
Tawaf wada menutup hari-hari indah bersama Ka’bah. Air mata tak terbendung, namun perjalanan belum usai. Kini hati bersiap menuju Madinah, menyambut Rasulullah dengan rindu yang sama—rindu yang tak pernah padam.
My Journey on Hajj 2025 (Seri 19); Oleh Anandyah RC, S.Psi, Jemaah Haji KBIH Nurul Hayat Surabaya
Tagar.co – Hari ini adalah subuh terakhirku di Tanah Haram, MAkkah al-Mukarramah. Masa itu akhirnya tiba juga. Tiga puluh hari sudah aku berada dalam kehangatannya. Sembab di mata ini tak juga hilang. Kuambil air wudu, kuusapkan lebih banyak ke wajahku untuk menghapus bekas air mata yang tersisa.
Tawaf wada, satu episode perjalanan hajiku yang takkan terlupa. Perpisahan adalah satu kata yang selalu berakhir dengan air mata. Berat hati ini untuk meninggalkannya, namun aku harus kuat merelakannya.
Baca juga: Menjelang Perpisahan: Catatan Hati dari Depan Ka’bah
Senin malam 30 Juli 2025 menjadi saksi tumpahnya air mata, saksi ketulusan cinta, saksi kerinduan yang terus menggelora. Harapan untuk kembali berkhalwat dan bermunajat kepada-Nya membuncah. Panggil namaku kembali, ya Rabb…
Bersama seluruh jemaah Nurul Hayat, selepas salat Magrib, kami menuju Masjidilharam. Duka menyelimuti segenap perasaan, membuat kaki ini enggan melangkah untuk berpamitan.
Kami berkumpul di WC 2 sebelum waktu Isya. Seluruh jemaah menata diri untuk berada dalam saf yang rapi. Satu keistimewaan salat di sini: kita tidak harus mengambil tempat di dalam masjid.
Pelataran masjid, emperan pertokoan, hingga area pejalan kaki berubah menjadi ruang salat kala azan berkumandang. Semua orang serta-merta meninggalkan aktivitasnya untuk menyambut panggilan-Nya.
Selepas salat Isya, Ustaz Heri Latief membagi rombongan jemaah menjadi dua kelompok untuk melaksanakan tawaf wada. Satu kelompok dibimbing oleh Ustaz Muhammad Molik, dan satu kelompok lainnya dipandu langsung oleh Ustaz Heri.
Memasuki Pintu King Abdul Aziz, menuruni tangga eskalator, segala rasa menyergap batin ini. Inikah tawaf terakhirku? Inikah hari aku melihat dan menyentuh Ka’bah untuk kali terakhir? Akankah aku kembali menginjak lantai ini? Akankah Multazam itu kembali menjadi tempatku merayu rindu, memuja, dan menaruh harap kepada-Mu, ya Rabb…?
Kulangkahkan kaki dalam putaran tawaf, bersama setiap doa yang terucap lirih. Area tawaf cukup lengang sehingga jemaah berjalan tanpa kesulitan. Ka’bah begitu dekat.
Antara Hijir Ismail hingga Rukun Yamani, tak banyak yang mendekat. Kuingin berlari ke arahnya, meraba erat setiap dindingnya yang tertutup kiswah. Namun aku tetap setia berada dalam barisan hingga putaran ketujuh usai dan merapat di area salat.
Isak tangis bergema, bersahutan dalam munajat yang dipanjatkan. Air mata tak lagi mampu terbendung. Menetes, mengalir, membasahi wajah. Kubersimpuh, sujud syukur atas kebesaran nikmat-Mu, ya Allah.
Jangan Engkau cabut kenikmatan iman ini dariku. Tetapkanlah hatiku untuk selalu berada dalam iman dan Islam hingga akhir hayatku. Jadikan aku hamba-Mu yang bertakwa di mana pun berada. Jadikan aku orang yang berguna bagi agamaku, bermanfaat bagi umat manusia.
Bimbinglah aku untuk istikamah di jalan-Mu, mengukir prestasi amal duniawi dan ukhrawi. Ya Ilahi, kuingin menerima undangan-Mu kembali di tanah suci ini, bersama keluargaku. Engkau Yang Maha Mendengar dan Mengetahui isi hati, kabulkanlah doa-doa dan harapanku. Āmīn, Allāhumma āmīn.
Kami saling berjabat tangan, saling berpelukan dalam duka dan air mata—dengan pasangan dan sahabat. Kami mengabadikan momen perpisahan ini dengan berfoto bersama di pelataran Baitullah. Kami ingin menguatkan jiwa bahwa harapan untuk kembali itu selalu ada.
Aku menyusuri tepian Ka’bah sekali lagi, sebelum mengangkat kaki meninggalkan Masjidil Haram. Kudekat ke Hijir Ismail dengan pengawalan suamiku tercinta. Kuberdoa di dekat dinding pembatasnya. Kugeser langkah ke Rukun Yamani.
Ya Rabb, kumampu mencapainya. Sedekat ini. Kupergang, kuraba, kuelus-elus dindingnya. Kucium aroma harum dari kiswah yang membalutnya. Ingin kuberlama-lama di hadapannya, namun kusadari aku harus berbagi tempat dengan sesama.
Perlahan kulangkahkan kaki menjauh. Ijinkan aku pamit, ya Rabb. Teguhkan hatiku untuk meninggalkan rumah-Mu.
Di tengah malam yang hening, aku berjalan bersama teman-teman menuju tempat tinggal kami selama ini—dengan duka dan bahagia. Tinggal malam ini kami menikmati selimutnya. Esok, kami akan pergi.
Pagi ini, bus telah membawa kami menuju Madinah al-Munawwarah, mengunjungi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Dari atas bus yang bergerak perlahan, kulihat manajemen syarikah, manajemen hotel, dan PPIH melambaikan tangan sambil mengucapkan selamat jalan.
Terima kasih atas semua pelayanan, saudaraku. Semoga setiap kebaikan bernilai amal.
Selamat tinggal, Misfalah. Selamat tinggal, Makkah. Tiga puluh hari bersamamu, berjuta kenangan indah akan kusimpan dalam ingatan. Wassalam. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni












