Puisi Bertema Kemerdekaan

Puisi bertema kemerdekaan (Foto Getty ImagesiStockphotoYamtono_Sardi)

Puisi Bertema Kemerdekaan
Puisi bertema kemerdekaan (Foto Getty ImagesiStockphotoYamtono_Sardi)

Puisi bertema kemerdekaan dan perjuangan yang cocok dibacakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2024 mendatang. Hadirnya puisi ini bisa menambah jiwa nasionalisme kita.

Tagar.co – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2024 sangat cocok apabila dirayakan dengan membaca puisi bertema kemerdekaan.

Berikut puisi karya sastrawan terkenal Indonesia untuk menyemarakkan HUT RI dengan tema Nusantara Baru Indonesia Maju.

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini karya Taufiq Ismail

Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus
Berjalan terus.

Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufiq Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Aku Tulis Pamplet Ini oleh WS Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah

Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi

Ketidakpastian merajalela.

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam

Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!

Gerilya karya WS Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya Spermata

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Gugur karya WS Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
tiada kuasa lagi menegak
telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua
luka-luka dibadannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya

Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
ketika anaknya memegang tangannya

Ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah,
dan akupun berasal dari tanah
tanah ambarawa yang kucinta
kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan.
bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
bumi kita adalah kehormatan
bumi kita adalah jua dari jiwa
ia adalah bumi nenek moyang
ia adalah bumi waris yang sekarang
ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malam
bumi berpeluh dan terbakar
kerna api menyala di kota ambarawa

Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur

Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah disini!”
Hari pun lengkap malam|
ketika menutup matanya

Menatap Merah Putih karya Sapardi Djoko Damono

Menatap merah putih melambai dan menari-nari di angkasa
Kibarannya telah banyak menelan korban nyawa dan harta benda
Berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa
Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
dan tetesan air mata
dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan
untuk mengibarkan merah putih
harus diawali dengan pertumpahan darah
pejuang yang tak pernah merasa lelah
untuk berteriak: Merdeka!

Menatap merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka
membinasakan penidas dari negeri tercinta Indonesia
Menatap merah putih adalah bergolaknya darah
demi membela kebenaran dan azasi manusia
menumpas segala penjajahan
di atas bumi pertiwi
Menatap merah putih adalah kebebasan
yang musti dijaga dan dibela
kibarannya di angkasa raya
Berkibarlah terus merah putihku
dalam kemenangan dan kedamaian

Hari Kemerdekaan karya Sapardi Djoko Damono

Akhirnya tak terlawan olehku
tumpah di mataku, dimata sahabat-sahabatku
ke hati kita semua
bendera-bendera dan bendera-bendera
bendera kebangsaanku
aku menyerah kepada kebanggan lembut
tergenggam satu hal dan kukenal

Tanah dimana kuberpijak berderak
awan bertebaran saling memburu
angin meniupkan kehangatan bertanah air
semat getir yang menikam berkali
makin samar
mencapai puncak kepecahnya bunga api
pecahnya kehidupan kegirangan

Menjelang subuh aku sendiri
jauh dari tumpahan keriangan dilembah
memandangi tepian laut
tetapi aku menggengam yang lebih berharga
dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku
makin bercahaya makin bercahaya
dan fajar mulai kemerahan

Atas Kemerdekaan oleh Sapardi Djoko Damono

Kita berkata: jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya: langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala

Terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum hari yang ketujuh tiba

Sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu:
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah.

Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *