
Dijuluki Mak Jomblang Tagar.co, M. Anwar Djaelani menjadi penghubung yang sukses mengajak 50 penulis bergabung. Ia menyalakan semangat jurnalisme warga melalui jejaring pertemanan dan pengalamannya di dunia tulis-menulis.
Tagar.co – Ruang Qatar di lantai 9 Hotel Namira Syariah Surabaya menjadi ruang penuh inspirasi saat para jurnalis Tagar.co bergabung dalam kegiatan kopi darat perayaan ulang tahun pertama, Ahad 3 Agustus 2025 lalu.
Di tengah suasana hangat itu, hadir sosok yang akrab dijuluki Mak Jomblang Tagar.co. Julukan yang diberikan Mohammad Nurfatoni ini merujuk pada perannya menjadi penghubung sekaligus pembawa sejumlah rekannya untuk bergabung dan menulis di media ini.
Pria berkacamata ini tampil mengenakan batik bernuansa hitam dan mendapat kesempatan pertama untuk memberikan sekapur sirih. Dalam sambutannya, yang pertama ia sampaikan adalah tentang persahabatannya dengan para redaktur.
“Saya bersahabat dengan Pak Sugeng (Sugeng Purwanto) sejak 1984 dan bertemunya di Masjid Unair, ternyata sudah 40 tahun. Kemudian dengan Mas Fatoni (Mohammad Nurfatoni) sekitar 25 tahun lebih. Dengan Pak Suharyo kami bersahabat karena sesama Pelajar Islam Indonesia (PII),” ungkapnya.
Selain menyebutkan tiga nama itu, Anwar—sapaan akrabnya—juga menyebutkan satu nama lain, yaitu Ridwan Makruf, salah satu jurnalis Tagar.co yang ia akui baru sebentar mengenal namun seolah-olah sudah puluhan tahun. Hal ini karena mereka memiliki minat yang sama dan yang diperjuangkan juga sama, maka walaupun sebentar terasa seperti sudah bertahun-tahun.
“Aku tidak sedang baik-baik saja,” kata Anwar sambil menunjuk salah satu jurnalis perempuan bernama Yekti Pitoyo. “Saya berjumpa Bu Yekti waktu peringatan Hari Kartini 25 April 2025 saat diundang oleh grup penulis dalam acara bedah buku, dan kali ini dipertemukan lagi karena minat yang sama,” ujar penulis 13 judul buku tersebut.
Jurnalisme Warga
Berikutnya Anwar membahas soal jurnalisme warga. “Saya berharap Tagar.co betul-betul bisa mengisi zaman atau masa saat ini yang disebut sebagai jurnalisme warga,” tutur laki-laki kelahiran Pamekasan, Madura, ini.
Menurutnya, seorang jurnalis tidak harus sekolah khusus atau formal, siapa pun bisa merakit feature atau opini dan bisa menjadi jurnalis yang mewarnai jagat pemikiran warga dunia.
“Jika hal itu terjadi, maka apa yang diharapkan oleh Bendahara Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, drh. Zainul Muslimin, bisa diwujudkan dengan cara semua menjadi jurnalis atau penulis,” kata Anwar penuh antusias.
Sejalan dengan pemikirannya, Anwar dengan penuh semangat mengajak sebanyak mungkin rekan-rekan di lingkungannya, baik itu teman kerja maupun teman komunitas, untuk menjadi jurnalis.
Dari sekitar 50 orang yang diajak, ada 10 orang yang betul-betul rajin menulis di Tagar.co. Ia lalu menyebutkan beberapa nama yaitu dr. Mohammad Isa, Dr. Abdel Rahem, dan dr. Jamaluddin. Yang lain ada Kholis Ernawati, Bagus Suminar, Ainul Yaqin, Anisah Machmudah, Akhmad Syaiku, dan Prima Naomi,
Belakangan dia juga mengajak adiknya Firman Arifin, salah satu wakil direktur PENS, menjadi penulis Tagar.co.
