
Di Muzdalifah, malam menjadi saksi keakraban paling sunyi antara manusia dan Tuhannya. Tak ada tirai, tak ada sekat—hanya keheningan dan harap.
Oleh Piet Hizbullah Khaidir; Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur
Tagar.co – Ketika kita merasa nyaman dan akrab dengan seseorang, kita sering bersilaturahmi dengannya. Bahkan, kita menginap beberapa hari atau sekadar mampir di rumahnya. Tanda kedekatan dimulai ketika hadir rasa nyaman. Tanda keakraban tampak ketika tercipta ruang terbuka untuk berbagi cerita, bahkan curahan hati yang paling lirih dan tersembunyi.
Baca juga: Wukuf Arafah: Mengenal Diri Sendiri dalam Diam
Mabit di Muzdalifah pada waktu yang tepat adalah rumusan tentang keakraban dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Pertanyaan pentingnya: bagaimana sang hamba dapat memaknai kedekatan dan keakraban itu sebagai bentuk intimasi pengabdian kepada Tuhan? Mabit di Muzdalifah memberikan pelajaran penting tentang hal tersebut.
Mabit di Muzdalifah: Makna dan Amaliahnya
Salah satu rangkaian ibadah puncak haji setelah wukuf adalah mabit di Muzdalifah. Secara waktu dan tempat, amaliah mabit dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah setelah masuk waktu magrib. Para hujjaj bergerak dari Arafah menuju Muzdalifah.
Secara bahasa, mabit berasal dari kata bāta – yabītu – baytan – mabītan yang berarti “bermalam.” Secara teknis, mabit dilakukan sejak masuk waktu magrib hingga fajar. Maka secara istilah, mabit adalah bermalam di Muzdalifah dalam rentang waktu tersebut pada malam 10 Zulhijah.
Amaliah yang biasa dilakukan saat mabit antara lain membaca talbiyah, zikir, salat Magrib dan Isya secara jamak takhir, serta memungut batu-batu kecil sebagai persiapan untuk melontar jamrah aqabah.
Amaliah ini dilaksanakan di ruang terbuka Muzdalifah. Merasakan hawa gurun yang menusuk. Menatap langit cerah bertabur bintang. Sambil berdoa dalam kesungguhan hati, menyadari bahwa Muzdalifah adalah tempat berkumpulnya manusia dari berbagai bahasa dan latar belakang. Para tamu Allah di tempat ini berharap agar doa-doa mereka dikabulkan, agar mereka dikelompokkan ke dalam golongan orang-orang yang berserah diri. Penuh tawakal. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melimpahkan rahmat-Nya tanpa batas.
Mabit di Muzdalifah: Sketsa Waktu dan Renungan Langit
Waktu yang terbatas, ruang terbuka yang berhias langit indah. Bertabur bintang, bertabur harapan. Semuanya menjadi sketsa waktu dan renungan langit dari orang-orang yang berharap diampuni dosa-dosanya, yang ingin doanya dikabulkan.
Sketsa waktu di Muzdalifah adalah bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan semesta alam. Sembari berharap diberi momentum terbaik untuk menghadap-Nya dengan sepenuh pasrah.
Sketsa waktu di Muzdalifah juga merupakan cerminan renungan langit: tentang diri yang kecil dan tak berarti tanpa pertolongan Allah Swt.
Mabit di Muzdalifah: Berserah Diri Sepanjang Malam
Oleh karena itu, mabit di Muzdalifah adalah ilustrasi terbaik dari sikap berserah diri. Sepanjang malam. Tanpa jeda. Membangun keakraban dengan Tuhan dan dengan sesama. Hanya ada diri kita dan Tuhan, Sang Maha Pencipta alam.
Muzdalifah adalah kota para pemimpi bertabur bintang. Laksana doa-doa yang mengalir dari lisan penduduk semesta. Semuanya berharap satu: agar doa-doa itu dikabulkan. Wallahu a‘lam.
Salam dari Arafah menuju Muzdalifah
Ditulis pada 5 Juni 2025
Penyunting Mohammad Nurfatoni