Opini

Lebaran: Momentum Menanamkan Etika Sosial dalam Kehidupan

250
×

Lebaran: Momentum Menanamkan Etika Sosial dalam Kehidupan

Sebarkan artikel ini
Lebaran bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi sarana menanamkan etika sosial: dari silaturahmi, saling memaafkan, hingga pengendalian konsumsi dan penghormatan terhadap sesepuh.
Aji Damanuri

Lebaran bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi sarana menanamkan etika sosial: dari silaturahmi, saling memaafkan, hingga pengendalian konsumsi dan penghormatan terhadap sesepuh.

Oleh Dr. Aji Damanuri, M.E.I., Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah  Tulungagung, Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazismu Tulungagung.

Tagar.co – Lebaran (Idulfitri) yang tengah kita rayakan bukan perayaan keagamaan semata, melainkan juga menjadi medium penting dalam penanaman etika sosial.

Melalui interaksi dengan saudara dan sesepuh, kegiatan bertamu, meminta maaf, meminta nasihat, serta menyambung tali silaturahmi, nilai-nilai etika dan akhlak dibentuk secara kolektif dalam masyarakat.

Peran Lebaran dalam membentuk etika sosial sangatlah signifikan. Tradisi Lebaran memperkuat kohesi sosial, mendorong pengendalian konsumsi, serta menginternalisasi nilai-nilai moral yang luhur.

Baca juga: Cita Rasa Lebaran: Merawat Tradisi lewat Jajanan Nusantara

Sebagai puncak dari ibadah Ramadan, Idulfitri tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga sarat nilai sosial. Secara filosofis, Lebaran menjadi refleksi kembalinya manusia pada fitrahnya yang suci—dengan memperbaiki hubungan dengan Allah (ḥablum minallāh), sekaligus menjadi momentum memperbaiki hubungan antarmanusia (ḥablum minannās).

Dalam konteks sosial, tradisi Lebaran melibatkan berbagai aktivitas yang mengandung nilai-nilai etika, seperti silaturahmi, saling memaafkan, menjaga sopan santun saat bertamu, menyampaikan maksud, serta berpamitan dengan cara yang baik. Semua ini adalah praktik tata krama yang mulai diabaikan oleh generasi milenial.

Secara filosofis, Lebaran adalah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Clifford Geertz (1973) menyebut bahwa ritual keagamaan seperti Lebaran berfungsi sebagai cultural system yang memperkuat identitas kolektif. Identitas ini merupakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial di seluruh belahan dunia.

Dalam budaya Jawa, misalnya, silaturahmi dikenal dengan istilah srawung—yakni upaya menjaga keharmonisan sosial. Filosofi “mangan ora mangan sing penting kumpul” (makan atau tidak makan yang penting berkumpul) menunjukkan bahwa nilai kebersamaan lebih utama daripada materi. Persaudaraan dalam hal ini bukan hanya mengandung nilai religius, tetapi juga mencerminkan identitas etnis yang khas.

Baca Juga:  Berbuka setelah Ramadan: Sudahkah Hati Kita Terbuka?

Tradisi halalbihalal mencerminkan nilai rekonsiliasi dan penyucian diri (self-purification), di mana manusia diajarkan untuk melepaskan ego dan memulai hubungan baru dengan penuh keikhlasan. Silaturahmi secara bahasa berarti hubungan kasih sayang. Halalbihalal adalah bentuk kasih sayang agama dan budaya yang berpadu secara harmonis.

Sosiolog Emile Durkheim (1912) menyebut bahwa agama berfungsi sebagai social glue—perekat sosial yang memperkuat solidaritas dalam masyarakat. Konsep ini menuntut pemahaman yang luas agar agama tidak menjadi pemecah belah, melainkan pemersatu. Diperlukan ketulusan dalam semua hubungan sosial agar agama benar-benar menjadi social glue yang menguatkan.

Lebaran menjadi sarana pendidikan karakter, implementasi nyata dari etika keseharian yang luhur.

Kunjungan ke sanak saudara dalam rangka silaturahmi mempererat hubungan keluarga dan komunitas yang mulai memudar akibat gempuran modernitas yang kapitalistik.

Lebaran juga menjadi ajang pengendalian konsumsi. Meskipun konsumsi meningkat selama Lebaran, terdapat nilai kesederhanaan yang diajarkan melalui sedekah seperti zakat fitrah dan tradisi berbagi makanan.

