
Dalam tausiah Halalbihalal PWM Jatim, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan lima sebutan manusia dalam Al-Qur’an sebagai cermin fitrah dan karakter sejati yang harus dijaga sepanjang hayat.
Tagar.co – Ribuan warga Muhammadiyah dari seluruh penjuru Jawa Timur tumpah ruah memenuhi Auditorium Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Sabtu pagi (26/4/2025). Mereka tak ingin melewatkan kesempatan langka: mendengarkan langsung tausiah dari Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A., dalam acara Halalbihalal Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur 1446.
Mengangkat tema Spirit Idulfitri untuk Mewujudkan Silatul Fikr dan Amal, Ustaz Adi Hidayat (UAH) membuka tausiyah dengan mengulas makna mendalam dari istilah halalbihalal.
“Halalbihalal dari kata halla ya hillu halalan, asal kata ini dari segi kebahasaan yaitu mengurai sesuatu yang tadinya terlihat kusut,” tuturnya membuka pembicaraan.
Baca juga: Hadiah Istimewa dari UAH untuk Smamda Voice dan Hafiz Cilik Naocha Nachwa Marhaeny
Dengan gaya khas yang interaktif, UAH mengajukan pertanyaan sederhana namun bermakna kepada hadirin. “Mengapa selalu menggunakan huruf ba dalam menyambungkan?” tanyanya, menggugah keingintahuan jemaah yang memadati ruangan. Tapi sampai tausiah berakhir tidak ada penjelasan soal ba itu.
Tak berhenti di situ, dia kemudian menguraikan tentang lima sebutan manusia dalam Al-Qur’an: basar (disebut 55 kali), ins (18 kali), insan (65 kali), bani Adam (7 kali), dan an-nas (240 kali)—masing-masing mengandung karakter yang membentuk jati diri manusia.
“Lima nama tersebut adalah karakter kita,” ungkap UAH.
Ia menjelaskan, sebutan pertama adalah basar, makhluk dengan sifat biologis seperti makan, minum, dan berhubungan seksual. Kulit manusia yang halus membedakannya dari jin dan malaikat.
“Allah menjaga kehormatan kita dengan memberikan sesuatu yang halal. Jangan sampai kehormatan manusia runtuh dengan melakukan sesuatu yang tidak halal,” tegasnya.
Ia mencontohkan korupsi sebagai bentuk pelanggaran yang merusak kehormatan bukan hanya pelaku, melainkan juga keluarga dan masyarakat luas.
“Dahsyatnya kekuatan Ramadan bisa menekan perbuatan maksiat,” lanjutnya, menekankan peran ibadah dalam menjaga integritas.
Sebutan kedua adalah ins, yang berpasangan dengan jin. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang halus dan lembut, berbanding terbalik dengan jin yang kasar. Namun, seiring bertambah usia, manusia sering kali berubah menjadi kasar dalam perilaku dan ucapan.
Di sinilah makna halalbihalal, kata UAH, berperan untuk mengembalikan karakter manusia menjadi lembut, pemaaf, dan penuh kasih.
Sebutannya yang ketiga adalah insan, transformasi dari sifat menjadi sikap yang bernama makruf—perilaku baik yang lahir dari iman. Bila dilakukan ikhlas karena Allah, amal itu akan meningkat menjadi ihsan.
“Pahalalah yang akan dibawa pulang agar bisa bangga di hadapan Allah,” tutur UAH dengan penuh semangat. Sayangnya, sebutan manusia kelima (bani Adam) dan keenam (an-nas) belum sempat UAH karena waktunya sudah tak memungkinkan.
Ia lalu menutup tausiahnya dengan mengingatkan makna hari pertama Syawal sebagai momen kembali kepada fitrah, lurus tanpa kekusutan. “Hari pertama di bulan Syawal disebut Idulfitri, memberikan arti yang lurus, kembali tanpa kusut,” ujarnya.
“Semoga pertemuan kali ini membawa fitrah bagi kita semua,” pungkas Ustaz Adi Hidayat, menutup tausiyahnya dengan doa penuh harap. (#)
Jurnalis Nadhirotul Mawaddah Penyunting Mohammad Nurfatonia