Sedangkan yang tidak rutin menulis dan hasil tulisan mereka dibukukan sekitar 33 orang. “33 tambah 10, jadi kurang lebih mendekati 50,” gurau Mohammad Nurfatoni, salah satu redaktur Tagar.co.
Anwar kemudian menceritakan bahwa ia bersama dengan teman-temannya berhasil menulis empat judul buku yang lahir dari Masjid Unair.
Yang pertama, Kisah-Kisah Aktivis Masjid Universitas Airlangga, buku yang berisi tulisannya bersama dengan teman-temannya ketika aktif di Masjid Unair.
“Banyak sisi humanis yang bisa dibaca oleh banyak orang ketika mereka aktif di Masjid Unair,” imbuhnya. Jadi target mereka terbit satu buku baru tiap Ramadan, kisahnya.
Buku kedua, Belajar kepada Ayat-Ayat di Sekitar menghimpun pengalaman rohani dari teman-teman Masjid Unair. “Pengalaman rohani itu bisa di mana saja, tidak hanya didapat di Makkah dan Madinah. Setiap saat—tidak hanya di bulan Ramadan—di organisasi massa, dan di mana pun, pengalaman rohani juga ada,” kata penulis buku Warnai Dunia dengan Menulis ini.
Buku ketiga, Berjalan-jalanlan Raih Hikmah Melimpah yang menghimpun pengalaman-pengalaman ketika bepergian, baik ketika rekreasi ataupun saat sedang bertugas di luar negeri. Berdasarkan dari tulisannya bersama dengan teman-teman, Anwar mengaku mereka berhasil menjelajahi lima benua.
“Bahkan ada seorang teman perempuan dari Bekasi yang betul-betul lengkap menjelajahi lima benua,” terangnya.
Anwar juga mengisahkan tentang pengalamannya menjelajahi Kuala Lumpur dan Madinah. “Bukan perjalanan biasa, tetapi saya mengisi pelatihan enam jam di Madinah, sekitar tahun 2013. Salah satu pesertanya adalah Syafiq Resa Basalamah,” kata pria yang genap berusia 63 tahun pada bulan April lalu ini.
Bukur keempat Tadabur Alam Indonesia, berisi pengalaman perjalanan para mantan aktivis masjid Unair itu di dalam negeri.

Dua Sisi Mata Uang
Pada kesempatan ini, Anwar mengungkapkan bahwa hasil penelitian Unesco pada tahun 2006, dari 1.000 orang hanya 1 orang saja yang suka membaca.
“Kalau ada pelatihan pasti saya bertanya kepada peserta. Mereka sering tak bisa menjawab. Tapi, kadang ada yang menjawab ‘paling banyak satu orang’,” ujarnya.
Meski demikian, Anwar mengatakan bahwa itu sudah cukup bagus, karena mestinya malah tidak ada. “Karena awal dari menulis itu adalah membaca. Membaca dan menulis seperti mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” tegas mahasiswa S3 UMM ini
Dia juga bertanya: “Jika dari 1000 orang yang diteliti hanya satu yang suka membaca, maka di antara mereka berapa yang bisa menulis?”
Karena merasa keadaan yang mengerikan itulah yang membuatnya semangat ke mana-mana untuk menyiarkan kebiasaan membaca dan menulis. “Saya merasa punya kartu sandi,” ucapnya.
Saat ke Yogyakarta ia menelepon anak-anak UGM. Saat ke Bandung ia mengontak teman-teman ITB. “Karena ngeri, 1.000 cuma satu yang baca,” kata penulis 13 judul buku ini.
Di akhir sambutannya, penulis yang salah satu tulisannya masuk nominasi buku terbaik kategori nonfiksi di Islamic Book Fair 2025 Senayan Jakarta ini menyelipkan sebuah pesan menyentuh, “Menulislah, engkau akan dikenang.” (#)
Jurnalis Nadhirotul Mawaddah Penyunting Mohammad Nurfatoni