
UAH menerangkan definisi wasatiah di Pengajian Ramadan 1446 Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pakar Linguistik ini mengupasnya dengan merujuk Tafsir Al-Baghawi.
Tagar.co – Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A. membahas uraian Al-Qur’an tentang wasatiah, Jumat (7/3/2025).
Sore itu, di Auditorium KH. Ahmad Azhar Basyir Gedung Cendekia Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) berlangsung Pengajian Ramadan 1446 PP Muhammadiyah. Temanya, Pengembangan Wawasan Islam Berkemajuan: Tinjauan Teologis, Ideologis, dan Praktis.
Dalam ceramahnya, Ustaz Adi Hidayat (UAH) membagi materi menjadi tiga batasan. Pertama, definisi wasatiah dan perbedaannya dengan moderasi.
Kedua, bagaimana ayat-ayat wasatiah tampil dalam Al-Qur’an dan penyebabnya. Ketiga, implementasi wasatiah di kalangan masyarakat Islam sehingga bisa mengantarkan transformasi. Yakni mengubah tatanan masyarakat di tingkat terendah (jahiliah) menjadi umat terbaik yang mendapat persaksian langsung dari Allah dan terabadikan dalam Al-Qur’an.
“Dari jahiliah menjadi khairu ummah, mungkinkah bisa terimplementasi dalam kehidupan kita?” ucap UAH.
Definisi Bahasa
UAH lantas membahas definisi secara bahasa. “Wasatiah mengandung tiga unsur kata. Ada wasatun, ada ‘ta’ di akhirnya untuk menunjukkan karakter dan sifat. Jadi kalau ia menunjukkan nisbat, sesuatu itu ikut kepada yang dinisbatkan,” terangnya.
Ia mencontohkan, saya warga negara Indonesia. Maka saya orang Indonesia dinisbatkan pada Indonesia.
“Wasatun pakai i jadi wasati, nisbat ke kalimat wasat. Tapi kalau ditambah ‘ta’ di ujungnya, wasatiah, ‘ta’ nya menunjukkan karakter, sifat-sifat utama yang diikutkan pada makna wasat,” lanjut lulusan International Islamic Call College, Tripoli, Libya itu.
Pakar linguistik ini kemudian mengungkap, ‘wasat’ terabadikan dalam Al-Qur’an dan kita diminta mempraktikkan karakter itu. Apa itu wasat?
Menjawab pertanyaan ini, UAH memberi gambaran. “Kalau saya punya penggaris 30 centimeter, tengah-tengahnya persis 15 centimeter. Tidak condong ke kanan (14, 13, dan seterusnya) dan tidak condong ke kiri (16, 17, dan seterusnya),” jelas ayah lima anak ini.
Lebih lanjut, UAH mengungkap, di tengah ini untuk menjaga hukum stabil, jadi acuan kebenaran, dan aturan ideal. Dari sinilah lahir keputusan terbaik.
“Maka sosok yang punya sifat wasat disebut wasit. Diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wasit,” terang lulusan Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa wasit di tengah? “Ia berada di posisi ideal. Punya pegangan, teladan, contoh aturan yang diikuti oleh kedua pihak, baik kanan maupun kiri. Apapun yang wasit katakan itu paling bagus,” tegas UAH.
Adapun karakter itu bertambah ‘ta’ di ujungnya sehingga berubah dari kata ‘wasatun’ menjadi ‘wasatiah’. Maka, kata UAH, turunlah ayat Al-Qur’an: Al-Baqarah (2) ayat 143.
“Al-Baqarah terdiri dari 286 ayat. Kalau dibagi dua jadi pas 143 tengah-tengahnya. Ayat wasatiah pas di tengah. Allah mengajarkan wasatiah langsung dengan mempraktikkan,” jelas UAH.
Di sini Allah memberi petunjuk kepada Jibril As. “Sampaikan kepada Muhammad, bacakan, letakkan posisinya di tengah.”

Tafsir Al-Baghawi
Setelah itu, UAH mengambil tafsir Al-Baghawi oleh Imam Al-Baghawi. Menurut Tafsir Al-Baghawi, jelas UAH, asbabun nuzul ayat ini menceritakan kisah orang Yahudi yang menetapkan standar terbaik berdasarkan suatu tempat atau seseorang.
Pria bergelar doktor di bidang linguistik Arab ini mengisahkan, ada sahabat Muad bin Jabal Ra. Beliau dari kalangan Anshar. Tiba-tiba diskusi dengan orang Yahudi yang sudah tinggal di Madinah.
“Karena ayat ini, ayat Madaniah yang turun setelah Nabi Hijrah dari Makkah ke Yastrib di Madinah, maka datang dengan membawa persoalan dan diiringi dengan karakter rasis,” ujarnya.
Yahudi ini mengatakan, “Nabimu Muhammad Saw itu seenaknya sendiri memalingkan kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah.”
Lalu membawa kebanggaan. Dia katakan, “Ini pusat kemajuannya, keunggulannya, terbaiknya. Nabi terbaik dan orang-orang hebat lahir di situ.”
Muad diam saat itu lalu konsultasi pada Nabi Muhammad Saw. Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang memberikan penjelasan karakter yang hebat itu bukan karena tempatnya.
“Karena belum tentu di tempat yang hebat lahir juga orang-orang hebat. Bukan karena orangnya karena belum tentu orang hebat bisa menurunkan orang hebat juga,” jelas UAH.
Maka, lanjutnya, kalau ingin mengambil standar terbaik, tidak mengacu tempat atau orang. Tapi karakteristik sifat-sifat utama yang dengan sifat itu membentuk sosok hebat yang ideal. “Maka turunlah bentuknya sifat bukan berupa orang,” ujar bapak kelahiran 11 September 1984 ini.
Muhammadiyah Berwasatiah
Wasatiah itulah, kata UAH, yang pada hakikatnya akan mengubah seseorang dengan karakter di dalamnya menjadi orang-orang hebat dan melahirkan generasi yang kelak penyebutannya ialah umat.
“Ketika ayat ini turun, ingin membawa kita mendapatkan pedoman bagaimana kalau ingin transformasi menjadi sosok yang hebat,” imbuhnya.
UAH memberi contoh. Misal, ingin menerapkan wasatiah di dunia kampus, UMJ ingin menjadi kampus yang unggul berkemajuan, maka standarnya perlu masuk pada golongan wasatiah.
“Muhammadiyah ingin menjadi persyarikatan unggul berkemajuan jadi teladan aspeknya ditiru, maka praktikkan nilai Wasatiah di dalamnya!” ujar pria penerima gelar Dr (HC) dari UMJ itu. (#)
Jurnalis Sayyidah Nuriyah Penyunting Mohammad Nurfatoni