Penanaman etika lain yang tak kalah penting adalah penghormatan terhadap hierarki sosial dan para sesepuh. Tradisi sungkem (mencium tangan orang tua) mencerminkan penghormatan kepada generasi yang lebih tua. Secara sosiologis, hal ini berperan menjaga struktur sosial yang harmonis. Meski sungkem tidak harus dilakukan setahun sekali, faktanya manusia modern kehilangan banyak kesempatan menjalin tali silaturahmi karena kesibukan dan jarak.

Baca Juga:  Memburu 'Ganimah' Pakaian Baru, Lupa Bukit Ramadan?

Dalam perspektif antropologi agama, Lebaran dapat dilihat sebagai bentuk ritual transisi (Van Gennep, 1909) yang mengembalikan individu pada status sosial yang lebih suci. Hubungan antara muda dan tua dibangun di atas landasan rasa hormat. Ketegangan antara anak dan orang tua dalam keseharian bisa mencair dengan momentum Lebaran. Hubungan antarkerabat yang renggang akibat kesibukan dunia bisa hangat kembali.

Tradisi makan bersama (banquet) dalam banyak budaya merupakan simbol persatuan—bahkan di negara-negara yang tidak religius sekalipun. Di Indonesia, makan bersama meski hanya ketupat dan opor ayam bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga menjadi simbol perdamaian dan kemakmuran.

Pemberian tunjangan hari raya (THR) secara antropologis merupakan bentuk timbal balik (reciprocity) yang memperkuat hubungan patron-klien dalam masyarakat. Saling memberi kepada keponakan, sanak saudara, dan handai tolan memang secara teknis menjadi sirkulasi uang, tetapi sejatinya merupakan ekspresi perhatian dan kasih sayang. Bukan soal jumlahnya, tetapi ketulusan relasi kekerabatan yang tercermin di dalamnya. Inilah akhlak yang baik, implementasi dari sifat Raḥmān dan Raḥīm.

Dalam Islam, akhlak mulia (akhlāqul karīmah) merupakan fondasi kehidupan sosial. Masyarakat yang dilandasi akhlak lebih tinggi nilainya dibanding masyarakat yang hanya tunduk pada hukum tanpa nilai.

Beberapa nilai etika dalam tradisi Lebaran antara lain: etika bertamu, mengucap salam, tidak terlalu lama berkunjung, membawa buah tangan, serta berpamitan dengan doa kebaikan. Semua itu merupakan bentuk adab sosial yang baik dan warisan budaya ketimuran yang luhur.

Secara normatif, etika meminta maaf diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang meminta maaf kepada saudaranya dan tidak diterima, maka dosanya tetap pada yang tidak mau memaafkan.” (H.R. Bukhari)

Baca Juga:  Kupatan: Tradisi Lebaran yang Sarat Makna

Meskipun saling memaafkan bukan praktik yang secara langsung ditradisikan oleh Nabi Saw., substansinya diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga ketika dipraktikkan secara sosial dapat dikategorikan sebagai sunah ḥasanah.

Lebaran juga menjadi momen belajar mengendalikan konsumsi. Islam melarang isrāf (berlebihan), sehingga meskipun Lebaran identik dengan sajian lezat, umat Islam diajarkan untuk tidak boros. Anak-anak yang menerima angpau pun perlu dibimbing agar bijak dalam membelanjakannya.

Jelas bahwa Lebaran bukan sekadar perayaan, melainkan sarana pendidikan dan penanaman etika sosial yang efektif melalui interaksi keagamaan, silaturahmi, permintaan maaf, serta penghormatan kepada sesepuh. Semua ini memperkuat kohesi sosial yang semakin penting di tengah masyarakat modern.

Lebaran juga menjadi ajang pembuktian pengendalian diri yang telah dilatih selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Konsumsi yang bijak dan hidup dalam kesederhanaan menjadi nilai-nilai yang terus ditanamkan.

Lebih dari itu, Lebaran seharusnya menjadi sarana pendidikan karakter, yakni dengan menginternalisasi nilai-nilai moral dan etika keseharian sebagai identitas Muslim sekaligus bagian dari budaya Nusantara yang luhur. Lebaran adalah medium penting dalam pembentukan masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi tata krama dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian, Lebaran perlu dipahami sebagai momentum untuk memperkuat etika sosial sekaligus merevitalisasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bersama.

Akan lebih mendalam pemahaman kita bila dilakukan studi lapangan atau analisis komparatif mengenai tradisi Lebaran di berbagai daerah di Indonesia. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni