
Apa makna di balik anyaman ketupat dan mengapa dirayakan sepekan setelah Idulfitri? Temukan jejak spiritual dan budaya dalam tradisi kupatan yang tak lekang oleh zaman.
Oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Tagar.co – Kupatan, atau yang lebih dikenal sebagai Lebaran Ketupat, adalah tradisi khas masyarakat Muslim di Indonesia, terutama di wilayah Jawa, Madura, Bali, dan beberapa daerah lainnya. Tradisi ini dilaksanakan tepat seminggu setelah Idulfitri, yaitu pada 8 Syawal—bertepatan dengan hari ketika umat Islam menyempurnakan puasa sunah enam hari di bulan Syawal.
Kupatan tidak sekadar perayaan kuliner, tetapi menyimpan makna spiritual yang mendalam. Tradisi ini diyakini berasal dari dakwah Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, yang menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan ajaran Islam. Salah satu simbol dakwahnya adalah ketupat—makanan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman daun kelapa muda.
Baca juga: Tukiman dan Keajaiban Idulfitri
Dalam budaya Jawa, kata ketupat mengandung dua makna filosofis. Pertama, ngaku lepat yang berarti mengakui kesalahan, mencerminkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk meminta maaf. Kedua, laku papat atau “empat laku”, yang merujuk pada empat tahapan spiritual: puasa Ramadan (pengendalian diri), Idulfitri (hari kemenangan), silaturahmi (menguatkan hubungan sosial), dan Lebaran Ketupat (penyempurnaan ibadah melalui puasa Syawal).
Simbol dan Filosofi Ketupat
Ketupat sendiri memuat beragam simbol yang sarat makna:
-
Anyaman daun kelapa melambangkan kerumitan dosa dan kesalahan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
-
Beras di dalam ketupat menggambarkan hati yang bersih setelah proses penyucian diri selama Ramadan.
-
Proses perebusan yang lama mencerminkan perjuangan manusia dalam membersihkan diri dari dosa.
-
Bentuk segi empat menurut beberapa tafsir melambangkan empat arah mata angin—simbol keterbukaan dan persatuan dari berbagai latar belakang.
Ragam Tradisi Kupatan di Nusantara
Lebaran Ketupat dirayakan dengan cara yang beragam di berbagai daerah, namun tetap berakar pada semangat kebersamaan dan syukur:
-
Jawa Tengah dan Jawa Timur
Masyarakat menggelar kenduri dengan menyajikan ketupat, opor ayam, sambal goreng ati, sayur labu, dan hidangan khas lainnya.
Di Kudus, dikenal tradisi Bodo Kupat—ketupat dibagikan kepada tetangga sebagai simbol kebersamaan. -
Madura
Kupatan dimeriahkan dengan karapan sapi atau lomba perahu. Ada pula tradisi pecel pitik, yaitu ayam kampung rebus yang disajikan bersama ketupat. -
Bali (Masyarakat Muslim)
Kupatan dirayakan dengan megibung, yaitu makan bersama dalam satu nampan besar sebagai simbol kebersamaan. -
Betawi
Terdapat tradisi bikin kupat, yakni membagikan ketupat ke masjid dan panti asuhan sebagai bentuk berbagi kebahagiaan.
Adaptasi Kupatan di Era Modern
Seiring perkembangan zaman, tradisi kupatan mengalami adaptasi yang kreatif tanpa meninggalkan esensinya:
-
Ketupat instan kini banyak tersedia untuk memudahkan penyajian.
-
Media sosial turut mempopulerkan tradisi ini melalui tagar seperti #LebaranKetupat di Instagram dan TikTok.
-
Festival budaya kupatan digelar di berbagai daerah, menampilkan pertunjukan wayang, tari tradisional, hingga bazar kuliner.
Nilai Spiritualitas dan Sosial
Kupatan bukan sekadar perayaan pasca-Ramadan, tetapi juga sarat nilai-nilai Islam. Ia mengajarkan pentingnya:
1. Saling Memaafkan
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (An-Nur: 22)
2. Menjalin Silaturahmi
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Berbagi Rezeki dan Bersyukur
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Baqarah: 195)
“Tidaklah beriman seseorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Warisan Budaya yang Perlu Dilestarikan
Dengan memahami makna filosofis dan dasar ajaran Islam yang menyertainya, kupatan menjadi lebih dari sekadar tradisi tahunan. Ia merupakan warisan budaya yang mencerminkan nilai-nilai luhur: kesederhanaan, kebersamaan, dan ketakwaan.
Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap relevan dan patut dijaga sebagai cermin keislaman yang membumi dan membaur dengan kearifan lokal. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni