OpiniUtama

Tongkat Musa dan Planet yang Lelah

173
×

Tongkat Musa dan Planet yang Lelah

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi freepik.com premium

Dunia berharap pada teknologi seperti memegang tongkat mukjizat. Padahal, yang membelah laut bukan tongkat, melainkan keyakinan. Renungan tentang iman baru manusia pada teknologi dan kehilangan kesederhanaan.

Catatan Ahmadie Thaha; Kolumnis

Tagar.co – Bumi kini seperti manusia tua yang masih berusaha tersenyum meski paru-parunya penuh debu, darahnya dipenuhi plastik mikro, dan jantungnya — yang dulu berdenyut biru — kini berdetak pelan di bawah lapisan aspal.

Kita menamai Bumi sebagai “planet”. Tapi sesungguhnya, ia lebih mirip “pasien” — dan yang membuatnya sakit adalah tangan kita sendiri, yang dulu bersumpah akan merawatnya.

Selama sepekan kita berbincang tentang sepuluh teknologi pilihan World Economic Forum dan Frontiers—dari piring yang menumbuhkan protein tanpa peternakan hingga satelit yang mengawasi pernapasan hutan.

Baca juga: Ketika Bumi Punya Dokter Digital

Setiap teknologi tampak seperti babak dari satu kisah besar: upaya manusia menebus kesalahannya sendiri. Namun setelah semua layar mati dan data pending, muncul pertanyaan yang lebih pelik: apakah kita benar-benar ingin sembuh, atau hanya ingin merasa tampak peduli?

Lihatlah cara dunia memuja teknologi: seperti jimat baru yang bisa menyelamatkan semuanya tanpa mengubah apa pun. Kita terpesona pada kecerdasan buatan, tapi kehilangan kecerdasan hati. Kita membuat pupuk pintar, tapi lupa menumbuhkan kesabaran.

Baca Juga:  Di Balik Teriakan “Bubarkan DPR”: Frustrasi Rakyat yang Menggema

Kita membangun kota hijau, tapi pikiran kita tetap abu-abu. Tak cuma itu, kita begitu rakus terhadap segala yang bernama teknologi. Padahal sejak awal, semua teknologi hanyalah cermin: seberapa tulus kita ingin memperbaiki hidup, atau sekadar mempercantik kehancuran.

Ekonomi hijau, energi bersih, protein regeneratif — semuanya hebat di presentasi PowerPoint. Tapi di lapangan, dunia masih menunda. Negara maju berbicara soal dekarbonisasi, tapi terus mengirim limbahnya ke negara-negara yang katanya berkembang.

Negara-negara berkembang sendiri berbicara soal kemandirian, tapi terus menggantungkan pupuk dan chip dari luar negeri. Kita semua sedang menukar waktu dengan kenyamanan, seperti pasien yang tahu dirinya sakit tetapi menolak diet.

Ruang Kesadaran

Namun mari kita lihat sisi lain: setiap penundaan juga memberi ruang bagi kesadaran untuk tumbuh. Di banyak desa, sejumlah petani yang tersadarkan karena bacaan sehat mulai menanam tanpa racun, memanfaatkan data tanah dari sensor murah buatan lokal.

Di kota, anak muda membangun panel surya komunitas, menyalakan listrik bagi tetangga tanpa menunggu kebijakan. Di laboratorium kecil, para ilmuwan membuat bioplastik dari limbah dapur. Itulah evolusi harapan: tidak datang dari konferensi besar, tetapi dari manusia yang menolak berhenti berharap.

Baca Juga:  Naturalisasi Palsu, Malaysia Dipermalukan FIFA

Sebab sejatinya, etika tidak lahir dari rapat, melainkan dari rasa malu. Malu pada bumi yang kita rusak, malu pada anak cucu yang akan menagih janji. Dan dari rasa malu itulah muncul kekuatan moral baru: keinginan untuk memperbaiki. Ishlah, katanya.

Filsafat lingkungan modern menyebutnya keren: restorative ethics — etika yang bukan sekadar “tidak merusak”, melainkan “memulihkan”. Ia bukan sekadar teori, tetapi tindakan kecil yang konsisten: menanam, menghemat, berbagi, dan mendidik sesama.

Jika setiap teknologi dari laporan WEF–Frontiers itu kita baca dengan hati, bukan hanya pikiran, maka akan tampak satu pola: semua diarahkan untuk memulihkan relasi manusia dengan bumi.

Protein regeneratif memulihkan pangan, energi bersih memulihkan udara, arsitektur hijau memulihkan kota, satelit memulihkan kesadaran, air dan tanah memulihkan kehidupan. Semuanya berujung pada satu kata: regenerasi. Bumi ingin hidup kembali, tapi ia hanya bisa melakukannya jika kita ikut berubah.

Teknologi Bukan Nabi

Maka jangan salah: teknologi bukanlah nabi, ia hanya tongkat Musa. Yang membuat laut terbelah bukan tongkatnya, tetapi keyakinan bahwa ada jalan keluar. Begitu juga dengan dunia hari ini. Kita bisa menciptakan seribu alat pintar, tapi tanpa niat untuk hidup lebih sederhana, hasilnya tetap sama: planet di ujung napas.

Baca Juga:  Unit 8200: Wajah Telanjang Kolonialisme Digital Israel

Barangkali saatnya kita berhenti menanyakan apa yang bisa dilakukan teknologi, dan mulai bertanya: apa yang bisa kita lakukan dengan hati. Karena teknologi hanyalah alat. Harapanlah energi sejatinya.

Dan mungkin, ketika manusia akhirnya sadar bahwa bumi bukan lagi sekadar tempat tinggal, melainkan rekan seperjalanan, di situlah babak baru dimulai — sebuah dunia di mana inovasi tidak lagi diukur dari kecepatan chip, tapi dari ketulusan menanam benih.

Karena pada akhirnya, sains bisa menghitung jarak bintang, tapi hanya hati manusia yang bisa mengukur jarak antara penyesalan dan pengharapan. (#)

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 2 November 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni