
Peta kuningan itu bergetar, menyala, lalu menelan Raka ke dunia asing. Ia tak tahu apa-apa—kecuali satu hal: ia telah terpilih menjadi penjaga baru, dan Gerbang Pertama sudah terbangun. Sesuatu yang tua dan berbahaya sedang menunggu.
Jejak Kuningan Terakhir ( Seri 1): Peta yang Tidak Seharusnya Ada; Cerbung oleh Oleh Abdul Rokhim Ashari; Guru SD Muhammadiyah 1 Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
Tagar.co – Namaku Raka. Seumur hidup, aku hanya lelaki biasa yang bekerja di sebuah toko buku antik di sudut kota. Hidup berjalan datar—sampai hari ketika seorang lelaki tua berjas cokelat masuk dengan tergesa.
Tangannya gemetar, napasnya tersengal.
“Kau… kau harus simpan ini,” katanya sambil meletakkan gulungan kain di meja kasir. “Jika mereka mencarimu, jangan biarkan peta ini jatuh ke tangan siapa pun.”
Sebelum aku sempat bertanya, ia mendorong gulungan itu ke tanganku, lalu berlari keluar. Anehnya, begitu melewati pintu, sosoknya lenyap. Seperti ditelan udara.
Baca juga: Penghuni Lama di Ruang Guru
Dengan dada berdebar, aku membuka gulungan tersebut. Isinya bukan kain biasa, melainkan peta kuningan tua yang berkilau seolah disepuh matahari. Garis-garisnya membentuk rute berliku, simbol-simbol asing, dan sebuah tanda besar menyerupai mata.
Di pojok kanan tertulis: “Gerbang Kuno: Hanya yang berani yang dapat pulang.”
Aku mendengus. “Ini pasti lelucon orang gila.”
Namun ketika ujung jariku menyentuh simbol mata itu, peta bergetar—lalu memancarkan kilatan cahaya emas.
Rak-rak buku berderak. Kaca jendela retak. Lantai bergoyang. Dari segala arah sekaligus terdengar bisikan: “Penjaga baru telah dipilih.”
Cahaya meledak. Tubuhku terangkat. Lalu gelap.
Ketika membuka mata, aku tidak lagi berada di toko buku.
Langit di atas berwarna ungu pekat. Pohon-pohon menjulang dengan batang kristal berlapis cahaya. Sungai di samping saya memancarkan kilau biru seperti neon cair.
Aku tersentak.
Aku telah dipindahkan … ke dunia lain.
Di tanganku, peta kuningan itu masih ada—tetapi kini garis-garisnya bergerak sendiri, seperti kompas yang gelisah.
Angin berbisik: “Ikuti jejakmu, Penjaga. Gerbang pertama menunggu.”
Aku menelan ludah, menegakkan punggung, dan melangkah.
Makhluk Kecil Bernama Lyss
Semakin jauh masuk ke hutan, cahaya dari tanah memantul setiap kali kakiku menginjaknya. Peta berdenyut pelan, seolah hidup.
Semak kristal di depan bergerak. Aku spontan mundur.
Dari balik batang pohon menyembul sosok kecil setinggi pinggangku. Kulitnya perak, mata birunya menyala, telinganya runcing seperti daun baru tumbuh.
“Manusia?” suaranya sebening lonceng kecil.
Ia mendekat sambil mengendus-endus, sama sekali tanpa rasa takut.
“Kau membawa peta itu,” katanya. “Nah, ini sumber masalahnya.”
“Masalah apa?” tanyaku.
Ia menepuk dadanya. “Saya Lyss. Pengamat Rute. Penuntun bagi mereka yang tersesat… atau yang akan mati lebih cepat dari seharusnya.”
Perkataan itu sama sekali tidak menenangkan.
Peta memancarkan sinar lurus ke depan. Lyss menatapnya dan wajahnya langsung mengeras.
“Sial. Peta itu memilih jalur paling berbahaya.”
“Aku tidak punya pilihan lain.”
Lyss mendesah panjang. “Kalau begitu, saya ikut. Kalau tidak, kau akan dimakan Lurhar dalam lima menit.”
“Lurhar itu apa?”
Tanah di belakang kami bergetar. Kabut ungu bergoyang.
Sebuah geraman dalam menggema.
Lyss hanya menunjuk. “Itu.”
Dari kabut muncul makhluk sebesar singa, tubuhnya diselimuti bayangan pekat, matanya menyala merah. Setiap langkahnya membakar tanah.
Makhluk itu menatap tepat pada peta di tanganku.
“Lari!” teriak Lyss.
Kejaran di Hutan Kristal
Kami berlari secepat mungkin. Setiap kali Lurhar mengaum, pohon-pohon kristal pecah menjadi serpihan cahaya. Naasku putus-putus, dada seperti terbakar.
“Belok kiri! Jangan kanan!” pekik Lyss.
“Kenapa?!”
“Kanan itu jurang tak berdasar! Kiri itu… ya, setidaknya bukan jurang!”
Aku mengikuti arah kiri. Lurhar menerjang semak kristal di belakang kami, menghancurkan batang-batangnya seolah itu kaca tipis.
Peta menyala kian terang, garisnya berputar liar.
“Sini!” seruku.
Lyss mendecak. “Peta itu benar-benar keras kepala!”
Kami berbelok. Lurhar menghantam tanah tepat di tempat kami berada beberapa detik sebelumnya. Debu kristal berterbangan seperti hujan cahaya.
“Kenapa dia mengejar kita?!”
“Dia mengejar petanya! Itu benda terkutuk!”
Cabang kristal patah dan melayang seperti pisau terbang. Lurhar menghancurkannya dengan sekali kibas. Kami terus berlari hingga menemukan sebuah celah batu sempit. Lyss langsung mendorongku masuk.
“Masuk!”
Kami berguling ke dalam, tercampak ke ruang kecil seperti goa. Cahaya lembut datang dari jamur-jamur kristal di sudut.
Lurhar menggaruk mulut goa, mengaum marah, lalu akhirnya menjauh.
Aku jatuh terduduk. “Aku… hampir mati.”
Lyss menatap serius. “Kalau kau mati, peta itu akan memilih manusia lain. Dan percayalah, itu lebih kacau.”
Aku melihat peta yang kini tenang. Garis-garisnya membentuk simbol lingkaran dengan tiga garis keluar dari tengahnya.
“Apa ini?”
Lyss menegang. “Gerbang Pertama.”
“Gerbang yang bisa membawaku pulang?”
Lyss menggeleng. “Tidak. Gerbang Pertama membuka sesuatu yang jauh lebih tua… dan lebih berbahaya.”
Sebelum aku sempat bertanya, tanah bergoyang lagi. Dinding goa menyala oleh simbol yang sama dengan di peta—terbentuk pelan seperti bara hidup.
Gerbang Pertama
Retakan emas muncul, makin besar, makin panas. Cahaya mengembang seperti matahari kecil. Saya merasakan tarikan kuat dari dada. Peta di tangan bergetar hebat.
“Raka! Lepaskan peta itu!”
“Aku nggak bisa!”
Lyss melompat memeluk pinggangku agar tidak tersedot.
“Saya tidak mau kehilangan manusia lagi!” teriaknya.
“Lagi?! Maksudmu apa ‘lagi’?!” balasku.
Lyss tidak sempat menjawab. Cahaya menelan kami berdua. Goa hancur, partikel emas berputar seperti badai.
Sebelum semuanya gelap, sebuah suara muncul dari dalam gerbang—lebih tajam, lebih tua, lebih berwibawa.
“Penjaga baru. Kau akhirnya datang.”
Kemudian dunia terbalik.
Tanah para Penjaga
Aku terjatuh di atas rumput lembap. Angin dingin menusuk kulit. Langit kelabu, kabut tebal menyelimuti pohon-pohon hitam tak berdaun. Di kejauhan, sebuah menara batu raksasa menjulang, seolah usianya ribuan tahun.
Lyss terhuyung bangun. “Saya benci teleportasi paksa…”
Aku memandang menara itu. “Kita di mana?”
Lyss menelan ludah, wajahnya pucat.
“Raka… ini tempat yang tak ingin didatangi makhluk mana pun.”
Ia menunjuk menara gelap itu.
“Kita berada di Tanah para Penjaga.” (Bersambung!)
Penyunting Mohammad Nurfatoni







