bahasa Allah beda dengan manusia atau sesuatu apa pun.

Al-Quran adalah kalam Allah yang telah diungkapkan dan dibahasakan menurut lisan Arab bukan bahasa Allah. Karena itu al-Quran itu makhluk bukan kalam Allah itu sendiri.

Konsekuensi dengan pandangan ini maka al-Quran itu bersifat relatif yang dipengaruhi oleh pemahaman Nabi Muhammad saat menerima kalam Allah kemudian menerjemahkan dalam bahasa Arab sesuai tradisi dan pengetahuan di mana Nabi hidup. Dengan demikian menurut kelompok ini al-Quran tidak qadim, tidak abadi, seperti Allah. Namun bisa berubah atau musnah seperti sifat makhluk.

Sementara paham ahlul hadis meyakini al-Quran itu kalam Allah sendiri yang diturunkan dalam bahasa yang dipahami manusia. Seperti dikisahkan dalam al-Quran, Allah berbicara kepada Nabi Musa (an-Nisa: 164, al-A’raf: 143) atau bicara kepada Nabi Ibrahim (ash-Shafat: 104-105)

Menurut pandangan ini, al-Quran itu bersifat qadim, abadi, karena kalam Allah mengikuti sifat Allah yang mutlak. Tidak berubah, selalu terjaga oleh Allah, mengandung sepenuhnya maksud Allah, dan berlaku sepanjang zaman.

Korban Politik

Sekitar tahun 833 M perdebatan itu mencapai puncaknya ketika pemerintah masa Khalifah al-Mu’tashim campur tangan dalam perdebatan ini. Ini berkat kedekatan ulama Muktazilah ke istana dan menjadi pembisik khalifah. Pemerintah memaksakan satu tafsir pandangan kepada semua rakyat dan ulama bahwa al-Quran itu makhluk.

Baca Juga:  Harlah NU, Muhammadiyah Sampaikan Ucapan Selamat

Rakyat yang berbeda pandangan dituduh menghina, berpaham sesat, dan memberontak kepada penguasa terkena hukuman penjara dan siksaan sampai mati. Maka para ulama dikumpulkan mengikuti seleksi ideologi. Dipaksa mengakui bahwa al-Quran adalah makhluk. Ulama yang mencari selamat langsung saja menurut, berubah haluan.

Ulama yang menjadi korban di masa ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Dia menentang paham khalqiyat Alquran. Akibatnya dihukum cambuk dan dipenjara.

Abu Hasan Al Asy’ari

Ulama yang membendung aliran Muktazilah adalah Abu Hasan Al Asy’ari. Awalnya dia penganut Muktazilah. Kemudian keluar setelah berbeda pendapat dengan gurunya, Ali al-Jubba’i, saat membahas masalah takdir.

Muktazilah penganut qadariyah. Yaitu manusia yang menentukan nasib dirinya sendiri. Paham ini berbeda dengan aliran ahlul sunnah yang berpandangan Allah yang menentukan semua kehidupan makhluknya. Paham ini disebut jabariyah.

Abu Hasan Al Asy’ari pada akhirnya memahami bahwa  akal manusia, ra’yu, rasionalitas itu ada batasannya. Kebebasan berpikir kalau diteruskan tak selamanya menemukan kebenaran. Bisa menjadi sesat karena pendapatnya tentang kekuasaan Allah dan sifat-sifatnya.

Al Asy’ari kemudian menyerukan untuk kembali berpegang kepada ahlus sunnah yaitu berpedoman kepada pendapat Nabi Muhammad dalam hadis-hadisnya serta mengikuti pendapat para ulama yang diikuti mayoritas jamaah umat muslim.

Seruan itu kemudian populer dengan sebutan ahlus sunnah waljamaah. Waljamaah maksudnya mengikuti pendapat empat imam besar yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

Jadi siapapun yang berpegangan kepada Quran dan hadis dan berpegang kepada pendapat imam yang empat itu maka dia termasuk ahlus sunnah waljamaah. (#)

Penyunting Sugeng Purwanto